Giliran Serikat Pekerja Kelapa Sawit Tolak Pembahasan RUU Perkelapasawitan
Berita

Giliran Serikat Pekerja Kelapa Sawit Tolak Pembahasan RUU Perkelapasawitan

Telah ada peraturan lain yang mengatur tentang perkelapasawitan yang mesti dibenahi untuk menjadi acuan terhadap pembahasan RUU Perkelapasawitan.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Keputusan DPR memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017, mendapat respons dari sejumlah pihak. Setelah Koalisi Masyarakat Sipil seperti Forest Watch Indonesia (FWI), Elsam, Auriga, dan Sawit Watch menyampaikan catatan kritisnya terhadap RUU Perkelapasawitan, kali ini giliran petani kelapa sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) ikut memberikan suaranya.

“Pembahasan RUU Perkelapasawitan dibatalkan saja karena semua isinya itu copy paste dari UU Perkebunan, menurut saya itu tidak ada sisi manfaatnya buat petani,” ujar Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, kepada hukumonline, Kamis (15/6), saat menghadiri Diskusi Publik “Palm Oil Update”, di Jakarta.

Menurut Darto, hal yang lebih dibutuhkan oleh petani sawit saat ini adalah revisi terhadap UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta sejumlah peraturan setingkat Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan Crude Palm Oil (COP).

“Kita minta sekarang adalah revisi UU perkebunan saja kemudian kalau masih ada kekurangan, juga perpres dan juga PP CPO fund,” terang Darto. (Baca Juga: 7 Catatan Kritis Aktivis Lingkungan Terhadap RUU Perkelapasawitan)

Oleh karena itu, jika ada pihak yang mendorong pembahasan RUU Perkelapasawitan, Darto mengingatkan untuk tidak terlalu jauh karena telah ada peraturan lain yang mengatur tentang perkelapasawitan yang mesti dibenahi karena akan menjadi acuan terhadap pembahasan RUU Perkelapasawitan.

“Harusnya adalah dibenahi dulu soal peraturan-peratuan yang ada, misalnya standar keberlanjutan; soal legalitas kelembagaan; soal deforestasi dan lain-lain. Itu harus menjadi acuan didalam UU (RUU) itu,” terang Darto.

Darto mengingatkan bahwa di dalam UU Perkebunan, telah terjadi perubahan atas beberapa pasal akibat dari diterimanya sejumlah gugatan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, respons yang lebih tepat adalah dengan mengubah UU Perkebunan.

“Karena sudah ada perubahan, menurut saya ini harus direspon dengan cara mengubah, merevisi UU perkebunan itu untuk merekognisi perubahan dari MK,” tukasnya.(Baca juga: Bolehkah Orang Asing Melakukan Usaha Perkebunan Sawit?)

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia, Derom Bangun, menceritakan proses awal dari munculnya RUU Perkelapasawitan. Menurut Derom, RUU Perkelapasawitan awalnya merupakan inisiatif dari DPR yang kemunculannya lantas disambut oleh para stakeholder.

Menurut Derom, DPR saat itu berfikir untuk memajukan petani kelapa sawit yang belum diatur dalam ketentuan-ketentuan di dalam UU Perkebunan. “Ketika itu kita mendengarkan dulu dari DPR hal-hal yang sangat penting terutama kepentingan untuk memajukan petani yang belum tergarap atau tercakup di dalam UU Perkebunan. Oleh karena itu kita sambut dengan memberikan masukan-masukan,” ujarnya di tempat yang sama.

Oleh karena itu, Derom mengingatkan agar semua pihak mempertimbangkan hal-hal krusial dari kehadiran RUU Perkelapasawitan.  Selain itu, Derom juga mengingatkan agar DPR dapat mendengar suara-suara keberatan dari para pihak yang belum menginginkan pembahasan RUU ini untuk diteruskan. (Baca Juga: Baleg Sepakati 49 RUU Prolegnas 2017, Ini Daftarnya)

“Kalau dengan kepala dingin melihat secara objektif karena memang masalah kelapa sawit Indonesia cukup kompleks,” katanya.

Menurut Derom, hal yang penting dari pembahasan RUU Perkelapasawitan adalah memasukkan ketentuan yang mengatur legalitas para petani. Soalnya, di lapangan masih banyak terdapat petani yang belum memiliki legalitas meskipun mereka telah lama menggarap lahan tersebut.

Aspek legalitas ini menjadi penting karena dengan begitu, petani juga bisa memperoleh kemudahan dalam melakukan usaha mereka mengingat di lapangan, petani seringkali terkena pungutan ekspor meski tidak semuanya memperoleh kemudahan dalam berusaha.

“Patutnya secara logis, dia pun mendapatkan kemudahan juga dari itu. Sekarang, mereka tidak akan kebagian karena yang dapat hanya yang punya legalitas,” terang Derom.

Yunita Sidauruk, dari Kompartemen Hukum dan Litigasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyampaikan sepanjang RUU Perkelapasawitan dapat membantu meningkatkan kualitas dari isndutri kelapa sawit Indonesia, terutama memberikan perbaikan nasib terhadap petani maka GAPKI merupakan salah satu bagian yang mendukung.

Menurut Yunita, GAPKI menyadari bahwa petani merupakan pihak yang paling rentan terhadap faktor-faktor keberlanjutan dalam industri kelapa sawit. “Kita tahu mereka sangat low access terhadap keuangan, low access terhadap legalitas, low access terhadap knowledges, low access terhadap SDM, low acces terhadap bagaimana caranya untuk mendapatkan bibit,” papar Yunita.

Yunita menegaskan, saat berbicara tentang keberlanjutan industri kelapa sawit Indonesia, perlu ada harmonisasi dari tingkat hulu sampai hilir. Hal ini dikarenakan dunia internasional dalam melihat indsutri kelapa sawit Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh. Sementara yang sebenarnya, di Indonesia terdapat unsur korporasi dan masyarakat. Sehingga faktor-faktor tersebut harus diperhatikan jika ingin memenuhi tuntutan sustainability.

Tags:

Berita Terkait