MK Juga ‘Pangkas’ Wewenang Kemendagri Batalkan Perda Provinsi
Utama

MK Juga ‘Pangkas’ Wewenang Kemendagri Batalkan Perda Provinsi

Kini, membatalkan Perda baik provinsi dan kab/kota sepenuhnya wewenang MA.

Oleh:
AIDA MARDATILLAH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi kembali mengabulkan sebagian uji materi Pasal 251 ayat  (1),  ayat (2), ayat (7), dan  ayat (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dimohonkan Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz dkk. Intinya, Majelis MK juga menghapus wewenang Kemendagri membatalkan peraturan daerah (Perda) provinsi yang dalam putusan sebelumnya hanya Perda kabupaten/kota, sehingga pembatalan Perda sepenuhnya menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA).   

“Menyatakan frasa ‘Perda Provinsi dan’ dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4), dan frasa ‘Perda Provinsi dan’ dalam Pasal 251 ayat (7), serta Pasal 251 ayat (5) UU No. 23  Tahun  2014  tentang  Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 56/PUU-XIV/2016 di Gedung MK, Rabu, (14/6/2017).

Sebelumnya, Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono mempersoalkan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) UU Pemda terkait wewenang Gubernur dan Mendagri membatalkan Perda sepanjang bertentangan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Faktanya kewenangan ini potensial disalahgunakan pemerintah pusat yang mengarah resentralisasi meski ada proses keberatan pembatalan perda provinsi/kabupaten ke presiden dan Mendagri.

Menurut para Pemohon wewenang pembatalan perda ini masuk lingkup kewenangan judicial review oleh MA sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 karena termasuk hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Para Pemohon meminta Pasal 251 ayat (1), (2) UU Pemda inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mendagri atau gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan Perda ke MA paling lambat 14 hari setelah ditetapkan. Sedangkan, Pasal 251 ayat (7), (8) UU Pemda minta dibatalkan.

Dalam pertimbanganya, Pasal 251 ayat (1), (4) UU No. 23 Tahun 2014 terkait pembatalan  Perda  Provinsi  melalui  mekanisme executive review, maka  pertimbangan  hukum  putusan  No. 137/PUU-XIII/2015 berlaku pula  untuk  permohonan ini. Karena itu, Mahkamah berpendapat Pasal 251 ayat  (1), (4) sepanjang frasa  “Perda  Provinsi dan” bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam putusan No. 137/PUU-XIII/2015 ini terkait Perda Kabupaten/Kota dalam Pasal 251 ayat (2) UU 23/2014 telah pula dipertimbangkan Mahkamah dan dinyatakan  bertentangan dengan UUD 1945. Karenanya, dalil para Pemohon mengenai “Perda   Kabupaten/Kota” dalam Pasal 251 ayat (2) UU 23/2014 menjadi kehilangan objek. (Baca Juga: MK Tegaskan Mendagri Masih Boleh Batalkan Perda Provinsi)

“Pasal 251 ayat (7) UU 23 Tahun 2014 terkait Perda Provinsi yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka jangka waktu pengajuan keberatan pembatalan Perda Provinsi paling lambat 14 hari sejak keputusan pembatalan Perda diterima  menjadi  kehilangan relevansinya, sehingga frasa ‘Perda Provinsi dan’ dalam Pasal 251  ayat  (7) UU 23/2014 juga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.”

Terkait Pasal 251 ayat (5) UU 23/2014 meskipun tidak didalilkan para Pemohon, namun  menjadi kehilangan relevansinya karena pasal ini di dalamnya mengatur tata cara penghentian dan pencabutan Perda yang berkaitan langsung dengan Pasal 251 ayat (4)  UU  23/2014  di mana  frasa “Perda  Provinsi”  telah  dinyatakan  bertentangan  dengan  UUD 1945, sehingga Pasal 251 ayat (5) UU 23/2014 juga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Sama halnya dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015, putusan ini sepanjang berkenaan dengan pembatalan Perda baik Perda provinsi maupun Perda  kabupaten/kota,  4 orang hakim konstitusi mempunyai pendapat  berbeda (dissenting   opinion). Yakni, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, dan Manahan MP Sitompul juga berlaku terhadap permohonan a quo.  

Juru Bicara MK Fajar Laksono menjelaskan saat ini Perda Provinsi tidak bisa dibatalkan oleh Kemendagri, tetapi harus menempuh judicial review ke MA. “Ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kerugian hukum atas berlakunya sebuah Perda. Dan ini juga diatur dalam PERMA,” kata Fajar di Gedung MK.

Menurutnya, putusan ini memiliki pertimbangan yang sama dengan Putusan MK sebelumnya No. 137/PUU-XIII/2015 dengan komposisi Majelis juga sama. “Majelis Hakim yang dissenting opinion pun sama komposisinya, kecuali Prof Saldi Isra termasuk orang yang pro terhadap judicial review. Jadi komposisinya 4 majelis hakim kontra judicial review dan 5 majelis hakim yang pro,” ujarnya.

“MK ingin tertib hukum ke depannya, makanya pembatalan perda baik provinsi atau kab/kota dilimpahkan ke MA (semuanya). Jadi, Putusan MK ini sudah tidak boleh lagi eksekutif yang membatalkan perda,” katanya.

Untuk diketahui, awalnya pasca terbitnya putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 yang memberi tafsir Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) masih boleh melakukan executive review (membatalkan) Peraturan Daerah (Perda) provinsi. Sebab, MK hanya menghapus wewenang Mendagri membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Baca Juga: Catat!!! Kini Pembatalan Perda Kabupaten/Kota Wewenang MA

Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 ini hanya mengabulkan pengujian Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) bersama 45 Pemkab. Mahkamah menyatakan aturan mekanisme pembatalan peraturan daerah (perda) kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri inkonstitusional. Dengan begitu, sesuai dua putusan MK ini, pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Perda Provinsi hanya bisa ditempuh melalui judicial review ke MA.
Tags:

Berita Terkait