Pengusutan Dugaan Korupsi Proyek Jasa Konstruksi Harus Tunggu Audit BPK
Berita

Pengusutan Dugaan Korupsi Proyek Jasa Konstruksi Harus Tunggu Audit BPK

UU Jasa Konstruksi sejatinya tak menyebut secara tegas soal laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hanya saja aturan ini sebatas mensyaratkan bila ada dugaan kerugian keuangan negara dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, maka proses pemeriksaan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan dari lembaga negara yang berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Direktorat Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Darda Baraba (kanan) dan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional, Ruslan Rivai  (kiri). Foto: NNP
Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Direktorat Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Darda Baraba (kanan) dan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional, Ruslan Rivai (kiri). Foto: NNP
Proyek Pusat Pelatihan, Pendidikan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang, Bogor, Jawa Barat saat ini berstatus ‘mangkrak’. Terbengkalainya proyek Hambalang ini menyusul ditemukan adanya kasus korupsi yang dilakoni sejumlah pihak dari duit mega proyek ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus ini untuk mencari bilamana masih ada pihak lain yang terlibat. Choel Mallarangeng alias Andi Zulkarnaen Mallarangeng merupakan tersangka yang baru saja ditahan KPK. Status Tersangka Choel pada perkara ini sudah ditetapkan sejak Desember 2015 namun baru ditahan di rumah tahanan KPK Guntur sejak 6 Februari 2017 kemarin.  

Kasus Hambalang menjerat beberapa bekas pejabat negara, di antaranya mantan Menteri Pemuda Olahraga (Menpora) Andi Alfian Mallarangeng selaku pengguna anggaran dan mantan Kepala Biro Perencanaan Kemenpora Deddy Kusdinar selaku pejabat pembuat komitmen. Ada pula yang lainya mantan Direktur Operasional 1 PT Adhi Karya (Persero) Teuku Bagus Mukhamad Noor serta mantan Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Keduanya, mendekam di penjara setelah divonis bersalah oleh pengadilan.

Cerita proyek mangkrak itu boleh jadi tak bakal terulang pasca UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 1999 terbit. Aturan yang terdiri dari 14 bab dan 106 pasal ini memastikan, dalam hal adanya dugaan kejahatan atau pelanggaran dalam kegiatan jasa konstruksi, proses hukum tetap berjalan namun tanpa mengganggu atau menghentikan proses penyelenggaran jasa konstruksi.

(Baca Juga: Revisi UU Jasa Konstruksi Disetujui Jadi UU)

Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Direktorat Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Darda Baraba mengatakan UU Nomor 2 Tahun 2017 menghapus ketentuan pidana dan lebih menekankan pada aspek perdata serta penegakan sanksi secara administratif dalam hal terjadi sengketa. Perubahan paradigma ini diharapkan akan menjamin proses penyelenggaraan jasa konstruksi agar dapat berjalan tanpa gangguan.

“Bukan mengesampingkan, tetapi ditegaskan bahwa kalau bicara jasa konstruksi ini adalah ranah perdata. Artinya apa, diatur di situ perdata, perjanjian kedua belah, itu berkontrak antara A dan B,” kata Darda kepada hukumonline, Rabu (7/6) kemarin.

Meski begitu, Darda mengatakan bahwa aturan ini juga memberikan pengecualian terkait ‘pengesampingan’ proses pidana itu, yakni dalam hal terjadi hilangnya nyawa seseorang. Misalnya, ditemui ada pekerja yang meninggal dalam proyek jasa konstruksi. Selain itu, pengecualian lainnya berlaku dalam hal adanya operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan tindak pidana korupsi. Dua kondisi itulah yang menurut Pasal 86 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2017 dikecualikan dari adanya ‘pengesampingan’ proses pidana.

Darda menambahkan, terkait dugaan tindak pidana yang berpotensi merugikan keuangan negara, aturan ini mensyaratkan agar penegak hukum menunggu hasil pemeriksaan dugaan kerugian negara dari lembaga yang berwenang. Lembaga yang berwenang ini sejatinya tak disebut secara tegas dalam UU Nomor 2 Tahun 2017, namun Darda mengatakan bahwa aparat penegak hukum mesti menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum mengusut dugaan kasus korupsi dalam proyek jasa konstruksi lebih lanjut.

“Kalau ada korupsi itu siapa, siapa yang mengatakan? tanya BPK dulu,” kata Darda.
Pasal 86:
 
  • (1) Dalam hal terdapat pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b akan adanya dugaan kejahatan dan/atau pelanggaran yang disengaja dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, proses pemeriksaan hukum terhadap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dilakukan dengan tidak mengganggu atau menghentikan proses penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
  • (2) Dalam hal terdapat pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b terkait dengan kerugian negara dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi,proses pemeriksaan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan dari lembaga negara yang berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
  • (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dalam hal: a. terjadi hilangnya nyawa seseorang; dan/atau b. tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi.
 
Catatan Hukumonline, terkait siapa pihak yang berwenang menyatakan kerugian keuangan negara seringkali menjadi polemik di ruang persidangan dugaan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Laporan kerugian keuangan negara yang dipegang Penuntut umum dalam persidangan sering ‘dipermasalahkan’ oleh kuasa hukum terdakwa. Praktik di lapangan juga sebetulnya menunjukkan bahwa penuntut umum acapkali menggunakan hasil perhitungan kerugian negara tak hanya dari BPK, melainkan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Bagaimana sebetulnya regulasi mengatur keduanya?

Kewenangan BPK sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK. Pasal 10 ayat (1) UU BPK menyebut: “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

Sementara itu, PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyebutkan BPKP merupakan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Pasal 48 ayat (2) huruf a mengatur, aparat pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui : audit. Pasal selanjutnya mengatur: “BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi : kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden”.

(Baca Juga: Siapa Berwenang Menyatakan Kerugian Negara? SEMA Pun Tak Mengikat)

Lalu, Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang BPKP juga mengatur fungsi BPKP diantaranya, melakukan audit investigatif terhadap kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara atau daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara atau daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi. Terkait hal ini, Kepala BPKP pun telah menerbitkan pedoman teknis melalui Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi.

Peraturan Kepala BPKP itu sendiri terdiri dari empat poin, diantaranya: audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara adalah Audit dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan pendapat mengenai nilai kerugian keuangan Negara yang timbul dari suatu kasus penyimpangan dan digunakan untuk mendukung tindakan litigasi; Hasil Audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara berupa pendapat auditor BPKP tentang jumlah kerugian keuangan negara merupakan pendapat keahlian profesional auditor, yang dituangkan dalam Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN).

Kemudian, yang ketiga, sebagai hasil dari pendapat ahli, LHPKKN ditandatangani oleh Tim Audit dan Pimpinan Unit Kerja sebagai Ahli (tanpa kop surat dan cap unit kerja); dan LHPKKN disampaikan kepada pimpinan Instansi Penyidik yang meminta, dilakukan dengan surat pengantar (SP) berkode SR (Surat Rahasia) yang ditandatangani oleh unit kerja. Yang cukup menarik sebetulnya, bila melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat dalam rangka pembuktian tindak pidana korupsi, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPK dan BPKP misalnya dengan mengundang ahli atau meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi sama dengan itu. masih dalam pertimbangan putusan MK itu, KPK juga diperbolehkan meminta dair pihak-pihak lain termasuk dari perusahaan yang dapat menunjukkan kebenaran materil dalam penghitungan kerugian keuangan negara.

Sekedar mengingatkan, awal Januari 2016 Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam Inpres tersebut, Jokowi meminta para Menteri Kabinet Kerja, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresiden, Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Gubernur dan Bupati/Walikota mendukung pelaksanaan proyek strategis nasional sesuai fungsi dan kewenangannya masing-masing.

(Baca Juga: Jokowi Minta Kapolri dan Jaksa Agung Dahulukan Proses Administrasi Ketimbang Pidana)

Ada sembilan poin instruksi dari Jokowi kepada Jaksa Agung dan Kapolri terkait dukungan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut. Pertama, Jokowi menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk mendahulukan proses administrasi pemerintahan sesuai ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional.

Jokowi juga meminta Jaksa Agung dan Kapolri untuk meneruskan laporan masyarakat mengenai penyalahgunaan wewenang kepada pimpinan kementerian atau pemerintah daerah. Kemudian, kementerian atau pemerintah daerah melakukan pemeriksaan dan tindak lanjut penyelesaian laporan masyarakat itu, termasuk jika diperlukan pemeriksaan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.

(Baca Juga: Kontrak Jasa Konstruksi Juga Pakai Bahasa Indonesia)

Masih di butir yang sama, Kapolri dan Jaksa Agung melakukan pemeriksaan atas hasil audit aparat pengawasan intern pemerintah mengenai temuan tindak pidana yang bukan bersifat administratif yang disampaikan oleh pimpinan kementerian/lembaga atau pemerintah daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.Pemeriksaan hasil audit itu dilakukan Jaksa Agung dan kapolri dengan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, asalan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan dan dilakukan dengan itikad baik.

Berikutnya, Jaksa Agung dan Kapolri diminta tidak mempublikasikan pemeriksaan secara luas kepada masyarakat sebelum tahapan penyidikan.Selain itu, Jaksa Agung dan Kapolri menggunakan pendapat dan penjelasan atau keterangan ahli dari kementerian yang berwenang sebagai tafsir resmi dari peraturan perundang-undangan terkait. Hal lainnya, Jaksa Agung dan Kapolri juga diminta menyusun peraturan internal mengenai tata cara (standar operasional prosedur/SOP) penanganan laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional sebagai dasar pelaksanaan tugas di masing-masing jajaran unit instansi vertikal.

Instruksi selanjutnya, Jaksa Agung dan Kapolri diminta memberikan pendampingan atau pertimbangan hukum yang diperlukan dalam percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jajawan di bawahnya dan memberikan tindakan apabila terdapat penyimpangan dan pelanggaran.

Terakhir, Jokowi menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan agar berkoordinasi dengan Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar segera menyusun SOP pemanggilan dan pemeriksaan pejabat atau pegawai pemerintah, pejabat pada BUMN atau badan usaha atas laporan kasus penyimpangan dalam percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional

(Baca Juga: Referensi Penyelesaian Sengketa Konstruksi)

Dimintai tanggapannya, Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional, Ruslan Rivai berpendapat bahwa penegasan soal keberlanjutan proyek jasa konstruksi dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 membuat iklim usaha industri jasa konstruksi secara umum semakin membaik. Kepastian suatu proyek konstruksi dapat terjamin mengingat para pihak yakni pengguna jasa dan penyedia jasa telah bersepakat dalam kontrak kerja konstruksi.

“Iklim usaha makin baik, karena orang sudah bekerja, sudah berkontrak lalu datang polisi masuk, itu ngga boleh. Dulu masih boleh, masuk korupsi, lapor ke kejaksaan, stop pekerjaan. Nah, sekarang ngga boleh. Selesaikan pekerjaan dulu,” kata Ruslan.

Hukumonline.com

Di samping itu, Ruslan menilai substansi UU Nomor 2 Tahun 2017 jauh berbeda dengan subtansi yang dulu diatur UU Nomor 1999. Ia berpendapat, kebijakan infrastruktur saat ini dibuat saling berkaitan dan terbuka. Aturan sebelumnya, penyedia jasa banyak dibebankan persyaratan yang sifatnya administratif. Sedangkan, dalam aturan terbaru ini dibangun atmosfer persaingan di mana penyedia jasa diminta untuk terus berinovasi menyediakan rantai pasok yang paling efisien.

“Sekarang ini adalah persaingan rantai pasok. Saya punya tenaga kerja, punya pasukan material, artinya kalau kuasai ini saya bisa lebih efisien daripada orang yang bawa dari luar negeri rantai pasoknya. Jadi membangun daya saing rantai pasoknya. Kita tidak bisa pungkiri, persaingan jasa konstruksi tidak hanya persaingan nasional saja tapi dengan negara lain,” kata Ruslan.

Tags:

Berita Terkait