Inilah Perpres Penanganan Dampak Sosial Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional
Berita

Inilah Perpres Penanganan Dampak Sosial Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional

Kementerian/lembaga, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah yang tanahnya akan digunakan untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional dan dikuasai oleh Masyarakat, menyusun dokumen rencana penanganan dampak sosial kemasyarakatan.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Penyediaan tanah penting untuk percepatan pembangunan infrastruktur. Foto: SGP
Penyediaan tanah penting untuk percepatan pembangunan infrastruktur. Foto: SGP
Dengan pertimbangan dalam penyediaan tanah yang diperlukan untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional, seringkali terhambat oleh keadaan dimana tanah yang akan digunakan, telah dikuasai dan digunakan masyarakat dengan itikad baik dalam jangka waktu yang lama, pemerintah memandang perlu dilakukan penanganan dampak sosial kemasyarakatan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 31 Mei 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 56 Tahun 2017 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Penyediaan Tanah Untuk Proyek Strategis Nasional.

Dalam Perpres itu ditegaskan, pemerintah melakukan penanganan dampak sosial kemasyarakatan kepada Masyarakat yang menguasai tanah yang digunakan untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional.

“Tanah sebagaimana dimaksud merupakan tanah negara atau tanah yang dimiliki hak atas tanahnya oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,” bunyi Pasal 2 ayat (2) Perpres ini, seperti dikutip dari laman Setkab, Selasa (4/7). (Baca Juga: OJK Susun Aturan Pembiayaan Proyek Infrastruktur Melalui Skema Pasar Modal)

Masyarakat sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, memenuhi kriteria: a. memiliki identitas kependudukan yang disahkan oleh  kecamatan setempat; dan b. tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya.

Sedangkan penguasaan tanah oleh Masyarakat sebagaimana dimaksud, memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. telah menguasai dan memanfaatkan tanah secara fisik paling singkat 10 (sepuluh) tahun secara terus menerus; dan b. menguasai dan memanfaatkan tanah dengan itikad baik secara terbuka, serta tidak diganggu gugat, dan diakui dan dibenarkan oleh pemilik hak atas tanah dan/atau lurah/kepala desa setempat.

“Masyarakat yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud, diberikan uang santunan untuk: a. biaya pembongkaran rumah; b. mobilisasi; c. sewa rumah; dan d.tunjangan kehilangan pendapatan,” bunyi Pasal 5 Perpres ini. (Baca Ulasan Mendalam Mengenai Upaya Pemerintah Memenuhi Pembiayaan Infrastruktur: Taktik Pemerintah dari Masa ke Masa ‘Merayu’ Investor Bangun Infrastruktur)

Menurut Perpres ini, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah yang tanahnya akan digunakan untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional dan dikuasai oleh Masyarakat, menyusun dokumen rencana penanganan dampak sosial kemasyarakatan.

Dokumen rencana penanganan dampak sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud, paling sedikit memuat: a. letak tanah dan luas tanah serta kondisi di atas tanah yang dikuasai oleh Masyarakat; b.data Masyarakat yang menguasai tanah; dan c. gambaran umum situasi dan kondisi Masyarakat yang menguasai tanah. (Baca Juga: Kriteria Tambahan untuk Jadi Proyek Strategis Nasional)

“Dokumen rencana penanganan dampak sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud, disampaikan kepada gubernur,” bunyi Pasal 7 ayat (2) Perpres ini.

Setelah menerima dokumen rencana penanganan dampak sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, Gubernur membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial  Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Tim Terpadu.

Selanjutnya, Tim Terpadu sebagaimana dimaksud mempunyai tugas: a.melakukan pendataan, verifikasi, dan validasi atas bidang tanah yang dikuasai oleh Masyarakat; b. melakukan pendataan, verifikasi, dan validasi atas Masyarakat yang menguasai tanah; c. menunjuk pihak independen untuk menghitung besaran uang santunan;

d. memfasilitasi penyelesaian hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan penanganan dampak sosial kemasyarakatan; e. merekomendasikan daftar Masyarakat yang berhak untuk mendapatkan uang santunan, besaran uang santunan berdasarkan perhitungan pihak independen, mekanisme dan tata cara pemberian uang santunan; dan f. melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemberian uang santunan kepada Masyarakat.

Tim Terpadu sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, diketuai oleh Sekretaris Daerah Provinsi dan beranggotakan:  a.Kepala Badan/Dinas Provinsi; b. Kepala Badan/Dinas Kabupaten/Kota; c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional; d.Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; e.Kepala Kejaksaan Tinggi; f.Kepala Kepolisian Daerah; g. Komandan Resort Militer; h.pemilik hak atas tanah; dan i. pihak lain yang dipandang perlu.

“Berdasarkan rekomendasi Tim Terpadu, gubernur menetapkan: a. daftar Masyarakat penerima uang santunan b. besaran uang santunan; dan c. mekanisme dan tata cara pemberian uang santunan,” bunyi Pasal 8 Perpres ini.

Selanjutnya, berdasarkan penetapan gubernur sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah melaksanakan pemberian uang santunan kepada Masyarakat.

“Pelaksanaan pemberian uang santunan dapat diberikan dalam bentuk tunai atau melalui transaksi perbankan,” bunyi Pasal 9 ayat (2) Perpres ini.

Perpres ini menyebutkan, terhadap tanah yang telah dilakukan pembayaran uang santunan sebagaimana dimaksud, dilakukan pengosongan oleh Masyarakat paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya uang santunan.

Adapun barang atau aset yang diperoleh dalam rangka penanganan masalah sosial yang tidak digunakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, menurut Perpres ini, dapat dihibahkan untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara.

“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 14 Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2017, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 2 Juni 2017.

Tags:

Berita Terkait