Kejahatan Dilakukan Saat Ramadhan, Bisakah Menjadi Hal yang Memberatkan Hukuman?
Utama

Kejahatan Dilakukan Saat Ramadhan, Bisakah Menjadi Hal yang Memberatkan Hukuman?

Ada putusan hakim yang menjadikan suasana berpuasa sebagai hal yang memberatkan hukuman terdakwa.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR/MYS
Bacaan 2 Menit
Suasana berpuasa tak berarti tak ada kejahatan. Ada putusan hakim yang mempertimbangkan suasana puasa sebagai hal yang memberatkan. Ilsutrasi: BAS
Suasana berpuasa tak berarti tak ada kejahatan. Ada putusan hakim yang mempertimbangkan suasana puasa sebagai hal yang memberatkan. Ilsutrasi: BAS
Berpuasa di saat Ramadhan bagi ummat Islam sejatinya menjadi momentum untuk memperbaiki diri dan menebarkan kebaikan. Namun suasana berpuasa itu tak menghalangi terjadinya tindak pidana. Nyaris setiap hari ada saja orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran. Jenisnya beragam, mulai dari tindak pidana ‘ringan’ seperti mencuri sandal orang yang sedang tarawih, pencurian di rumah kosong, hingga kejahatan berat seperti pembunuhan, atau kejahatan asusila.

Mereka yang terbukti melakukan tindak pidana pada saat banyak orang berpuasa tetap saja dihukum. Namun, ada satu pertanyaan yang menarik, apakah suasana berpuasa itu bisa menjadi faktor atau hal yang memberatkan hukuman kepada terdakwa? (Baca juga: Ketentuan Jam Kerja Selama Bulan Ramadhan).

Sebuah kejadian nyata bisa menjadi studi kasus menjawab pertanyaan itu. Pipit, bukan nama sebenarnya, sedang sendirian di rumah. Isteri seorang prajurit militer ini kedatangan seorang tamu yang sudah ia kenal. Sang tamu, sebuat saja Anto, hendak meminta air minum karena haus. Saat itu Anto sedang kebagian tugas jaga di asrama tentara. Meskipun muslim, Anto tak berpuasa dengan dalih tak kuat menahan lapar dan haus. Kebetulan rumah Pipit tak jauh dari pos jaga di markas militer itu.

Pipit meminta Anto menunggu di luar karena suaminya sedang tak di rumah, tetapi sudah dalam perjalanan pulang. Ternyata, begitu Pipit mengambil air minum ke dapur, Anto mengikuti. Entah setan apa yang merasukinya, tiba-tiba Anto berusaha memeluk Pipit di dapur. Menolak tegas, Pipit meronta dan berusaha melepaskan pelukan. Berhasil lepas, Pipit langsung pergi ke ruang tamu. Lagi-lagi Anto berusaha memeluk dan mencium Pipit. Bahkan ia berhasil menindih korban. Sekuat tenaga Pipit menolak. Suasana asrama yang sepi di kawasan ujung pulau Sumatera itu membuat tak ada saksi yang melihat langsung peristiwa itu terjadi.

Diiringi air mata, Pipit menceritakan kejadian nahas begitu suaminya pulang. Sang suami langsung menelepon komandan rayon militer sebagai atasannya, dan atasan pelaku juga. Singkat cerita, perkara ini masuk ke pengadilan militer. Majelis hakim Pengadilan Militer, dipimpin Mayor (CHK) Muhammad Djundan, menghukum terdakwa 8 bulan penjara karena kejahatan ‘dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan’, sebagaimana diatur Pasal 281 ke-1 KUHP.

Dalam mempertimbangkan hukuman, majelis menyebutkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Nah, salah satu dari empat hal yang memberatkan adalah ‘perbuatan terdakwa dilakukan pada saat orang Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan’. Peristiwa itu terjadi pada September 2010, dan putusan dijatuhkan pada 4 April 2011.

Lain di Aceh, lain juga putusan hakim di Sumatera Barat. Penelusuran Hukumonline menemukan sebuah putusan atas perkara perbuatan cabul yang dilakukan ayah terhadap anak tirinya di bulan Ramadhan. Namun majelis hakim PN Muaro yang mengadili perkara ini tak mempertimbangkan suasana bulan puasa untuk memperberat hukuman terdakwa. Padahal terdakwa melakukan perbuatan itu pada dua kali bulan Ramadhan. Meskipun demikian, majelis hakim dipimpin Zefri Mayeldo Harahap menghukum terdakwa 9 tahun penjara, lebih tinggi setahun dari tuntutan jaksa.

Hak subjektif hakim
Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Agus Surono, berpendapat hakim boleh saja menjadikan suasana Ramadhan sebagai hal yang memberatkan bagi terdakwa. “Diperbolehkan saja karena itu hak subjektif majelis hakim,” ujarnya melalui sambungan telepon dengan Hukumonline. (Baca juga: Faktor yang Mempengaruhi Hakim dalam Menjatuhkan Vonis).

Menurut Agus, majelis hakim bisa menentukan apa saja yang hal yang memberatkan atau meringankan bagi terdakwa, tergantung pemahaman hakim atas hasil pemeriksaan di persidangan. Majelis hakim dapat melihat pada faktor waktu dilakukannya kejahatan, tempat dilaksanakannya kejahatan, korban kejahatan itu, atau cara bagaimana pelaku melakukan tindak pidana. Majelis juga wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat saat mengadili dan memutus suatu perkara.

Pasal 197 ayat (1) KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) mengatur bahwa suatu putusan harus memuat perundang-undangan yang menjadi dasar putusan serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman. M. Yahya Harahap, dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali memaparkan keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa berkaitan dengan pertimbangan putusan tentang penjatuhan hukuman (straftoemeting) yang lazim diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah pemidanaan. (Baca juga: Cara membaca Putusan Pemidanaan).

Tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman alasan yang memberatkan dan meringankan pemidanaan ini. Dalam prakteknya di Indonesia, ini menjadi penilaian subjektif hakim. Yahya menyebutkan dalam perkembangan di berbagai negara yang lebih maju, hakim bisa meninjau aspek sosiologis dan psikologis terkait latar belakangan terdakwa. (Baca juga: Memutus Garis Keturunan Jadi Unsur yang Memberatkan).

Dalam penelitian Komisi Yudisial yang diterbitkan menjadi buku berjudul Kualitas Hakim Dalam Putusan, salah satu tolok ukur putusan hakim yang berkualitas adalah sejauh mana hakim mempertimbangkan aspek penggalian nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Nilai-nilai ini dapat berupa faktor psikologis, sosial, ekonomis, edukatif, lingkungan, atau religius. Dengan cara demikian, diyakini putusan hakim akan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Agus Surono menegaskan majelis hakim berwenang secara merdeka untuk menilai dasar yang memberatkan atau meringankan bagi terdakwa. Ia mengakui ketentuan hukumnya tidak secara rigid mengatur hal mana yang dapat dikategorikan sebagai unsur yang memberatkan, dan mana hal yang  meringankan pemidanaan. Itu berkembang dalam praktek.

Ternyata pula, berdasarkan penelusuran Hukumonline, ada putusan pengadilan dimana majelis hakim menjadikan perbuatan pidana dilakukan saat suasana berpuasa di bulan Ramadhan sebagai hal yang memberatkan hukuman bagi terdakwa.
Tags:

Berita Terkait