Mengurai Plus Minus Kebijakan Lima Hari Sekolah
Berita

Mengurai Plus Minus Kebijakan Lima Hari Sekolah

Sebagai implementasi dari program PPK yang menitikberatkan pada religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas.Sisi lain, kebijakan tersebut berpotensi melanggar UU.

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi siswa Sekolah Dasar. Foto: SGP
Ilustrasi siswa Sekolah Dasar. Foto: SGP
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana akan menerapkan kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari sekolah di tahun ajaran 2017/2018. Otomatis, kebijakan tersebut mulai berlaku pada Juli mendatang dan tengah disusun regulasinya oleh pemerintah.

Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan penerapan kebijakan tersebut dapatmenguntungkan madrasah diniyah. "Justru dengan semakin banyak waktu siswa belajar, maka madrasah diniyah dapat diintegrasikan dengan pembentukan karakter. Madrasah diniyah justru diuntungkan karena akan tumbuh dijadikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat bersinergi dengan sekolah dalam menguatkan nilai karakter religius," ujarnya di Jakarta, sebagaimana dikutip dari Antara, Senin (12/6).

Dia menjelaskan melalui pendidikan belajar delapan jam itu, jangan dibayangkan siswa akan berada di kelas sepanjang hari. Guru dapat mendorong siswa untuk belajar dengan berbagai metode seperti bermain peran hingga belajar dari sumber yang beragam, seperti dari seniman, petani, ustadz hingga pendeta. “Banyak sumber yang bisa terlibat, tetapi guru harus tetap bertanggung jawab pada aktivitas siswanya," katanya.

Kebijakan itu merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menitikberatkan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas. "Peraturan terkait hal tersebut segera diterbitkan dan segera kita sosialisasikan," kata Muhadjir.

Dijelaskannya, penguatan karakter tersebut tidak berarti siswa akan belajar selama delapan jam di kelas. Namun, siswa akan didorong melakukan aktivitas yang menumbuhkan budi pekerti serta keterampilan abad 21. Tak hanya di sekolah, lingkungan seperti surau, masjid, gereja, pura, lapangan sepak bola, museum, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya dapat menjadi sumber belajar.

"Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen," kata dia. (Baca: Pasal-Pasal Penjerat Pelaku Perpeloncoan di Lingkungan Pendidikan)

Untuk itu kegiatan guru ceramah di kelas harus dikurangi digantikan dengan aktivitas positif, termasuk mengikuti madrasah diniyah, bagi siswa Muslim. Guru wajib mengetahui dan memastikan di mana dan bagaimana siswanya mengikuti pelajaran agama sebagai bagian dari penguatan nilai relijiusitas. Guru wajib memantau siswanya agar terhindar dari pengajaran sesat atau yang mengarah kepada intoleransi.

Guru menjadi faktor penting dalam penerapan PPK di sekolah. Disampaikan Mendikbud, guru bukan hanya instruktur atau pengajar, tetapi juga penghubung sumber-sumber belajar. Penerapan kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari sekolah akan dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan kapasitas sekolah.

Muhadjirmengimbau kepada para kepala sekolah yang tergabung dalam Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) agar dapat berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan untuk segera memetakan sekolah-sekolah yang siap melaksanakan kebijakan ini. Selain itu, tugas guru maupun MKKS adalah memastikan bahwa potensi kekhasan di daerah terpelihara dengan baik.

"Misalnya bila di sebuah daerah ada tradisi anak mengaji di madrasah diniyah pada jam-jam sore, maka jam-jam tersebut harus dikonversi sebagai bagian dari delapan jam pelajaran itu. Di beberapa daerah sudah menerapkan seperti itu dan saya kira sangat baik," jelas Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menilai kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah yang digagas Menteri Muhadjirberpeluang melanggar sejumlah undang-undang. "Kebijakan baru itu berpeluang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," katanya melalui pesan tertulis.

Susanto mengatakan,kebijakan baru tersebut berpeluang bertentangan dengan Pasal 51 UUSistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan. Pasal tersebut berbunyi "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah".

"Dengan Pasal tersebut, maka satuan pendidikan memiliki kemandirian untuk mengembangkan pilihan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan masing-masing sekolah atau madrasah," tuturnya. (Baca: Koalisi Pendidikan Kritik Wewenang Baru Komite Sekolah)

Kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah juga berpotensi bertentangan dengan Pasal 35 Undang-Undang Guru dan Dosen. Ayat (1) Pasal tersebut berbunyi "Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan".

Sedangkan Ayat (2) berbunyi "Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu".

"Dengan kebijakan baru lima hari delapan jam belajar di sekolah, guru berpeluang besar mengajar melampaui jumlah jam mengajar di sekolah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut," katanya.

Karena itu, KPAI meminta Mendikbud agar mengkaji kembali rencana kebijakan tersebut. Menurut Susanto, membangun sistem pendidikan harus menyeluruh. Pendidikan harus memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah dan peran keluarga dalam pengasuhan atau pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta keterlibatan masyarakat.

"Anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kekurangan jam belajar di sekolah. Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi layanan pendidikan di sekolah, memperkuat peran keluarga dan memastikan keterlibatan lingkungan sosial," katanya. 

Pemerhati anak yang juga anggota terpilih KPAISusianah Affandy menilai penerapan sekolah sehari penuh atau program PPK yang mulai diterapkan secara bertahap pada tahun ajaran baru itu, tidak manusiawi. "Belajar di kelas 8 jam lamanya itu artinya, masuk jam 07.00 WIB dan pulang jam 15.00 WIB. Panjangnya waktu tersebut tidak manusiawi bagi tumbuh kembang anak," ujarnya.

(Baca: Permendikbud 75/2016 Lahir, Komite Sekolah Boleh Galang Dana)

Dia menjelaskan pendidikan dasar dan menengah bagi anak seharusnya dilakukan dengan tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Anak butuh bermain dan permainan adalah medium belajar anak. Selain itu, anak butuh istirahat serta berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya. Pemberlakukan PPK itu seperti membayangkan seakan-akan Indonesia adalah DKI Jakarta yang mana alasan karena orang tua sibuk bekerja maka anak dititipkan di sekolah agar aman.

Susianah mengkhawatirkan jika PPK diberlakukan secara keseluruhan, maka akan menyebabkan masalah baru seperti penyediaan makanan untuk anak, guru yang ramah anak, serta sarana dan prasarana yang juga ramah anak."Ini perlu kajian mendalam, apakah benar PPK solusinya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait