KPK Tetapkan Anggota DPR Tersangka Obstruction of Justice
Utama

KPK Tetapkan Anggota DPR Tersangka Obstruction of Justice

Terkait tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (e-KTP).

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka terkait tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e). "KPK menetapkan Markus Nari (MN) anggota DPR periode 2014-2019 sebagai tersangka atas dugaan dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa atau pun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat (2/6). Febri mengatakan, tersangka Markus Nari selaku anggota DPR RI periode 2014-2019 diduga dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan () dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-e) tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.   Selain itu, Markus Nari juga diduga dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terhadap tersangka Miryam S Haryani (MSH) dalam kasus indikasi memberikan keterangan tidak benar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada persidangan kasus e-KTP. Atas perbuatan tersebut, Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta. Sebelumnya, KPK telah menggeledah rumah Markus Naridalam penyidikan kasus memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara proyek e-KTP untuk tersangka Miryam S Haryani."Pada tanggal 10 Mei 2017, penyidik menggeledah dua rumah milik Markus Nari (Anggota DPR) terkait penyidikan tersangka MSH," kata Febri. Dua rumah itu adalah rumah pribadi Markus di daerah Pancoran, Jakarta Selatan dan rumah dinas di Kompleks perumahan anggota DPR Kalibata, Jakarta Selatan. "Dari lokasi, penyidik menemukan dan menyita copy BAP atas nama Markus Nari dan barang bukti elektronik berupa HP dan USB," tambah Febri. Markus Nari adalah salah satu anggota DPR yang disebut dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP-e.   Dalam dakwaan disebutkan guna memperlancar pembahasan APBN-P tahun 2012 tersebut, sekitar pertengahan Maret 2012 Irman dimintai uang sejumlah Rp5 miliar oleh Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Irman memerintahkan Suharto untuk meminta uang tersebut kepada Direktur Utama PT Quadra Solution Anang S Sudiharjo yang merupakan anggota konsorsium PNRI. Atas permintaan itu, Anang hanya memenuhi sejumlah Rp4 miliar yang diserahkan kepada Sugiharto di ruang kerjanya. Selanjutnya Sugiharto menyerahkan uang tersebut kepada Markus Nari di restoran Bebek Senayan, Jakarta Selatan. Namun dalam sidang 6 April 2017 lalu, Markus yang menjadi saksi dalam sidang membantah hal tersebut. Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto. Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka dalam perkara tersebut. Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.   Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Karena ketakutan Miryam itu maka ia mencabut keterangannya di pengadilan. "Saya tidak begitu ingat kapan pemberian uang, tapi keterangan itu yang dicabut di persidangan," ungkap Elza.




obstruction of justice

(Baca: Pengaturan Obstruction of Justice di RUU KUHP Dipuji)











(Baca: KPK Diminta Tuntaskan Kasus Korupsi ‘Berjamaan’ Proyek e-KTP)











(Baca: ‘Tercium’ Persekongkolan Proyek e-KTP di DPR, Siapa Andi Narogong?)



Terima uang
Pengacara Elza Syarif mengaku bahwa mantan anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani memang menerima uang terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-Elektronik (KTP-E). "Bu Miryam pernah cerita, jadi ceritanya di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) ada keterangan bahwa dia (Miryam) menerima dana dari dua orang yang sama-sama Hanura yaitu FA dan DA, tapi uangnya adalah dari yang ditetapkan tersangka, MN (Markus Nari) ya," kata Elza seusai menjalani pemeriksaan KPK.

Elza diperiksa sebagai saksi dalam kasus penyidikan kasus memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara proyek KTP elektronik (KTP-E) dengan tersangka Miryam S Haryani yang juga biasa dipanggil Yani. "Nah katanya Ibu Yani, bahwa dia ditegor. Kenapa dia menjawabnya begitu (saat diperiksa di KPK) karena uang itu bukan uangnya FA dan DA, kenapa dia menyebut nama FA dan DA? Jadi dua orang ini 'complain' dan marah padahal kan uang itu dari MN, nah terus Ibu Yani konsultasi kepada saya," tambah Elza.

Elza saat itu mengaku diceritakan langsung oleh Miryam soal penerimaan uang terkait KTP-E. "'Saya harus jawab apa? Karena saya tidak pernah terima langsung dari MN. Saya terima lagsung dari 2 orang ini, jadi saya dimarahi, termasuk juga ditekan oleh anggota-anggota yang lain'," kata Elza menirukan pernyataan Miryam.

"Terus saya katakan kalau memang faktanya begitu, kamu meyakini itu, ya kamu bicara saja tidak usah kamu takut," kata Elza kepada Miryam.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait