Dua Poin Ini Revisi dalam PMK Akses Informasi Pajak
Berita

Dua Poin Ini Revisi dalam PMK Akses Informasi Pajak

Yakni menaikan batasan nilai saldo minimum dari sebelumnya Rp200 juta menjadi Rp1 Milyar dan tata cara penyampaian informasi keuangan berdasarkan permintaan terkait AEoI.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Menteri Keuangan Sri Mulyani didampingi pejabat  Ditjen Pajak dalam jumpa pers di gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jum'at (9/6). Foto: NNP
Menteri Keuangan Sri Mulyani didampingi pejabat Ditjen Pajak dalam jumpa pers di gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jum'at (9/6). Foto: NNP
Pemerintah secara resmi menyatakan akan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK)  Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun memberi sinyal revisi aturan tersebut rampung dan bakal diterbitkan pekan depan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan latar belakang pemerintah merevisi batas minimum nilai saldo rekening keuangan nasabah domestik yang wajib dilaporkan secara berkala dari semula Rp200 juta menjadi Rp1 miliar setelah menerima sejumlah masukan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait. Ani menjelaskan setidaknya ada empat pertimbangan logis yang dipakai pemerintah dalam meningkatkan batas minimum nilai saldo rekening tersebut.

“Setelah mendengar masukan, pemerintah fokus dan berikan perhatian untuk nilai saldo di atas Rp 1 milar,” kata Ani, sapaan akrab Sri Mulyani dalam jumpa pers di gedung Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jumat (9/6) kemarin.

Pertama, pemerintah merasa perlu mendukung pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) terutama kaitannya dengan perpajakan. Kata Ani, peningkatan minimum nilai saldo menjadi Rp 1 milyar salah satunya mempertimbangkan pajak yang selama ini diterapkan pada UMKM. Sebagaimana diketahui, dasar pemajakan pelaku UMKM merujuk pada PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Lewat aturan itu, pelaku UMKM dikenakan pajak penghasilan dengan tarif 1% dari omzet per tahun atas pendapatan kurang dari Rp 4,8 milyar.

Selain itu, jika merujuk data amnesti pajak, terlihat bahwa jumlah harta berupa kas dan setara kas khusus wajib pajak orang pribadi UMKM yang nilainya kurang dari Rp 1 milyar, ternyata hanya sebesar 2,38% dari total deklarasi wajib pajak orang pribadi meskipun jumlah peserta mencapai 145.108 wajib pajak atau 25,71% dari total peserta amnesti pajak wajib pajak orang pribadi. Total peserta amnesti pajak khusus pelaku UMKM sendiri totalnya 243.977 wajib pajak.

“Ini penekanan dari asas keadilan sehingga mereka bisa berkembang dan UMKM lakukan ketertiban dalam laporan pajaknya,” katanya.

DATA AMNESTI PAJAK PESERTA UMKM
Nilai Deklarasi Kas & Setara KasUMKM
Jumlah WPNilai Aset
Jumlah% Terhadap WP OP UMKM + Non-UMKM PelaporNilai Aset (Triliun)%Terhadap Nilai Pelaporan
< 200juta 67.272 WP 11,92% Rp 4 0,25%
200 juta s.d. 1 M 77.836 WP 13,79% Rp 33 2,1%
>= 1 M 98.869 WP 17,52% Rp 347 22,33%
Jumlah WP243.977 WP
WP OP UMKM+Non UMKM564.408 WP43,23%
Nilai Pelaporan Kas & Setara KasRp 1.55624,71%
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak

Kedua, mayoritas simpanan di perbankan bernilai di atas Rp 1 milyar. Ani mengatakan bahwa kelompok simpanan pada bank umum menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode Februari 2017 dengan nilai kurang dari Rp 200 juta rupiah dan Rp 200 juta sampai dengan Rp1 milyar, persentasenya tak lebih dari 40% dari nilai simpanan. Memang, kelompok simpanan dengan nilai itu dari segi jumlah rekeningnya sangat besar, yakni bila digabungkan mencapai hampir 200 juta rekening.

“Nilai penempatan di atas Rp1 milyar telah mewakili 64,22% dari total nilai simpanan di bank umum,” kata Ani.

DATA LPS Periode Februari 2017
Nominal SimpananJumlah Rekening%% Terhadap Nilai Simpanan
s.d Rp 200 juta 199.849.842 98,86% 19,53%
Rp 200 juta s.d. Rp 1 M 1.814.174 0,90% 16.25%
Lebih dari Rp 1 M 496.867 0,25% 54,22%
Total202.160.883100,00%100,00%
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak

Analisa itu juga terkonfirmasi bila disandingkan dengan data amnesti pajak. Kelompok harta berupa kas dan setara kas dengan nilai Rp1 milyar telah mewakili 95,50% dari keseluruhan jumlah kas dan setara kas yang diungkapkan melalui program amnesti pajak dengan jumlah peserta dalam segmen tersebut sebesar 291.331 wajib pajak.

“Dengan melihat data LPS dan data TA (Tax Amnesty), kami menganggap menaikan batas minimal jadi 1 miliar jadi cukup mencerminkan asas keadilan,” kata Ani.

DATA AMNESTI PAJAK (HARTA)
Nilai Deklarasi Kas & Setara KasJumlah WPNilai Aset
Jumlah% Terhadap WP PelaporNilai Aset (Triliun)% Terhadap Nilai Pelaporan
< Rp 200 juta 248.689 WP 32,18% Rp 10 0,59%
Rp 200 s.d < Rp 1 M 232.874 WP 30,13% Rp 69 3,95%
>= Rp 1 M 291.331 WP 37,69% Rp 1.661 95,50%
WP Pelapor Kas & Setara Kas772.894 WP100,00%
Nilai Pelaporan Kas & Setara KasRp 1.739100,00%
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak

Ketiga, menyelaraskan dengan standar pertukaran informasi keuangan secara otomatis untuk kepentingan perpajakan atau dikenal dengan Automatic Exchange of Information (AEoI). Ani mengatakan, OECD Common Reporting Standar (CRS) tidak menetapkan batas minimum saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan baik itu orang pribadi maupun perusahaan. Itu berarti, berapapun nilai saldonya maka seluruhnya wajib dilaporkan.

Namun, khusus untuk rekening yang dimiliki perusahaan yang akunnya dibuat atau dibuka sebelum 1 Juli 2017, yang wajib dilaporkan hanya rekening yang bernilai lebih dari USD250,000 yang dilaporkan nanti pada 30 Juni 2017. Sedangkan, untuk rekening orang pribadi tidak ada batasan minimum nilai yang harus dilaporkan.

“Jadi wajib pajak luar negeri yang ada di Indonesia maupun wajib pajak Indonesia yang ada di luar negeri, untuk pertukaran harus ada standar reporting, yakni CRS. Setiap negara harus penuhi standar pelaporan yang sama ini. Indonesia kalau akan dapatkan informasi wajib pajak di luar negeri entah di singapura, Inggris, Hongkong, dll, formatnya harus ikutin,” kata Ani.

Ani menambahkan, meskipun OECD CRS tidak menetapkan threshold atau batasan saldo rekening yang wajib dilaporkan. Namun, oleh karena revisi PMK Nomor 70 Tahun 2017 ini terkait kepentingan perpajakan dalam negeri atau nasabah domestik, maka pemerintah merasa perlu mempertimbangkan aspek dalam negeri salah satunya aspek sosial politik. Biar bagaimanapun juga, pemerintah memahami kondisi sosiologis masyarakat dalam membayar pajak. Sehingga batasan saldo minimum ini dinaikan menjadi Rp1 milyar.

“Menurut OECD ngga perlu pakai threshold. Tapi setiap negara punya konteks sosial politik yang harus dijaga. Masyarkat masih takut soal pajak, kami pahami itu. Tapi kalau tunggu, kita (DJP) jadi tak bisa penuhi mandat konstitusi untuk pungut pajak,” kata Ani.

Keempat, kurangi beban administrasi pelaporan bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Ani mengatakan dengan dinaikkannya batas saldo minimum menjadi Rp1 milyar, secara tidak langsung mengurangi beban administrasi bagi LJK. Khusus untuk perbankan, setidaknya jumlah rekening yang wajib dilaporkan ada sekitar 496ribu rekening atau 0,25% dari keseluruhan rekening yang ada di perbankan saat ini.

“Kurangi beban LJK untuk laporkan. Ini yang laporkan LJK, pemilik akun hanya sampaikan di SPT. Namun LJK bank harus sampaikan ini setahun sekali. Kalau threshold tinggi, beban administrasi juga tinggi,” kata Ani.

Sebagaimana diketahui, Rabu (7/6) malam atau tepatnya dua hari setelah konferensi pers digelar Senin (5/6), pihak Kemenkeu menginformaskan mengenai revisi batas minimum saldo rekening yang wajib dilaporkan LJK secara otomatis kepada DJP. Melalui keterangan tertulis waktu itu, latar belakang dinaikannya jumlah saldo minimum hanya dijelaskan secara normatif dan tidak dijelaskan secara spesifik alasan-alasan perubahannya.

“Revisi PMK 70/2017 diteken paling lambat Senin (12 Juni 201) yang akan datang,” kata Ani.

(Baca Juga: Implikasi Hukum Peraturan Menteri yang Direvisi Hanya dalam Hitungan Hari)

Selain revisi soal besaran nilai saldo minimum yang wajib dilaporkan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa tata cara pemberian informasi, bukti, atau keterangan yang berdasarkan permintaan juga akan diubah. Dalam revisi, nantinya tata cara pemberian informasi itu akan dilakukan melalui sistem tekonologi informasi yang dimiliki DJP.

“Jadi dari LJK itu sampaikan ini lewat AKASIA. Kalau orang pajak mau periksa kan melalui surat dari menkeu ke OJK ke bank, baru balik lagi. Ini sekarang kan bisa langsung. Nanti akan diatur mengenai penyampaiannya,” kata Yoga.

Pasal 2 PMK Nomor 70 Tahun 2017 memberikan wewenang kepada Dirjen Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan terkait pajak dalam rangka perjanjian internasional. Di situ, diatur dua jenis akses informasi keuangan, yakni secara otomatis dan berdasarkan permintaan. Dalam PMK itu, akses informasi berdasarkan permintaan menurut Pasal 15 disyaratkan permohonan melalui surat. Kedepan, surat-menyurat inilah yang ingin diubah dan diganti melalui sistem teknologi informasi.

“Kalau di PMK sekarang manual. Nanti bisa saja kita terapkan AKASIA langsung dari DJP ke banknya. Tapi nanti tergangung kesiapannya. Kita lakukan pendekatan ke bank, ayo kita bikin aplikasi bareng. Jadi penyampaian bisa lewat sistem tidak harus kertas,” kata Yoga.

Diapresiasi dengan catatan
Direktur Eksektutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengapresiasi peningkatan saldo minimum rekening yang wajib dilaporkan oleh LJK. Revisi ini, kata Yustinus, mengindikasikan pemerintah merespon dinamika yang berkembang di masyarakat. Meski begitu, ia mendorong agar pemerintah menindaklanjuti dengan sistem teknologi informasi, tata kelola, serta aparat yang berintegritas agar implementasi ke depan bisa sesuai dengan tujuan awal.

“Dengan naiknya threshold, terdapat kesan kuat bahwa pemerintah mengedepankan fokus dan sasaran yang lebih jelas dan sesuai prinsip dasar pemajakan yaitu ability to pay dan who own what. Penyesuaian threshold bisa dilakukan bertahap,” kata Yustinus kepada Hukumonline, Jumat (9/6) kemarin.

(Baca Juga: Pemerintah Diminta Pertimbangkan Dampak Perppu Akses Informasi Pajak)

Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Eko Listiyanto mengatakan bahwa revisi yang dilakukan dalam PMK Nomor 70 Tahun 2017 itu mestinya sekaligus dipakai untuk meluruskan substansi utama dari terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017, yakni pertukaran data keuangan antar negara dalam rangka era pertukaran informasi secara otomatis (AEoI).

“Isu yang dibawa itu  pertukaran internasional, maka kembalikan dulu disitu. Kalau dapat akses, semua orang itu tahu kalau itu buat mirroring. Tapi, itu terlihat strategi ke dalam, justru strategi ke luar malah tidak terlihat sama sekali,” kata Eko di kantornya.

Eko melanjutkan, dominasi Perppu dan PMK justru banyak membidik pemilik rekening di dalam negeri dibandingkan upaya strategis mengoptimalkan penelusuran WNI yang membuka rekening di luar negeri. Sehingga, hal itu malah berpotensi menimbulkan instabilitas sektor keuangan dan kontra produktif terhadap upaya repatriasi yang sudah dilakukan. Sebaliknya, ia sama sekali tidak melihat ada strategi yang coba dilakukan pemerintah untuk membidik dana WNI untuk direpatriasi ke dalam negeri saat era AEoI.

“Menurut saya, strategi itu harus dijelaskan seperti apa. Lalu langkah-langkah yang dilakukan setelah itu disepakati, itu harus ada. Kita tahu, tantangannya ada dengan Singapura karena diduga banyak uang disana. Tentu harus ada strategi, pendekatannya memang bilateral kembali,” kata Eko.

Eko mengusulkan, sebaiknya pemerintah mesti bisa memastikan bahwa negara lain yang menjadi tujuan permintaan data informasi keuangan itu akan memperlakukan Indonesia sebagai negara tujuan. Pemerintah harus bisa melihat apakah Indonesia menjadi prioritas untuk pertukaran data keuangan itu, misalnya dengan Singapura. Selanjutnya, pemerintah termasuk dengan presiden dapat memperkuat hubungan pertukaran itu, misalnya dengan melakukan pertemuan secara G to G dan bilateral.

“Nah ini ada 100 negara, sama-sama punya kepentingan tukar. Kita harus pastikan kalau kita prioritas oleh negara yang mau disasar. Kalau tidak diprioritaskan, ngapain kita bikin aturan yang bikin gaduh di dalam negeri,” kata Eko.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait