3 PP, 3 Perpres, dan 13 Permen Turunan UU Jasa Konstruksi Rampung Tahun Ini
Utama

3 PP, 3 Perpres, dan 13 Permen Turunan UU Jasa Konstruksi Rampung Tahun Ini

UU tentang Jasa Konstruksi juga memberi mandat untuk membuat dua Keputusan Menteri dan dua Peraturan Daerah/Gubernur. Selain itu, aturan turunan yang telah dibuat pasca diterbitkannya UU Nomor 18 Tahun 1999 sepanjang tidak sesuai juga akan direvisi.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pekerja jasa konstruksi. Foto: Sgp
Ilustrasi pekerja jasa konstruksi. Foto: Sgp
Pemerintah semakin intens menggodok aturan teknis pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Hal ini dilakukan demi memenuhi batas maksimal penyusunan peraturan pelaksanaan, yakni paling lambat awal tahun 2019.

Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Direktorat Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Darda Baraba mengatakan bahwa pasca diundangkan 12 Januari 2017 kemarin, pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR mulai menyusun aturan pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2017 yang merupakan pengganti dari aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 18 Tahun 1999.

“Menteri minta agar ini bisa disosialisasikan hingga April 2017. Sembari itu, kita persiapkan aturan PP-nya,” kata Darda kepada hukumonline awal Juni 2017 kemarin.

Darda menambahkan, pihaknya juga telah menggelar beberapa forum group discussion (FGD) untuk menjaring masukan dari masyarakat serta pemangku kepentingan lain. Forum diskusi ini rencananya akan diadakan hingga beberapa kali mengingat aturan turunan yang dimandatkan UU Nomor 2 Tahun 2017 cukup banyak. Selain itu, mengingat lebih dari 50 persen subtansi UU Nomor 2 Tahun 2017 berubah, maka sebagian aturan turunan yang ada pasca UU Nomor 18 Tahun 1999 juga tengah diinventarisir untuk direvisi.

Pada tahap perencanaan penyusunan ini, lanjut Darda, pemerintah telah berhasil menyusun daftar judul dan pokok materi aturan turunan UU Nomor 2 Tahun 2017. Pihak Kementerian PUPR juga telah menyampaikan daftar rencana penyusunan itu kepada Kementarian atau Lembaga terkait dan telah menggelar rapat koordinasi antara Kementerian atau Lembaga terkait. Setelah tahap perencanaan, Kementerian PUPR serta Kementerian atau Lembaga terkait mulai menyusun subtansi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancangan Peraturan Menteri PUPR (Rancangan Permen PUPR).

“Dalam aturan peralihan (UU Nomor 2 Tahun 2017), diatur maksimal dua tahun sejak ditetapkan (diundangkan pada 12 Januari 2017). Tapi, karena kita mempercepat kalau bisa tahun (2017) ini,” kata Darda.

Berdasarkan identifikasi yang dilakukan tim penyusun, diketahui setidaknya ada tiga PP dan 13 Permen PUPR dan dua Keputusan Menteri PUPR yang mesti dibuat. Selain itu, UU Nomor 2 Tahun 2017 juga memandatkan dibuatnya tiga Peraturan Presiden (Perpres) dan dua Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur. Dikatakan Darda, pihaknya juga akan merevisi PP yang menjadi turunan UU Nomor 18 Tahun 1999, salah satunya PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Hukumonline.com

Terlepas dari itu, Darda menjelaskan bahwa UU Nomor 2 Tahun 2017 mengatur beberapa hal yang benar-benar baru yang sebelumnya tidak diatur di UU Nomor 18 Tahun 1999. Pertama, UU Nomor 18 Tahun 199 terdiri dari 12 bab dan 46 Pasal sedangkan UU Nomor 2 Tahun 2017 terdiri dari 14 bab dan 106 pasal. Kedua, oleh karena jumlah bab dan pasal bertambah, maka diatur bab-bab baru, diantaranya: Bab III tentang tanggung jawab dan kewenangan yang menugaskan kepada pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota; Bab VI tentang keamanan, keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan konstruksi dalam rangka menjamin keandalan dan kualitas produk konstruksi.

Kemudian, Bab VII tentang tenaga kerja konstruksi yang yang menunjukkan pentingnya SDM konstruksi dalam penyelenggaraan konstruksi, Bab IX tentang sistem informasi jasa konstruksi yang menjamin tersedianya database konstruksi untuk kebutuhan pembinaan dan pengembangan konstruksi, dan Bab XII tentang sanksi administratif untuk lebih menekankan bahwa perikatan jasa konstruksi masuk dalam ranah hukum perdata. Terkait sanksi administratif, Darda menyatakan, UU Nomor 2 Tahun 2017 memberi perlakuan khusus di mana dalam hal ada proses hukum, proses penyelenggaran jasa konstruksi tetap berjalan.

“Ditegaskan bahwa kalau bicara jasa konstruksi ini adalah ranah perdata. Artinya apa, diatur di situ perdata, perjanjian kedua belah, itu berkontrak antara A dan B,” kata Darda.

(Baca Juga: Pengusutan Dugaan Korupsi Proyek Jasa Konstruksi Harus Tunggu Audit BPK)

UU Nomor 2 Tahun 2017 menghapus ketentuan pidana dan lebih menekankan pada aspek perdata serta penegakan sanksi secara administratif dalam hal terjadi sengketa. Perubahan paradigma ini diharapkan akan menjamin proses penyelenggaraan jasa konstruksi agar dapat berjalan tanpa gangguan. Meski begitu, aturan ini memberikan pengecualian, yakni dalam hal terjadi hilangnya nyawa seseorang. Misalnya, ada pekerja yang meninggal dalam proyek jasa konstruksi. Selain itu, dalam hal adanya operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan tindak pidana korupsi. Dua kondisi itulah yang menurut Pasal 86 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2017 dikecualikan dari adanya ‘pengesampingan’ proses pidana.

Darda menambahkan, terkait dugaan tindak pidana yang berpotensi merugikan keuangan negara, aturan ini mensyaratkan agar penegak hukum menunggu hasil pemeriksaan dugaan kerugian negara dari lembaga yang berwenang. Lembaga yang berwenang ini sejatinya tak disebut secara tegas dalam UU Nomor 2 Tahun 2017, namun Darda mengatakan bahwa aparat penegak hukum mesti menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum mengusut dugaan kasus korupsi dalam proyek jasa konstruksi lebih lanjut.

“Kalau ada korupsi itu siapa, siapa yang mengatakan? tanya BPK dulu,” kata Darda.

Ketiga, subtansi UU Nomor 2 Tahun 2017 yang berubah yakni terkait tambahan definisi tentang usaha penyediaan bangunan, standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan (K4), dan pengertian baru tentang kegagalan bangunan, jasa konstruksi, pekerjaan konstruksi dan konsultansi konstruksi. Keempat, terdapat asas baru, yaitu kesetaraan, profesionalitas, kebebasan, pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan.

Kelima,tujuan baru yakni, menata sistem jasa konstruksi yang mewujudkan keselamatan publik dan kenyamanan lingkungan terbangun, menjamin tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi, dan menciptakan integrasi nilai tambah dari seluruh tahapan penyelenggaraan jasa konstruksi. Keenam, lingkup pengaturan usaha jasa konstruksi yang diperluas mencakup rantai pasok sebagai pendukung jasa konstruksi dan usaha penyediaan bangunan, penjaminan mutu penyelenggaraan jasa konstruksi yang adil, terbuka melalui pola persaingan sehat, mengacu pada nilai-nilai K4.

Lalu, tujuan baru lain dalam rangka ketenangan dan kelancaran pelaksanaan kontrak, pengembangan produktivitas tenaga kerja indonesia, salah satunya melalui penetapan standar remunerasi minimal. Ketujuh, peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilakukan melalui satu Lembaga. Kedelapan, terkait pengaturan penyelesaian sengketa, terdapat pemilihan upaya penyelesaian sengketa melalui dewan sengketa konstruksi.

Darda menekankan, UU Nomor 2 Tahun 2017 merupakan jawaban terhadap dinamika perubahan jasa konstruksi saat ini yang meliputi, upaya tata kelola pemerintahan yang baik, tuntutan era keterbukaan seperti perdagangan bebas, MEA, dan trans-pasific partnership, harmonisasi peraturan sektor lain, seperti ketenagakerjaan, pemerintahan daerah, ESDM dan pengaturan terhadap  rantai pasok, system delivery dalam sistem pengadaan barang dan jasa, mutu konstruksi, pengembangan usaha berupa usaha penyediaan bangunan, serta kebutuhan dalam penyelesaian sengketa konstruksi.

Dimintai tanggapannya, Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional, Ruslan Rivai berpendapat bahwa penegasan soal keberlanjutan proyek jasa konstruksi dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 membuat iklim usaha industri jasa konstruksi secara umum semakin membaik. Kepastian suatu proyek konstruksi dapat terjamin mengingat para pihak yakni pengguna jasa dan penyedia jasa telah bersepakat dalam kontrak kerja konstruksi.

“Iklim usaha makin baik, karena orang sudah bekerja, sudah berkontrak lalu datang polisi masuk, itu ngga boleh. Dulu masih boleh, masuk korupsi, lapor ke kejaksaan, stop pekerjaan. Nah, sekarang ngga boleh. Selesaikan pekerjaan dulu,” kata Ruslan.

Di samping itu, kebijakan infrastruktur saat ini dibuat saling berkaitan dan terbuka. Aturan sebelumnya, penyedia jasa banyak dibebankan persyaratan yang sifatnya administratif. Sedangkan, dalam aturan terbaru ini dibangun atmosfer persaingan di mana penyedia jasa diminta untuk terus berinovasi menyediakan rantai pasok yang paling efisien.

“Sekarang ini adalah persaingan rantai pasok. Saya punya tenaga kerja, punya pasukan material, artinya kalau kuasai ini saya bisa lebih efisien daripada orang yang bawa dari luar negeri rantai pasoknya. Jadi membangun daya saing rantai pasoknya. Kita tidak bisa pungkiri, persaingan jasa konstruksi tidak hanya persaingan nasional saja tapi dengan negara lain,” kata Ruslan.

Tags:

Berita Terkait