DPR: Penggunaan Hak Angket Bentuk Pengawasan
Berita

DPR: Penggunaan Hak Angket Bentuk Pengawasan

Sepanjang tak ada persoalan, KPK mestinya tak perlu khawatir dengan angket. Sebaliknya, penggunaan hak angket mengganggu independensi KPK karena adanya konflik kepentingan sejumlah anggota Pansus Hak Angket.

Oleh:
RFQ/ANT
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
DPR tetap mengukuhkan penggunaan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan mekanisme aturan yang ada. Penggunaan hak angket pun tidak melanggar konstitusi. Lagipula, penggunaan hak angket pun jarang dikeluarkan sebagai alat kontrol bagi pemerintah atau lembaga negara.  

“Jadi yang ingin saya garis bawahi, kita tak perlu takut dengan pansus angket. Itu adalah hak DPR yang sudah ada dalam konstitusi. Itu bukan apa-apa, kalau kita tak salah tidak perlu ada yang disembunyikan, tak usah takut,” ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Gedung DPR.

Di era demokrasi, pengawasan terhadap lembaga negara adalah sesuatu yang biasa. Termasuk dengan penggunaan hak angket. Pengawasan pun dengan menggunakan hak angket dengan melakukan penyelidikan terhadap sesuatu yang perlu dicari penjelasan dan kebenaran. 

Karena itu, penggunaan hak angket sebagai bentuk check and balance terhadap lembaga negara oleh DPR. Menurutnya, DPR periode 2014-2019 hanya menjalankan tugas konstitusional yakni pengawasan dalam bentuk pansus angket. Di periode sebelumnya pun hak angket digunakan dalam kasus dana bailout Century.

“Dalam negara demokrasi, check and balance itu keharusan, setiap lembaga harus mau dicek lembaga legislatifnya yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat,” ujar politisi Partai Gerindra itu.

Anggota Pansus Hak Angket KPK, Dossy Iskandar Prasetyo berpandangan mesti dibedakan dari aspek pemerintahan negara dan kehakiman. Nah, posisi KPK dalam konstitusi sekedar lembaga independen. Karena itu, KPK bukanlah badan peradilan maupun kehakiman. Oleh sebab itu, KPK mesti tunduk pada hak angket. Baca Juga: Pasal Ini Jadi Alasan Hak Angket Berbahaya Bagi Independensi KPK

Dikatakan Dossy, UUD 1945 membagi dua kekuasaan negara. Pertama kekuasaan pemerintahan negara yang dijalankan presiden. Kedua, kekuasaan pembentukan UU dijalankan oleh DPR. Menurutnya, kekuasaan negara yakni seluruh infrastruktur politik di luar kekuasaan kehakiman.

“Saya mau tanya, cantolan KPK di dalam UUD berada dimana? Ikut dimana KPK di dalam konstitusi. Dia (KPK) ada karena adanya kondisi ketika itu, sehingga diperlukan. KPK itu cantolannya pada keadaaan yang memerlukan, bukan pada konstitusi,” ujarnya.

Politisi Partai Hanura tak menampik hak angket hanya menyasar pemerintah. Namun, kata Dossy, tidak kemudian KPK tidak pula dapat diangket. Ia pun mengoreksi adanya pandangan bahwa KPK bukanlah pemerintah sehingga tak dapat diangket. Padahal, adanya preseden yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) diangket setelah pelaksanaan pemilu 2009 silam.

“KPU yang diatur konstitusi saja bisa diangket kok. Mesti dia sifatnya independen mandiri. Jadi harus dibedakan kalau kekuasaan kehakiman tidak bisa karena dia kekuasaan yang merdeka,” katanya.

Anggota Komisi III DPR itu menilai penggunaan hak angket oleh DPR dapat diterapkan pada semua lembaga negara, kecuali kekuasaan kehakiman yang merdeka lantaran menjalankan fungsi peradilan. Sebaliknya, KPK tidak menjalankan fungsi peradilan. Menurutnya KPK tak dapat diangket lantaran adanya irisan berkaitan dengan peradilan di teknis penyidikan dan penuntutan. Baca Juga: KPK Minta Masukan Ahli Terkait Pansus Hak Angket

“Tetapi kalau ada dugaan penyimpangan penyidikan, apa kemudian tidak bisa diangket? Ya bisa dong. Jangan sampai semua hasil adanya dugaan penyimpangan penyelidikan yang kemudian dibawa ke dunia peradilan yang menjadikan hasilnya peradilan sesat, itu tidak boleh,” ujarnya.

Bertentangan dengan independensi KPK
Terpisah, peneliti  Pusat Studi Kebijakan Hukum Indonesia (PSHK) Miko Ginting menilai penggunaan hak angket oleh DPR bertentangan dengan independensi KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. Misalnya kasus dugaan korupsi e-KTP dan BLBI. Terlebih, terdapat konflik kepentingan antara pengusung dan anggota Pansus Hak Angket.

Karena itu, muncul dugaan penggunaan hak angket bukan atas aspirasi konstituen mereka di daerah pemilihan. Namun hanyalah aspirasi para anggota Pansus Hak Angket semata. Baca Juga: Asosiasi Pengajar Tata Negara Kritik Hak Angket KPK

Menurut Miko, gangguan terhadap kemandirian KPK sejatinya dapat terbuka bila hanya meminta informasi atau dokumen pengungkapan perkara. Namun begitu, KPK pun dapat saja menolak memberikan informasi atau dokumen perkara ke Pansus Hak Angket. Dengan dalih, Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU KIP mengatur informasi yang dikecualikan yang tak dapat diberikan ke pihak lain, salah satunya informasi penyidikan perkara.

“Dalam konteks kewenangan, penggunaan hak angket ini akan bertentangan dengan independensi KPK dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi,” ujarnya melalui pesan pendek kepada hukumonline.

Lebih lanjut Miko menilai membuka informasi penyidikan sama halnya membongkar penanganan kasus sebuah perkara. Hal itu mengganggu kemerdekaan KPK sebagai lembaga yang independen dari intervensi manapun, tidak terkecuali DPR. Karena itu, penggunaan hak angket bertentangan dengan prinsip independensi penegakan hukum.

“Oleh karena itu, sebaiknya DPR berpikir ulang untuk meneruskan pelaksanaan hak angket ini. Apabila diteruskan dengan mengabaikan prinsip independensi penegakan hukum, maka kesan bahwa hak angket ini bertujuan untuk political shaming dan mendelegitimasi KPK semakin terasa kuat adanya,” katanya.

Kajian rampung
Terpisah, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan kajian terkait hak angket yang dibahas dengan para ahli hukum telah rampung. "Kajian dari pakar sudah lengkap, kami setuju dengan itu. Semua yang dianggap dan ditemukan oleh pakar terkait kajian hak angket itu sudah sesuai dengan pemikiran KPK," kata Syarif di gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/6).

Namun, kata dia, KPK belum menentukan sikap apakah akan hadir dalam pembahasan hak angket tersebut di DPR karena belum menerima surat secara resmi. "Sikap terhadap hak angket itu, kalau kami sudah mendapat surat dari sana. Kami belum mendapatkan sampai hari ini dari DPR," ucap Syarif.

Sebelumnya, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menilai pembentukan Panitia Khusus Hak Angket DPR cacat hukum. "Cacat hukum karena tiga hal pertama karena subjeknya yang keliru, kedua karena objeknya yang keliru, dan ketiga prosedurnya yang salah," kata Ketua Umum DPP APHTN-HAN Mahfud MD saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/6) kemarin.

Soal subjeknya yang keliru, Mahfud mengatakan secara historis hak angket itu dulu hanya dimaksudkan untuk pemerintah. "Dulu kan pertama kali di Inggris itu untuk pemerintah. Lalu di Indonesia diadopsi pada 1950 ketika sistem parlementer untuk keperluan mosi tidak percaya kepada pemerintah lalu diadopsi di dalam UUD yang sekarang hak angket itu tetapi tetap konteksnya pemerintah karena tidak mungkin DPR itu mengawasi yang bukan pemerintah," tuturnya.

Selanjutnya terkait objeknya yang keliru, ia menilai bahwa di dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menyebutkan hak angket itu untuk menyelidiki pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah.

"Di situ disebut di penjelasannya bahwa siapa itu pemerintah mulai Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan lembaga pemerintah nonkementerian. Basarnas, LIPI, Wantimpres itu lembaga pemerintah nonkementerian. Tetapi di luar itu bukan lembaga pemerintah seperti KPK itu bukan lembaga pemerintah," kata Mahfud.

Terakhir menyangkut masalah prosedur, Mahfud menyatakan prosedur pembuatan Pansus Hak Angket itu diduga kuat melanggar Undang-Undang. "Karena pertama menurut yang disiarkan di media massa pada waktu itu dipaksakan prosedurnya. Ketika itu masih banyak yang tidak setuju tiba-tiba diketok. Seharusnya di dalam keadaan belum bulat suaranya mestinya kan di-voting ditanya dulu, nah itu dianggap sebagai manipulasi persidangan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Menurut dia, Pansus Hak Angket itu juga terkesan dipaksakan karena baru ada tujuh fraksi di DPR RI yang mengirimkan wakilnya. "Padahal menurut Pasal 201 ayat (3) UU MD3 harus semua fraksi ada di dalam panitia itu, kalau itu dipaksakan berari melanggar juga prosedur yang ada," tegasnya.

KPK juga telah mengundang ahli hukum pidana Indriyanto Seno Adji untuk membahas keabsahan Hak Angket KPK itu. Indriyanto menyatakan yang menjadi salah satu pembicaraan dengan KPK tadi adalah mengenai keabsahan hak angket karena belum terwakilinya semua fraksi tersebut.

"Pembicaraan ini masih kami tunggu dari ahli lainnya. Jadi soal keabsahannya masih kami bicarakan. Persoalan ini masih kami dalami," ucap mantan Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK tersebut.

Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus e-KTP.

Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa.
Tags:

Berita Terkait