Masa Penahanan Teroris Disepakati Totalnya 791 Hari
Berita

Masa Penahanan Teroris Disepakati Totalnya 791 Hari

“Kalau sudah memiliki dua alat bukti, apa urgensinya menahan orang hingga 700-an hari ke depan? Kalau anda sudah punya bukti, (bawa ke) penuntutan di ruang sidang”.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Polisi menangani aksi terorisme di kawasan Sarinah, Januari 2016. Foto: RES
Polisi menangani aksi terorisme di kawasan Sarinah, Januari 2016. Foto: RES
Setelah selama dua hari rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme  digelar secara tertutup, akhirnya perdebatan soal masa penangkapan dan penahanan disepakati Panja dan pemerintah. Kesepatakan diambil setelah palu rapat pimpinan diketuk.

Ketua Panja RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Ahmad Syafii mengatakan Panja dan pemerintah telah membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke-72.  Menurutnya, masa penangkapan disepakati menjadi 14 hari. Nah sepanjang diperlukan oleh penyidik dapat dimintakan masa perpanjangan selama 7 hari.

Dalam draf RUU yang disodorkan pemerintah, masa penahanan di tingkat penyidikan selama 300 hari. Namun setelah terjadi perdebatan panjang, masa penahanan di tingkat penyidikan disepakati menjadi 200 hari. Syafii merinci, masa penahanan yang menjadi kewenangan di tingkat penyidikan selama 120 hari. Namun hal itu masih dapat dimintakan perpanjangan masa penahanan selama 60 hari dengan meminta izin ke pihak Kejaksaan.

Perpanjangan masa penahanan pun masih dapat dilakukan selama 20 hari dengan meminta izin ke pihak pengadilan. Dengan begitu, total masa penahanan di tingkat penyidikan menjadi 200 hari. Sedangkan di tingkat penuntutan, total masa penahanan selama 90 hari. Rinciannya, 60 hari masa penahanan untuk kemudian dapat diperpanjang 30 hari.

“Sedangkan masa penahanan di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (MA) sama dengan di KUHAP,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (15/6) kemarin. Baca Juga: Dua Hal yang Perlu Diatur dalam Revisi UU Pemberantasan Terorisme

Pemerintah seperti tertuang dalam draf RUU ini meminta total masa penangkapan dan penahanan selama 1.010 hari. Namun disepakati dalam rapat Panja dan pemerintah menjadi 791 hari dari mulai proses penyidikan hingga MA. Jumlah masa penahanan tersebut berbeda jauh dengan yang tertuang dalam KUHAP. Masa penahanan mulai di tingkat penyidikan hingga di tingkat kasasi MA, totalnya selama 310 hari.

Anggota Komisi III DPR itu menilai pengurangan masa penahanan dari usulan pemerintah itu didasarkan pada beberapa aspek. Pertama, persoalan hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, Indonesia telah meratifikasi perlindungan terhadap  hak-hak sipil. Kedua, pertimbangan asas peradilan sederhana, cepat dan murah.

Ketiga, mempercepat adanya kepastian hukum bagi orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana terorisme. Nah, lantaran semangatnya HAM, penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana terorisme, sehingga terjadi tarik menarik. Khususnya, antara pengalaman penyidik di lapangan dengan aspek HAM.

“Dengan jangka waktu maksimal diberikan KUHAP, mereka kerepotan. Tapi kita mau kasih tambahan sesuai keinginan mereka itu juga melanggar HAM. Akhirnya kompromisnya boleh nambah tapi tidak banyak. Itu semua sudah diketuk dan debatnya hampir 2 bulan,” ujar politisi Partai Gerindra itu.

Terpisah, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Eras Napitupulu  mengatakan lantaran rapat digelar tertutup selama dua hari, pihaknya belum mendapat informasi resmi terkait 791 hari masa penangkapan dan penahanan. Eras mengaku bingung ketimbang bersikap reaktif terhadap keputusan Panja dan pemerintah tersebut.

“Kita sudah pada tahapan bingung, ketimbang reaktif. Karena sejak dari awal kita sudah mengatakan monggoh-monggoh saja kalau mau ditambahkan. Tetapi pemerintah harus konsisten,” ujarnya.

Pertama, sejak dari awal pemerintah mengatakan penanganan terorisme menggunakan mekanisme criminal justice system. Karena itu, harus tunduk terhadap prinsip-prinsip criminal justice. Antara lain dalam konteks  fair  trial dan human right. Kedua, keputusan menggunakan masa penahanan hingga mencapai 791 berdasarkan kebutuhan, atau sebaliknya. Setidaknya menggunakan penelitian. Nah ICJR, kata Eras, tidak menemukan adanya pemerintah melakukan penelitian tersebut.

“Pemerintah tidak sekalipun mengeluarkan keterangan resmi yang memberikan catatan penting, kenapa keluar angka-angka itu. Ini kan seperti kocok dadu,” ujarnya. Baca Juga: Cegah Aksi Teror, Presiden Minta Revisi UU Terorisme Segera Rampung

Pantauan ICJR, konsep criminal justice system telah berjalan efektif. Ukurannya, belum adanya satu pun orang yang bebas dalam kasus teroris. Dalam perspektif role model, sistem peradilan pidana (KUHAP) yang sudah berjalan, efektif. Termasuk dengan UU Terorisme yang ada saat ini pun sudah efektif.

Meski pemerintah beralibi kewalahan, toh penanganan terorisme berjalan lancar. Lebih jauh Eras berpendapat, adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan alasan menangkap dan menahan, mesti didasarkan terhadap dua alat bukti. Dengan begitu MK menafsirkan dasar penahanan itu dua alat bukti yang cukup.

“Pertanyaan kita sederhana, kalau Anda sudah memiliki dua alat bukti untuk menahan orang, apa urgensinya Anda menahan orang kemudian sampai 700 hari ke depan. Kalau Anda sudah punya bukti, (bawa ke) penuntutan di ruang sidang,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait