Ahli: Hukuman terhadap Murid Harus Mendidik
Berita

Ahli: Hukuman terhadap Murid Harus Mendidik

Guru dan peserta didik harus mendapatkan perlindungan hukum secara adil, berkepastian hukum, dan proporsional dilihat dari kacamata pedagogi.

Oleh:
ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi siswa Sekolah Dasar. Foto: SGP
Ilustrasi siswa Sekolah Dasar. Foto: SGP
Ahli pendidikan dari Universitas Terbuka, Prof Udin S. Winataputra, menekankan bahwa konsep hukuman dalam bidang bidang pendidikan seharusnya tidak menekankan pada konsep pembalasan atau membuat jera, melainkan harus mendidik.

"Hukuman untuk peserta didik seharusnya bersifat mendidik, karena anak didik merupakan sasaran proses pemberdayaan dan pemuliaan bagi kehidupan mereka di masa datang," ujar Udin ketika memberikan keterangan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (13/6/2017) seperti dikutip Antara.

Udin memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di MK.

"Jangan pernah guru memberikan hukuman secara seketika dan tiba-tiba, bersifat personal, dan dilakukan di hadapan publik," tegas Udin.

Lebih lanjut Udin menjelaskan bahwa pemberian hukuman oleh guru harus dilakukan secara profesional untuk mendidik dan mencerdaskan peserta didik, sehingga tidak memegang doktrin "in loco parentis".

"Guru harus menjalankan fungsinya secara pedagogi, penuh kasih sayang," kata Udin.

Udin juga menyebutkan baik guru maupun peserta didik harus dipandang sama penting dalam melaksanakan peran dan tanggung jawabnya masing-masing.

"Oleh sebab itu guru dan peserta didik harus mendapatkan perlindungan hukum secara adil, berkepastian hukum, dan proporsional dilihat dari kacamata pedagogi," katanya.

Jadi korban
Sementara ahli pemerintah lainnya, pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono menilai, anak didik selalu menjadi korban pada setiap kasus kekerasan fisik dalam pendidikan. "Yang menjadi korban tetap anak didik," ujar Sri Wiyanti.

Lebih lanjut, Sri Wiyanti menjelaskan pandangan dan budaya masyarakat masih menganggap posisi anak-anak masih berada di bawah orang dewasa. "Pandangan ini terkait dengan adanya relasi yang sangat timpang antara orang dewasa dan anak-anak," jelas Sri Wiyanti.

Menurut Sri Wiyanti anak-anak masih dianggap sebagai makhluk yang tidak tahu apa-apa dan harus menuruti kemauan orang dewasa. "Pandangan ini sangat kuat, sehingga orang dewasa kadang memperlakukan anak-anak dengan tidak hormat tanpa peduli dengan perasaan dan keinginan anak," jelas Sri Wiyanti.

Dengan demikian, kata dia, masih ada pendidik yang menganggap bahwa kekerasan terhadap anak adalah bagian dari upaya mendidik atau mendisiplinkan anak.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh dua orang guru bernama Dasrul dan Novianti, yang merasa mengalami ketidakpastian hukum akibat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak, serta Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen terkait jaminan perlindungan hukum terhadap guru dalam menjalankan tugasnya.   

Para pemohon merasa ketentuan tersebut menjadikan posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak dan menimbulkan kasus kriminalisasi terhadap guru.

Para pemohon menilai tindakan guru yang bermaksud untuk memberikan hukuman kepada siswanya dalam rangka menegakkan kedisiplinan kerap dianggap orang tua dan masyarakat sebagai tindakan melanggar HAM atau pidana.

Menurut para pemohon, seharusnya guru dalam menjalankan tugas, sebagaimana diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, tidak dikriminalisasi dan dipidanakan oleh orang tua atau masyarakat.
Tags:

Berita Terkait