Menerawang Wajah RUU Advokat Berikutnya
Utama

Menerawang Wajah RUU Advokat Berikutnya

Diusulkan solusi yang kontekstual dengan persoalan saat ini adalah organisasi advokat berbentuk federasi.

Oleh:
FAT/HAG
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS
Tanggal 27 September 2014 menjadi hari pembahasan terakhir antara Pemerintah dengan DPR periode 2009-2014 terkait revisi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kedua pihak yang sepakat membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Advokat harus menutup pembahasan. Hingga masa periode 2009-2014 DPR berakhir, pembahasan RUU Advokat tak kunjung datang lagi.

Dewan pun telah berganti periode. Kini, DPR periode 2014-2019 telah menetapkan RUU Advokat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. RUU ini merupakan inisiatif dari DPR. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan lantaran pembahasan RUU Advokat tidak selesai pada periode 2009-2014, jika akan dilakukan revisi UU Advokat periode 2014-2019, maka proses legislasi harus diulang dari awal.

“Sehinga perlu disusun Naskah Akademik (NA) dan draf RUU yang baru,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.

(Baca: Arsul Sani, Menapaki Dunia Advokat, Hingga Melenggang ke Parlemen)

Menurut Arsul yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR itu, jika RUU Advokat ingin segera dibahas, maka terbuka kembali ruang diskusi dalam menyempurnakan substansi dan pembahasan RUU Advokat yang telah dilakukan oleh DPR periode sebelumnya. Setidaknya, ia mencatat, terdapat delapan pokok revisi UU Advokat pada periode 2009-2014.

Pertama, berkaitan dengan fungsi, kedudukan dan wilayah kerja advokat. Terkait aspek ini, advokat berfungsi sebagai pembela kepentingan hukum klien dan masyarakat demi kebenaran dan keadilan. Advokat juga merupakan salah satu unsur penegak hukum yang bebas dan mandiri dalam menjalankan profesinya serta berpegang teguh pada kode etik, sumpah advokat untuk penegakan supremasi hukum dan keadilan. Wilayah kerja advokat meliputi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kedua, terkait hak dan kewajiban. Dalam RUU sebelumnya, ada sembilan hak advokat, antara lain; mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara; menjalankan tugas profesinya dengan bebas untuk membela perkara; memperoleh informasi, data dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan pembelaan kliennya; mendampingi klien pada setiap tingkat pemeriksaan; mengajukan penangguhan penahanan; atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik; menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan; tidak dapat dituntut secara perdata atau pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik; serta tidak diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara.

Terkait kewajiban, ada lima hal yang diatur RUU Advokat sebelumnya. Antara lain, memberikan perlakuan yang sama terhadap klien tanpa membedakan perlakuan berdasarkan jenis kelamin, suku, agama, ras, antargolongan, politik, keturunan atau latar belakang ekonomi, sosial dan budaya; merahasiakan segala sesuatu yang diminta klien karena hubungan profesinya, kecual ditentukan lain oleh undang-undang; memberikan jasa hukum secara cuma-cuma dan melaporkan pelaksanaannya kepada organisasi advokat; melaporkan pengangkatan dirinya sebagai pejabat negara baik pada saat dimulai maupun pada saat selesai menjalankan jabatannya kepada organisasi advokat tempat advokat tersebut terdaftar; serta mengenakan atribut dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Ditambah larangan bagi advokat untuk memegang jabatan sebai pejabat negara; penyelenggara negara; pegawai negeri; anggota DPRD; kepala desa atau pejabat lain yang gaji atau honornya dibiayai APBN/APBD secara periodik dalam jangka waktu dua tahun berturut-turut,” tutur Arsul.

(Baca: Advokat Lintas Organisasi Bahas Revisi UU Advokat)

Ketiga, terkait pengangkatan, sumpah atau janji dan pemberhentian. Salah satu pokok perubahan adanya persyaratan khusus bagi mantan jaksa, polisi, penyidik pegawai negei atau hakim untuk dapat diangkat menjadi advokat, yakni telah berhenti/diberhentikan dengan hormat secara tetap paling singkat satu tahun dari jabatannya.

Keempat, organisasi advokat. Pokok perubahannya, sebuah organisasi advokat didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 100 orang advokat dengan akta notaris yang harus didaftarkan kepada menteri untuk menjadi badan hukum. Organisasi advokat berfungsi sebagai sarana pendidikan hukum bagi anggota dan masyarakat luas; penciptaan iklim yang kondusif bagi kemandirian hukum untuk kesejahteraan masyarakat; penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi advokat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; dan partisipasi hukum warga negara Indonesia.

“Norma dalam RUU menyiratkan organisasi advokat lebih dari satu organisasi. Perlu dipertimbangkan syarat pendirian organisasi advokat sebagaimana pendirian partai politik,” katanya.
Bentuk-Bentuk Organisasi Advokat Secara Umum
1. Single Bar :
· Hanya ada satu organisasi advokat dalam bentuk integrated/compulsory bar yang dapat berdiri pada suatu yurisdiksi.
· Namun tidak dengan sendirinya melarang advokat untuk membentuk organisasi advokat lain di luar bar tunggal.

2. Multi Bar :
· Memungkinkan beberapa organisasi advokat untuk sekaligus beroperasi dalam suatu yurisdiksi.
· Masing-masing organisasi advokat memiliki sistem disiplin & penegakan standar tersendiri.

3. Federasi :
· Pengembangan dari konsep multi bar.
· Seluruh advokat akan bergabung dalam federasi organisasi advokat yang di tingkat nasional membawahi seluruh organisasi tersebut.
· Anggota profesi terdaftar pada dua organisasi advokat.
Sumber: Makalah Arsul Sani dalam diskusi tentang UU Advokat yang difasilitasi HKHPM dan ILUNI FHUI.

Kelima, Dewan Advokat Nasional (DAN) yang dipending pembahasannya. Tugas DAN antara lain, meningkatkan peran profesi advokat dalam penegakan hukum di Indonesia; meningkatkan pengetahuan, kompetensi dan kemahiran advokat dalam menjalankan profesi; menyusun kode etik; menyusun dan mengevaluasi standar pendidikan profesi advokat secara nasional; mendata keanggotaan advokat pada tingkat nasional; menyelesaikan perkara pelanggaran kode etik advokat pada tingkat banding; memfasilitasi organisasi advokat dalam menyusun peraturan di bidang advokat dan meningkatkan kualitas profesi; serta melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.

“Anggota Dewan Advokat Nasional dipilih oleh DPR berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden yang harus memenuhi persyaratan tertentu,” kata Arsul.

Sedangkan keenam terkait kode etik dan dewan kehormatan-majelis kehormatan. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik, organisasi advokat membentuk suatu dewan kehormatan yang juga berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik advokat.

Setiap organisasi advokat membentuk dewan kehormatan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik pada tingkat pertama. Advokat yang tidak puas dengan putusan dewan kehormatan dapat mengajukan banding di tingkat berikutnya yakni ke majelis kehormatan yang dibentuk dewan kehormatan nasional yang putusannya bersifat final dan mengikat.

(Baca: Di 5 Negara Ini, KAI Mencari Konsep Terbaik Buat RUU Advokat)

Ketujuh, partisipasi masyarakat, memberikan keikutsertaan masyarakat di dalam keanggotaan dewan kehormatan serta pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik profesi advokat melalui penyampaian laporan kepada organisasi advokat apabila ada advokat yang melanggar kode etik. Kedelapan, mengenai larangan dan ketentuan pidana.

Federasi
Arsul mengatakan organisasi-organisasi advokat bisa melakukan konsolidasi melalui revisi UU Advokat. Menurutnya, RUU Advokat harus bisa memberikan jalan keluar atas perpecahan dan perseteruan organisasi advokat. Ia menilai, pilihan solusi yang kontekstual dengan persoalan saat ini adalah organisasi advokat berbentuk federasi.

Alasannya karena, federasi hanya masuk pada ranah regulator dan penegakan kode etik. Serta organisasi advokat lainnya yang berada di bawah federasi adalah pelaksana regulasi, termasuk rekruitmen dan pengembangan kompetensi advokat. Sedangkan keberadaan DAN menjadi penting dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya roda organisasi advokat.

“Fraksi PPP meminta agar advokat baik secara individu maupun organisasi memberikan masukan terkait perubahan UU Advokat, untuk kemudian mendorong RUU Advokat masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2018,” ujar Arsul.

Ketua Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Indra Safitri melihat, revisi UU Advokat akan menjadi peluang untuk menyempurnakan UU Advokat saat ini dalam menghasilkan kompetensi dan profesionalitas lebih baik dari profesi advokat. Di tengah banyaknya klaim otoritas organisasi advokat yang masih terjadi, Indra yakin wacana revisi UU Advokat menjadi awal bagi organisasi-organisasi advokat yang ada saat ini untuk banyak mencari persamaan kepentingan yang akan diperjuangkan dalam revisi UU Advokat.

“Kita harapkan di antara organisasi advokat akan bisa identifikasi mana yang menjadi prioritas dari rencana melakukan konsolidasi advokat itu sendiri,” katanya kepada hukumonline.

Untuk diketahui, sejak 2014 hingga sekarang, dunia advokat terus mengalami banyak perubahan, khususnya dari segi organisasi profesi. Pasca Musyawarah Nasional (Munas) di Makassar Maret 2015 silam, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) harus terpecah menjadi tiga kubu.

Ditambah lagi, pada akhir 2015 lalu, Ketua Mahkamah Agung (MA) M Hatta Ali menerbitkan Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 yang intinya menyatakan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi syarat dari organisasi manapun.

(Baca: MA: KPT Berwenang Angkat Sumpah Advokat ‘Manapun’)

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PERADI kubu Fauzi Yusuf Hasibuan, Jamaslin James Purba, mengatakan, jika pembahasan revisi UU Advokat perlu melibatkan profesi advokat itu sendiri. Menurutnya, selaku pengusung, anggota DPR wajib menjelaskan duduk perkara alasannya kenapa UU Advokat harus segera direvisi.

Walaupun memang akan direvisi, lanjut James, salah satu klausul yang perlu dicantumkan dalam RUU Advokat terkait dengan hak advokat. Mulai dari mendampingi klien pada setiap tingkat pemeriksaan hingga tidak dapat dituntut secara perdata atau pidana dalam menjalankan tugas profesinya.

“Paling tidak pembahasannya harus melibatkan advokat,” katanya melalui sambungan telpon kepada hukumonline, Jumat (2/6).

Terkait dengan usulan federasi, James mempertanyakan eksistensi dari organisasi advokat itu sendiri. Menurutnya, apakah melalui federasi, tiap organisasi advokat akan semakin kuat atau malah melemah. Begitu juga mengenai batasan-batasan fungsi yang dimiliki organisasi dalam federasi.

“Kalau organisasi itu diberikan hak seluas-luas mungkin batasan untuk memberikan, pengawasan. Misalnya, advokat yang tidak suka kena kode etik kemudian pindah ke yang lain. Bagaimana peran federasi terhadap anggota itu juga dipertanyakan,” tutup James.
Tags:

Berita Terkait