Maaf-Maafan Berlebaran, Bisakah Menghapus Kejahatan Terhadap Tetangga?
Melek Hukum Saat Berlebaran

Maaf-Maafan Berlebaran, Bisakah Menghapus Kejahatan Terhadap Tetangga?

Permohonan maaf itu seharusnya dinyatakan dengan tegas, tidak cukup menyodorkan tangan.

Oleh:
Rofiq Hidayat/MYS
Bacaan 2 Menit
Maaf-Maafan Berlebaran, Bisakah Menghapus Kejahatan Terhadap Tetangga?
Hukumonline
Berlebaran adalah saat yang tepat untuk bersilaturahim dan bermaaf-maafan dengan tetangga, baik tetangga dekat maupun tetangga jauh. Apalagi jika Anda selama ini berada di perantauan yang jarang mudik ke kampung halaman. Lebaran menjadi momentum menunjukkan keikhlasan untu meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan.

Sebagai manusia, siapapun tak luput dari kesalahan, baik di sengaja atau tidak. Jika kejahatan itu disengaja dan kita sadari saat melakukannya kepada tetangga, inilah saatnya yang pas menyodorkan kesepuluh jari, memintakan maaf. (Baca juga: Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-Keras)

Hubungan ketetanggaan adalah hubungan yang harus dijaga menurut hukum karena jika hubungan itu memburuk karena sesuatu hal, akibatnya bisa merembet ke masalah hukum. Bahkan disebutkan langsung kaidahnya dalam BW (KUH Perdata). Pasal 652 BW menyebutkan tiap-tiap pemilik pekarangan harus mengatur pemasangan atap rumahnya sedemikian rupa sehingga air hujan dari atap itu jatuh di pekarangannya atau di jalan umum. Jika yang terakhir ini tidak terlarang oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, tak boleh menjatuhkan air hujan itu di pekarangan tetangganya.

(Baca juga: Terganggu Tumpahan Air Hujan dari Atap Tetangga)

Hukum mengatur hubungan baik dengan tetangga antara lain karena hubungan itu sangat berpotensi terganggu. Bisa jadi karena masalah sepele seperti rembesan air hujan atau karena anak-anak berkelahi dan orang tua ikut campur. (Baca juga: Bermasalah dengan Tetangga karena Tembok Batas Pekarangan)

Lantas, bagaimana jika terjadi tindak pidana terhadap tetangga dan kita meminta maaf saat lebaran? Apakah permohonan maaf kita itu bisa menghapus kejahatan yang kita lakukan? Contoh, gara-gara ternak kita memasuki pekarangan tetangga yang sudah dipasangi tanda bahwa lahan itu sedang ditanami bibit tertentu. Jika kita membiarkan ternak kita masuk, ini masuk tindak pidana berupa pelanggaran Pasal 548 KUHP. Tindak pidana ini terkesan sederhana bukan?

Meskipun terkesan sederhana, jangan menganggap sepele. Maaf dari tetangga yang benihnya diinjak-injak ternah Anda tak otomatis menghapus ancaman hukuman. Dosen hukum pidana, Anugerah Rizki Akbar, mengingatkan secara teori proses penyidikan dan penuntutan tidak akan berhenti meskipun sudah ada maaf dari korban.

“Kenapa begitu? Karena sifat hukum pidana itu hukum publik. Yang diurusi bukan antara individu dengan individu, tetapi keteraturan sosial,” ujarnya kepada hukumonline. “Kalau soal maaf-maafan tidak ada urusan dengan hukum pidana,” sambungnya.

Meskipun demikian, harus diingat bahwa penyelesaian masalah lewat hukum pidana itu adalah opsi terakhir (ultimum remedium), setelah upaya lain ditempuh. Jika pelaku dan korban sudah maaf-maafan tidak berarti tidak bisa diproses oleh polisi. (Baca juga: Apakah Kasus Pidana Bisa Diselesaikan Lewat Cara Kekeluargaan)

Untuk jenis delik aduan mungkin bisa, sepanjang korban belum mengadu sebelum maaf-maafan berlangsung. Sebaliknya, jika bukan delik aduan, polisi tetap bisa memproses tindak pidana yang kita lakukan meskipun sudah ada maaf dari tetangga yang menjadi korban. “Itu bisa dipertimbangkan hakim untuk meringankan hukuman,” jelas akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Faktor-faktor yang memberatkan atau meringankan hukuman sangat bergantung pada hakim yang mengadili dan memutus perkara itu. KUHP hanya mengatur apa saja faktor yang bisa dijadikan alasan menghapus pidana atau hapusnya hak menuntut dan menjalankan pidana. Sekadar contoh adalah pertimbangan hakim untuk hal-hal yang meringankan dalam putusan PN Jember No. 961/Pid.B/2008 yang telah berkekuatan hukum tetap.

Terdakwa telah meminta maaf kepada korban dan orang tuanya dimana permintaan maaf tersebut juga diikuti oleh permintaan maaf dari instansi tempat terdakwa bekerja sehingga telah tercapai perdamaian dan saling maaf-memaafkan yang difasilitasi Dinas Pendidikan Nasional Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember”.

Dalam perkara lain, putusan PN Banyuwangi No. 1071/Pid.B/2010 (kasus kekerasan terhadap orang lain), majelis hakim mempertimbangkan faktor ‘saksi korban telah memaafkan para terdakwa’ sebagai salah satu dari lima hal yang meringankan.

Cuma, menurut Ahmad Sofian, pernyataan maaf itu harus disampaikan secara tegas. Tidak cukup sekadar menyodorkan tangan seusai shalat hari raya mengikuti jamaah lain atau saat bertamu ke rumah tetangga dimaksud. “Harus ada pernyataan eksplisit terhadap kejahatan yang mana kita minta maaf,” kata Sofian kepada hukumonline.

Dalam banyak putusan pengadilan memang terungkap bahwa permohonan maaf itu disampaikan langsung kepada korban atau keluarganya oleh terdakwa atau yang mewakilinya. Ada kalimat pernyataan maaf atas perbuatan pidana tertentu yang sudah dilakukan. Dalam pidana adat, kata Sofian, cara ini sering dilakukan. Pelaku dan keluarganya meminta maaf kepada tetangga yang menjadi korban melalui pendekatan adat. Di situlah pelaku meminta maaf secara langsung kepada korban atau keluarganya.

Jika tidak ada ucapan eksplisit itu, sulit mengkategorikannya sebagai permohonan maaf atas kesalahan kepada tetangga. Mungkin hanya sekadar salam-salaman berlebaran sebagaimana yang bisa dilihat sekarang.
Tags:

Berita Terkait