Inilah Penelitian Terbaru LBH Jakarta tentang Praktek Penyiksaan
Berita

Inilah Penelitian Terbaru LBH Jakarta tentang Praktek Penyiksaan

Selama 2013-2016 LBH Jakarta menerima 37 pengaduan kasus kekerasan.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban penyiksaan. Ilustrator: HGW
Ilustrasi korban penyiksaan. Ilustrator: HGW
Pengawasan dan monitoring sangat penting untuk mengawal kinerja aparat kepolisian. Jika itu tidak dilakukan dengan baik, kewenangan besar yang dimiliki aparat kepolisian rawan disalahgunakan. Salah satunya berbentuk adalah penyiksaan.

Inilah yang menjadi sorotan LBH Jakarta dalam penelitian terbaru terkait kasus penyiksaan yang terjadi selama 2013-2016. Hasil kajian itu dilansir LBH Jakarta, Rabu (21/6) kemarin. Pengacara publik LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara, mengatakan Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998. Sayangnya, setelah 19 tahun ratifikasi itu praktik penyiksaan masih ditemukan.

Selama 2013-2016 LBH Jakarta menerima 37 pengaduan terkait penyiksaan. Ayu mengatakan dari seluruh pengaduan itu sebanyak 64 persen korban mengaku dipukuli aparat kepolisian. Ironisnya, praktik penyiksaan itu bukan saja dialami orang dewasa tapi juga anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Bentuk penyiksaan yang ditemukan berupa psikis, verbal, dan seksual. “Perbuatan itu dilakukan oknum kepolisian dengan tujuan mengejar pengakuan dari tersangka,” kata Ayu di Jakarta. (Baca juga: Tindakan-Tindakan yang Termasuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan).

LBH Jakarta mencatat 70 persen korban penyiksaan itu tergolong masyarakat miskin dan buta hukum, terutama tidak mengetahui hak atas bantuan hukum. Dari 37 korban penyiksaan itu hanya 1 orang yang mendapat bantuan hukum, tapi pelayanan yang diberikan sebatas formalitas, tidak melakukan bantuan hukum dengan benar.

Dari 37 korban penyiksaan itu sebagian besar mengalami penyiksaan di tahap pemeriksaan dan 1 orang di antaranya mengaku disiksa pada tahap penahanan. Kemudian, 2 orang disiksa pada tahap penangkapan dan pemeriksaan. Berdasarkan pengakuan para korban, mereka mengalami praktik penyiksaan itu di Polsek (26 persen), Polres (44 persen), dan Polda (15 persen). Sisanya (17 persen), tidak mengetahui lokasi persis penyiksaan.

Dalam memberikan bantuan hukum kepada para korban, Ayu mengatakan LBH Jakarta melakukan berbagai upaya pembelaan seperti melaporkan kepada Propam Polri. Selain itu mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan tersangka yang tidak sah dan/atau terkait ganti kerugian atas penangkapan sewenang-wenang, lalu melaporkan pelaku penyiksaan ke ranah pidana. (Baca juga: Putusan MA Sudah Jelas, Pelaku Penyiksaan Harusnya Ditindak).

LBH Jakarta menghadapi kendala dalam melakukan advokasi kasus penyiksaan. Ayu mencatat sedikitnya ada 4 masalah yang dihadapi. Pertama, kurangnya perspektif hakim terhadap praktik penyiksaan. Kebanyakan hakim tidak mengacuhkan pengakuan korban penyiksaan. Bahkan membebani korban untuk membuktikan praktik penyiksaan di luar proses perkaranya yang sedang berjalan.

Kedua, fungsi jaksa sebagai pengendali perkara tidak berjalan. Selama ini jaksa hanya memeriksa perkara berdasarkan dokumen dan bukti yang diberikan penyidik tanpa menegecek apakah dokumen dan bukti itu diperoleh tanpa melakukan perbuatan melawan hukum atau tidak. (Baca juga: Polri Didorong Terbitkan Surat Edaran Soal Pedoman Penahanan).

Ketiga, belum ada peraturan khusus mengenai penyiksaan dan mekanisme ganti ruginya. Keempat, pengawasan dan penindakan yang buruk. Ayu mengatakan LBH Jakarta sering kesulitan karena polisi tidak mau menerima kasus penyiksaan. Biasanya yang mau menerima laporan itu Propam Polri dan diproses etik, bukan pidana. Ujungnya, pelaku penyiksaan hanya dijatuhi hukuman ringan seperti surat teguran atau penundaan pendidikan.

Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta, Yunita, mengatakan penelitian LBH Jakarta sebelumnya menunjukan 83 persen penyiksaan dilakukan aparat untuk mendapatkan bukti. Miris, sampai saat ini belum ada regulasi khusus yang mengatur tentang penyiksaan. Peraturan yang ada di Indonesia seperti KUHAP dan KUHP masih menyamakan antara penyiksaan dengan penganiayaan atau kekerasan. Padahal, keduanya sangat berbeda, penyiksaan tergolong pelanggaran HAM berat.

“Absennya hukum yang mengatur penyiksaan, ini masalah serius. Akibatnya dari banyak kasus penyiksaan, sampai sekarang belum pernah ada pelaku yang dijerat pidana,” urai Yunita.

Menurut Yunita salah satu hal yang mendorong praktik penyiksaan oleh kepolisian yaitu untuk mendapatkan keterangan saksi dan terdakwa karena itu alat bukti yang kuat. Apalagi pengawasan dan monitoring yang lemah membuat praktik buruk itu sering terjadi.
Tags:

Berita Terkait