7 Catatan Kritis Aktivis Lingkungan Terhadap RUU Perkelapasawitan
Berita

7 Catatan Kritis Aktivis Lingkungan Terhadap RUU Perkelapasawitan

Undang-Undang menjamin partisipasi dan masukan masyarakat terhadap RUU.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Pemerintah dan DPR membentuk RUU Perkelapasawitan. Masyarakat sipil mengajukan catatan kritis. Foto ilustrasi perkebunan sawit: MYS
Pemerintah dan DPR membentuk RUU Perkelapasawitan. Masyarakat sipil mengajukan catatan kritis. Foto ilustrasi perkebunan sawit: MYS
RUU Perkelapasawitan telah disepakati Pemerintah dan DPR sebagai salah satu Prolegnas Prioritas Tahun 2017. Artinya, proses pembahasannya akan dikebut agar bisa diselesaikan pada tahun ini juga. Kasus penolakan Uni Eropa terhadap hasil produk perkebunan kelapa sawit Indonesia makin mendorong Pemerintah dan DPR ingin menata usaha perkelapasawitan.

Sebaliknya, gencarnya pembukaan lahan sawit baru dan ekspansi perusahaan sawit dianggap semakin membahayakan kelestarian hutan. Kasus-kasus kebakaran hutan seringkali dikaitkan dengan pembukaan lahan sawit baru. Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti Forest Wath Indonesia (FWI), Elsam, Auriga, dan Sawit Watch bahkan melihat carut marutnya pengelolaan sawit membawa konsekuensi hukum. Karena itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil memberikan catatan kritis terhadap RUU Perkelapasawitan.

Setidaknya ada 7 isu yang selama ini diusung, yang dihimpun Hukumonline dari kertas kebijakan Koalisi Masyarakat Sipil.
  1. Isi RUU lebih melindungi kepentingan korporasi penguasa industri kelapa sawit. Pengusung RUU berangkat dari argumen bahwa RUU ini disiapkan untuk melindungi kepentingan nasional. Organisasi masyarakat sipil justru menilai RUU hanya akan melindungi kepentingan segelintir pengusaha atau korporasi penguasa industri sawit. Pemegang saham korporasi besar yang berbisnis sawit justru dari Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Inggris, Brazil, Kanada, Perancis, dan Belanda. Selain itu, organisasi masyarakat sipil menganggap argumentasi kepentingan nasional lebih ditekankan pada kontribusi sawit terhadap pendapatan negara. Seolah-olah kerugian akibat kerusakan lingkungan dalam jangka panjang tak diperhitungkan sama sekali.
  2. RUU sekadar copy paste, dimana 13 dari 17 bab dalam RUU sudah diatur dalam UU Perkebunan. Organisasi masyarakat sipil menilai tak ada urgensi membuat Undang-Undang khusus perkelapasawitan. Faktanya sebagian besar materi muatan RUU Perkelapasawitan yang ada saat ini sudah diatur dalam beberapa Wet lain: UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu RUU Perkelapasawitan juga mengamanatkan belasan peraturan teknis, yang jika tak segera dibuat, akan mempersulit operasional Undang-Undang.
  3. RUU berpotensi menyunat sanksi pidana untuk pelanggaran perkelapasawitan. Ancaman sanksi pidana dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk sanksi pidana terhadap korporasi, cenderung direduksi dalam RUU Perkelapasawitan. Misalnya, sanksi atas penggunaan sarana yang dapat mengganggu kesehatan dan keselamatan manusia terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal 5 miliar rupiah. Dalam RUU, sanksi itu diturunkan menjadi maksimal 1 tahun 4 bulan penjara dan maksimal denda 145 juta rupiah.
  4. RUU belum berpihak pada kesejahteraan petani kecil dan buruh sawit. Para aktivis lingkungan menilai RUU justru akan lebih menguntungkan pengusaha besar karena kepentingan merekalah yang dikedepankan. Para pengusaha dinilai berlindungan di balik kepentingan buruh sawit dan petani kecil.
  5. RUU berpotensi memperburuk konflik lahan dan sosial di sektor perkebunan. Para aktivis lingkungan yang tergabung dalam organisasi masyarakat sipil khawatir RUU ini tak akan bisa mengatasi persoalan yang selama ini sudah sering terjadi: konflik lahan. Masyarakat hukum adat yang sudah turun temurun berladang justru lebih sering menjadi korban jika terjadi konflik lahan dengan pengusaha. Modal besar memudahkan pengusaha mendapatkan bukti-bukti legal formal dan membayar firma hukum untuk kepentingannya.
  6. RUU berpotensi kuat memfasilitasi kepentingan asing. Organisasi masyarakat sipil khawatir RUU ini lebih ditujukan untuk memfasilitasi kepentingan investasi asing dan mempertahankan status quo atas penguasaan ahan di Indonesia. Ini bertentangan dengan program reforma agraria yang diusung sendiri oleh Pemerintah. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit yang diusung dalam RUU justru bertentangan dengan Inpres No. 8 Tahun 2015 tentang moratorium kawasan hutan. (Baca juga: Bolehkah Orang Asing Melakukan Usaha Perkebunan Sawit?).
  7. RUU mengancam hutan dan gambut Indonesia. RUU Perkelapasawitan dikhawatirkan dijadikan instrumen atau celah bagi perusahaan besar untuk membuka lahan perkebunan sawit di atas lahan gambut. Di satu sisi, antara lain lewat PP No. 57 Tahun 2016, pemerintah ingin melindungi ekosistem gambut dengan membuat moratorium. RUU, di sisi lain, justru ikut mendorong pembukaan lahan sawit baru, yang jika tak diawasi ketat, akan merambah ke lahan gambut.
Masukan-masukan kritis tentu saja menjadi bagian penting dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan masyarakat dapat memberikan masukan baik lisan maupun tertulis. Masyarakat yang dimaksud bisa berupa perorangan maupun kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi RUU yang sedang dibahas.
Tags:

Berita Terkait