Mencermati Perdebatan Uji Materi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Berita

Mencermati Perdebatan Uji Materi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Perlindungan terhadap lingkungan dan hutan merupakan tanggung jawab bersama sehingga pemohon melihat tindakan pembakaran hutan merupakan satu bentuk ancaman terhadap kelangsungan lingkungan hidup.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kebakaran lahan. Foto: RES
Ilustrasi kebakaran lahan. Foto: RES
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) diketahui telah melakukan Permohonan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut Pemohon, keberadaan Pasal 69 ayat (1) tidak konsisten dan kontra produktif dengan Pasal 69 ayat (2) dan penjelasannya, yang memperbolehkan pembakaran hutan atau lahan dengan luasan lahan maksimal 2 (dua) hektar bagi per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Para pemohon juga berkeberatan terhadap tanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan dalam Pasal 88. Para pemohon menilai, selalu menjadi pihak yang dipersalahkan dan dibebankan pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability) akibat terjadinya kebakaran  hutan dan lahan. Sementara itu, Para Pemohon menilai frasa “kelalaian” pada Pasal 99 ayat (1) memiliki cakupan yang sangat luas dan tidak mencerminkan prinsip kepastian hukum dan asas hukum pidana “tiada pidana tanpa kesalahan”. Oleh karena itu, para pemohon merasa telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya.

Kuasa hukum pemohon, Refly Harun, menjelaskan, pada prinsipnya, melalui gugatan Judicial Review terhadap UU No.32 Tahun 2009 tersebut, pemohon tidak menginginkan terjadinya kebakaran hutan. Perlindungan terhadap lingkungan dan hutan merupakan tanggung jawab bersama sehingga pemohon melihat tindakan pembakaran hutan merupakan satu bentuk ancaman terhadap kelangsungan lingkungan hidup. (Baca Juga: WALHI: JR UU 32/2009 Membahayakan Lingkungan Hidup)

Selain itu, Refly menekankan, dalam kasus kebakaran hutan, pihak yang seharusnya bertanggung jawab adalah yang melakukan pembakaran. “Kalau ada perusahaan yang membakar hutan maka dia yang harus di proses,” tegas Refly melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Rabu (24/5).

Refly menyoal penerapan prinsip pertanggung jawaban mutlak yang selama ini terkesan lebih banyak menempatkan pelaku usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab setiap  terjadinya kebakaran hutan. Menurut Refly, penerapan prinsip pertanggung jawaban mutlak sama sekali tidak memberikan ruang kepada pelaku usaha kehutanan apabila ditemukan titik api dalam wilayah konsesi usaha saat terjadi kebakaran hutan.

“Bisa saja pesaing usaha yang menyuruh orang melakukan pembakaran kan,” terangnya. (Baca Juga: Rekomendasi WALHI Terkait Implementasi Moratorium Izin Tata Kelola Hutan)

Untuk itu menurut Refly, sebaiknya tidak perlu lagi ada praktik pembukaan hutan dengan menggunakan jalan pembakaran. Yang dimaksud Refly disini adalah prinsip kearifan lokal yang memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk melakukan pembalakan lahan dengan cara pembakaran. Meskipun dalam ketentuannya dibatasi luas lahan yang boleh dibuka dengan cara dibakar hanya maksimal 2 hektar, tidak menutup kemungkinan terjadinya kerusakan hutan mengingat jumlah kepala keluarga yang menghuni wilayah hutan tidak hanya 1 kepala keluarga.

Selain itu, Refly melihat adanya kemungkinan insidentil akibat pembakaran hutan oleh masyarakat adat yang dapat turut merugikan pelaku usaha apabila kepada mereka tidak diberikan kesempatan pembuktian unsur kesalahan akibat penerapan prinsip pertanggung jawaban langsung. Oleh karena itu, dia menekankan mengenai penghentian pembukaan hutan dengan cara membakar. (Baca Juga: Ketentuan Area Pengelolaan Hutan Diubah, Pekerja Industri Kehutanan Resah)

Untuk tetap memenuhi hak-hak masyarakat adat dalam mengelola hutan, Refly mengusulkan adanya skema kerja sama antara pelaku usaha dengan masyarakat adat sehingga kebutuhan masyarakat adat untuk membuka lahan dapat terpenuhi tanpa harus membakar hutan. “Misalnya mereka bekerjasama dengan bantuan perusahaan untuk membuka hutan dengan menggunakan buldozer,” ujarnya.

Secara terpisah, pengajar hukum lingkungan Fakulas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Wahyu Nugroho, berencana mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan uji materill terhadap UU 32/2009. Menurut Wahyu, pasal-pasal yang diajukan dalam uji materiil merupakan pasal penting dalam kerangka penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

“Secara normatif, kami melihat bahwa UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup cukup komprehensif dan progresif dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya,” terang Wahyu saat dihubungi hukumonline.

Menurut Wahyu, dalam UU 32/2009, tahapan pemberian sanksi administrasi, perdata dan pidana sangat diperhatikan, sehingga menempatkan aspek pidana sebagai sarana terakhir (ultimum remidium) dalam menindak pelaku pencemaran atau kerusakan lingkungan, bukan hanya perorangan melainkan korporasi.

Wahyu mengemukakan, permasalahan yang kerap terjadi di lapangan adalah penegakan hukum proses penerbitan dokumen lingkungan hidup yang sering menimbulkan konflik di masyarakat adat dan pengawasan terhadap aktifitas pelaku usaha sebagai fungsi pengendalian yang tidak berjalan. “Asas kearifan lokal sebagai bentuk dari penghormatan dan pengakuan negara atas hukum yang hidup dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup di negara yang menganut pluralisme hukum,” ujar Wahyu.

Sementara terkait prinsip pertanggung jawaban langsung atau strict liability, menurut Wahyu, unsur kesalahan dalam prinsip tersebuttidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.

Menurut Wahyu, apabila pemohon beralasan strict liability bertentangan dengan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Terdapat tiga kriteria perbuatan melawan hukum berdasarkan arrestLindenbaum-Cohen 31 Januari 1919 sebagai yurisprudensi Belanda dan Indonesia mengikuti konsep ini, yakni: a) Pelanggaran suatu hak (inbreuk ip een recht); b) Perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (doen of natalen in strijd met wettelijk plicht); c) Bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang berlaku dalam kehidupan masyarakat (ongeschreven recht in het maatschapelijk verkeerbetaamt).

Oleh karena itu, menurut Wahyu, apa yang didalilkan oleh pemohon yang menyatakan asas strict liability bertentangan dengan perbuatan melawan hukum tidaklah tepat justru asas tersebut merupakan lex spesialis dari perbuatan melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Selanjutnya, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Kebijakan DPN Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (PETANI), Ridwan Darmawan, kepada hukumonline mengatakan UU No.32 Tahun 2009 perlu diperkuat karena UU tersebut telah sesuai dengan Konstitusi dan justru sangat progressif serta telah mengacu kepada prinsip-prinsip hukum Lingkungan yang berlaku secara universal.

Lebih jauh, UU 32/2009 juga telah mengakomodir hak-hak para petani kecil dan masyarakat adat, terutama soal kearifan lokal dalam mengelola hutan untuk hidup dan penghidupannya.

Ridwan menuturkan, terdapat hasil investigasi dan advokasi yang dilakukan oleh DPN PETANI dan tim PETANI diRiau, yang menjadi persoalan selama ini adalah penegakan hukum di lapangan. Menurut Ridwan, masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan lindung Giam Siak, dalam mengelola pertaniannya telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh perundang-undangan, yakni dibuatkan sekat kanal untuk cegah kebakaran, namun akibat jaringan illegal logging yang didukung pemodal dan aparat keamanan disana, kanal-kanal tersebut justru dijadikan celah transportasi illegal logging.

“Celakanya, penegakan hukum dilapangan, justru mengorbankan para petani kecil karena dianggap telah menyebabkan kebakaran lahan Gambut. Jadi oleh karenanya ini bukan persoalan norma, ini murni soal implementasi norma, sehingga bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi,” pungkas Ridwan. 


Tags:

Berita Terkait