Surat Gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (Bagian III)
Kolom

Surat Gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (Bagian III)

Tulisan ini menguraikan beragam tuntutan dalam surat gugatan dari yang pokok hingga tuntutan tambahan.

Bacaan 2 Menit
Juanda Pangaribuan. Foto: Istimewa
Juanda Pangaribuan. Foto: Istimewa
Petitum 
Petitum menguraikan tuntutan-tuntutan. Petitum bersumber pada posita. Petitum tidak ada tanpa posita. Substansi petitum tidak sama pada setiap gugatan. Petitum itu puncak dari segala uraian masalah yang disusun sebagai permohonan. Rincian petitum gugatan dipengaruhi oleh masalahnya. R. Soeroso mengatakan petitum atau tuntutan adalah apa yang diminta atau diharapkan penggugat agar diputuskan oleh hakim.[1] Dari pengertian tersebut, petitum bisa didefinisikan sebagai tuntutan yang ditujukan kepada pihak yang dianggap melakukan perbuatan yang merugikan penggugat supaya dihukum melakukan perbuatan hukum tertentu.

Pada saat memutus perkara PHI, hakim tidak boleh mengabaikan surat gugatan. Hakim terikat pada Pasal 178 ayat (3) HIR. Hakim di dalam ketentuan itu tidak diperbolehkan mengabulkan sesuatu lebih dari tuntutan penggugat. Dengan kata lain, hakim dilarang memberi sesuatu yang tidak diminta penggugat. Meskipun kaidahnya mengatur seperti itu, di dalam kasus tertentu, pengadilan bisa saja mengabulkan sesuatu lebih dari petitum.

Syaratnya, hal yang dikabulkan itu masih relevan dengan posita dan hukum positif. Pembenaran terhadap hal itu ditegaskan di dalam putusan kasasi No: 556K/Sip/1971, tertanggal 8 Januari 1972. Judex juris membolehkan hakim mengabulkan lebih dari yang digugat asalkan masih sesuai dengan kejadian materil.[2] Memperhatikan perkembangan praktik, dalam putusan No.24/PL/G/2006/PHI.PN.JKT.PST,[3]PHI mempedomani putusan kasasi di atas. Tergugat dihukum membayar kekurangan upah penggugat karena membayar upah pekerjalebih rendah dari Upah Minimum Propinsi (UMP).  

Penggugat boleh mengajukan beberapa tuntutan. Tuntutan bisa dibagi tiga,[4]yaitu :
a.    Tuntutan  Primer ;
Tuntutan primer adalah tuntutan pokok yang berkaitan langsung dengan pokok perkara, contohnya : 
· mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya ;
· menyatakan putus hubungan kerja antara tergugat dan penggugat terhitung sejak putusan ini diucapkan ;
· menghukum tergugat membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, tunjangan hari raya, upah proses sebesar Rp. 150 (seratus lima puluh rupiah) ;
· Menghukum tergugat membayar biaya perkara ; 

Di dalam perkara hubungan industrial ditemukan beberapa macam bentuk tuntutan pokok yang disesuaikan dengan objek sengketa. Berikut ini contoh petitum primer. 
· menghukum tergugat mempekerjakan kembali  penggugat  pada jabatannya semula;
· menghukum tergugat membayar uang pesangon kepada penggugat sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) ;
· menghukum tergugat membayar upah proses PHK selama 10 bulan sebesar Rp. 200.000.000 ;
· menghukum tergugat menerbitkan surat pengalaman kerja penggugat;
· menghukum tergugat membayar uang pisah sebesar Rp. 300.000;
· menghukum tergugat menaikkan upah penggugat sebesar Rp. 100.000 pertahun;
· menghukum tergugat membayar kepada penggugat kekurangan upah selama dua tahun terhitung sejak ….s/d….sebesar Rp. 400.000;
· Menghukum tergugat membayar upah lembur selama dua tahun terhitung sejak….s/d…. sebesar Rp. 500.000;
· Menghukum tergugat menerima kenaikan upah tahun 2008 sebesar 2%;
· Menghukum tergugat menaikkan upah penggugat untuk tahun 2008  sebesar 2%;
· Menghukum tergugat membayar bonus tahun 2010 kepada masing-masing penggugat sebesar Rp. 600.000;
· Menghukum tergugat memberi kepada para penggugat  kenaikan bonus tahun  2008 sebesar 3% dari gaji pokok para penggugat;
· Menghukum tergugat membayar kepada masing-masing penggugat kenaikan bonus tahun 2008 sebesar 3%;
· Menghukum tergugat menerima kompensasi pengakhiran hubungan kerja sebesar Rp. 10.000;
· Menghukum tergugat membayar ganti rugi sebesar Rp. 10.000;
· Menyatakan batal surat skorsing kerja yang diterbitkan oleh tergugat; 
· Menghukum tergugat mencabut surat mutasi No. 02.02.MS.08 tertanggal 10 Mei 2008;   

Tuntutan Tambahan (Dwangsom dan Uitvoerbaar bij voorraad)
Tuntutan tambahan adalah tuntutan lain di luar tuntutan pokok perkara. Tuntutan tambahan bertujuan untuk mendukung pemenuhan tuntutan primer. Tuntutan tambahan misalnya permohonan sita jaminan (conservatoir beslaag), uang paksa (dwangsom), permohonan putusan serta merta (uitvoerbaar bij vorraad). Tuntutan tambahan diuraikan setelah tuntutan primer. Contoh redaksinya sebagai berikut :

· Meletakkan sita jaminan (conservatoir beslaag) terhadap satu unit mobil milik tergugat, merk Honda, No.Pol. 121 CB;
· Menghukum tergugat membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 5.000 (lima ribu rupiah) setiap hari apabila lalai melaksanakan putusan ini ;
· Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun tergugat mengajukan kasasi dan upaya hukum lainnya (uitvoerbaar bij voorraad) ;

Penggugat di dalam surat gugatan sering mengajukan permohonan sita jaminan. Selain menggunakan cara seperti itu, permohonan sita bisa diajukan dengan surat terpisah dari surat gugatan. Permohonan tertulis bisa disampaikan kepada majelis hakim selama pemeriksaan perkara berlangsung. Permohonan sita jaminan bukan tanpa tujuan. Permohonan sita bertujuan supaya pengadilan menyandera barang atau benda milik tergugat. Kalau pengadilan meletakkan sita terhadap barang, maka penguasa  barang tidak boleh memindahkan kepada pihak lain. Oleh karena itu, penetapan sita jaminan yang diterbitkan oleh pengadilan merupakan instrumen yang berguna untuk mencegah tergugat menjual atau mengalihkan barang yang disita itu kepada pihak lain. 

Meskipun gugatan menyertakan permohonan sita jaminan, hakim sering menolak. Alasannya tidak seragam, bergantung pada validitas permohonan dan pokok masalah. PHI menolak permohonan sita karena permohonan dinilai tidak akurat. Penolakan lainnya didasarkan pada alasan yang mengatakan bahwa pemohon dapat mengajukan permohonan sita eksekusi setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Keraguan judex factie mengabulkan permohonan sita jaminan dipengaruhi oleh kemungkinan judex juris membatalkan putusan judex factie. Kalau judex factie mengabulkan permohonan sita jaminan, sedangkan judex juris membatalkan putusan judex factie, tindakan judex factie bisa dianggap merugikan pihak tergugat, terutama jika barang yang disita itu digunakan sebagai alat kerja, misalnya mobil. Mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul, majelis hakim dapat mengabulkan permohonan sita jaminan kalau benar-benar yakin bahwa putusannya sudah sesuai dengan hukum.  

Tuntutan uang paksa (dwangsom) bagian dari tuntutan tambahan. Kalau pengadilan mengabulkan tuntutan tambahan, hal itu berubah menjadi hukuman tambahan. Tuntutan uang paksa diuraikan di dalam petitum dalam bentuk uang. Tuntutan itu diajukan, tidak terpisah dari surat gugatan. UU tidak mengatur batas minimum maupun batas maksimum nilai uang paksa. Nilai tuntutan uang paksa bergantung pada keinginan penggugat. Namun demikian, tuntutan dwangsom tidak mengikat. Tuntutan itu masih bergantung pada pokok perkara dan subjektifitas hakim. Oleh karena itu, hakim tidak wajib mengabulkan semua tuntutan uang paksa.

Nilai dwangsom yang dikabulkan hakim ditetapkan di dalam putusan. Hakim dalam menetapkan uang paksa, nilainya tidak sama dalam setiap perkara. Nilai dwangsom  di dalam putusan perselisihan PHK disesuaikan dengan gaji pekerja. Penggugat berharap, ketika dwangsom dikabulkan, tergugat akan segera melaksanakan putusan pokok perkara. Penggugat berasumsi, kalau tergugat tidak melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela, tergugat diancam membayar uang paksa.

Berdasarkan Pasal 606 Rv, PHI dapat mengabulkan tuntutan dwangsom kalau permohonan pekerja memohon untuk menghukum pengusaha melakukan suatu perbuatan hukum tertentu yang sifatnya bukan membayar sejumlah uang. Di dalam perselisihan hubungan industrial, hukuman dwangsom tepat dikabulkan ketika pekerja menuntut dipekerjakan kembali, atau yang terkait dengan perselisihan kepentingan. 

UU PPHI membolehkan hakim menghukum tergugat melaksanakan putusan terlebihdahulu meskipun yang bersangkutan mengajukan upaya hukum (uitvoerbaar bij voorraad = Ubv). Putusan Ubv tidak melarang tergugat mengajukan upaya hukum. Meskipun putusan Ubv bersifat mengikat, bisa dikatakan, Ubv tidak memaksa. Sebab ketika tergugat mengajukan upaya hukum, daya memaksa Ubv seakan menjadi sirna. Kesirnaan itu terjadi ketika pengadilan menolak melaksanakan Ubv melalui proses eksekusi. 

Hukum tidak mengatur sanksi kepada tergugat yang menolak melaksanakan putusan Uvb. Eksekusi Ubv melalui bantuan pengadilan sulit direalisasikan. Pengadilan bisa ragu melaksanakan eksekusi karena mempertimbangkan suatu kemungkinan di mana pengadilan yang lebih tinggi (berhak) membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama. Hal itu memperlihatkan bahwa daya mengikat Ubv tidak sama dengan putusan pokok perkara. Ketika Ubv diposisikan sebagai putusan yang tidak memaksa, Ubv menjadi kenangan belaka.

Ubv bermaksud memaksa tergugat melaksanakan putusan judex factie meskipun perkara belum berkekuatan hukum tetap. PHI sering menolak tuntutan Ubv. Salah satu pertimbangannya didasarkan pada kemungkinan, pengadilan pada level lebih tinggi membatalkan putusan judex factie. Kalau PHI menghukum pengusaha membayar pesangon, tetapi judex juris membatalkan putusan itu, sedangkan putusan judex factie sudah dilaksanakan, kewajiban pekerja adalah mengembalikan uang yang sudah diterima. Masalah baru akan timbul ketika pekerja tidak bersedia atau tidak mampu mengembalikan uang tersebut.

Ubv tidak tepat dikabulkan untuk semua perselisihan PHK, terutama menyangkut tuntutan pesangon. Putusan Ubv lebih tepat dikabulkan kalau perselisihan PHK itu timbul karena pengusaha benar-benar melanggar hukum, misalnya mengakhiri hubungan kerja pekerja karena alasan pekerja menikah, hamil, melahirkan, berserikat buruh, efisiensi. Kalau pengusaha melaksanakan putusan Ubv yang amarnya mempekerjakan kembali pekerja selama berlangsung proses hukum,  pengusaha tidak mengalami kerugian apapun seandainya MA membatalkan putusan Ubv. Upah yang dibayar kepada pekerja selama menjalani proses hukum tidak sia-sia sehingga tidak perlu ditagih kembali karena pembayaran mana didasarkan pada prestasi kerja.

*) Juanda Pangaribuan adalah praktisi hukum hubungan industrial dan mantan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

[1]             Soeroso, Loc.Cit, hlm. 28.
[2]              O. Bidara, dan Martin P. Bidara, Hukum Acara Perdata, Op. Cit,  hlm. 85.    
[3]             Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 13 Juli 2006.
[4]             Soeroso, Op.Cit., hlm. 28.
Tags: