Soal RUU Penyiaran, Baleg Harusnya Melihat Putusan MK yang Lain
Berita

Soal RUU Penyiaran, Baleg Harusnya Melihat Putusan MK yang Lain

Baleg sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan dua putusan MK terkait RUU Penyiaran untuk larangan iklan rokok saja, tapi juga melihat putusan MK yang lain khususnya soal kesehatan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
konferensi pers terkait RUU Penyiaran. Foto: AID
konferensi pers terkait RUU Penyiaran. Foto: AID
Seperti diketahui draf RUU Penyiaran versi Panja Komisi I DPR telah mencantumkan larangan iklan rokok dalam siaran iklan di media penyiaran (Februari 2017). Draf Komisi I ini dianggap sebuah cara progresif di tengah kondisi Indonesia yang masih tertinggal dibanding banyak negara lain dalam regulasi iklan rokok di media penyiaran.

Saat ini sudah 140 negara di dunia yang melarang iklan rokok di media penyiaran. Namun hingga kini Indonesia belum menerapkan aturan tersebut. Tapi upaya yang dilakukan Komisi I DPR tidak mendapatkan dukungan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Dalam rapat harmonisasi yang dilaksanakan pada Juni lalu, Baleg merekomendasikan untuk menghapuskan larangan iklan rokok dalam RUU Penyiaran. Baleg merekomendasikan penghapusan dengan alasan rokok adalah produk legal karenanya boleh diiklankan dan keputusan MK Perkara No. 6/PUU-VII/2009 dan 71/PUU-XI/2013 masih membolehkan iklan rokok.

Indonesian Lawyer Association for Tobacco Control, Muhammad Joni, menilai, alasan Baleg hanya hanya melihat salah dua putusan MK saja adalah hal yang keliru. Menurutnya, Baleg sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan dua keputusan MK terkait RUU Penyiaran ini saja, tapi perlu mempertimbangkan putusan MK yang lain.

Misalnya, putusan Pasal 113 dan 116 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menegaskan tembakau sebagai zat adiktif ini termuat dalam Putusan MK Perkara No. 19/PUU-VIII/2010; 55/PUU-IX/2011; 24/PUU-X/2012 dan 66/PUU-X/2012. “Jelas putusan terkait kesehatan ini tidak diragukan lagi konstitusionalnya,” katanya di Jakarta, Selasa (4/7).

(Baca: MK Diminta Batalkan Pasal Tembakau)

Lantaran tembakau dinilai sebagai zat adiktif, lanjut Joni, maka iklannya harus dilarang. Hal ini sesuai dengan pemberlakuan pada zat adiktif lainnya seperti alkohol yang tidak diperbolehkan untuk beriklan. Di sisi lain, ia juga menilai, tidak tepat memposisikan rokok sebagai produk legal karena sebagai komoditas yang boleh diproduksi, didistribusi dan diiklankan.

Menurutnya, ada produk legal yang ketidaknormalannya dilarang untuk diiklankan. Misalnya, lanjut Joni, produk yang memerlukan pengawasan khusus dan penggunaanya bisa merugikan masyarakat sehingga peredarannya perlu dikendalikan. Seperti, obat-obatan yang mengandung psikotropika untuk kepentingan medis dan susu formula, keduanya tidak diperbolehkan untuk beriklan karena penggunanya harus diawasi dengan ketat.

“Jadi rokok adalah produk yang tidak normal, maka ketentuannya harus dibedakan. Sebab, yang menonton televisi ini kebanyakan adalah anak-anak, sehingga saat melihat iklan rokok secara tidak langsung mengisi pikiran anak-anak untuk mengkonsumsi rokok,” tuturnya.

Joni menjelaskan sebenarnya larangan iklan rokok bukan norma yang asing bagi Indonesia. Sebab, dalam perjalanan hukum Indonesia waktu zaman Presiden Habibie aturan ini sempat diterapkan, lalu kemudian dianulir lagi oleh kebijakan selanjutnya. Persoalan ini seharusnya dipahami oleh DPR, karena menyangkut kepentingan lebih luas bangsa Indonesia. Rokok memiliki pengaruh buruk terhadap kesehatan keluarga dan lingkungan, tidak hanya menyangkut persoalan regulasi yang dibuat.

(Baca: Klausula Larangan Iklan Merokok Masih Bisa Berubah)

Menurutnya, Baleg DPR harus berpikir untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan. Hak hidup sehat untuk manusia tidak boleh dikurangi. Selain itu, untuk meningkatkan derajat kesehatan harus melakukan upaya progresif. “Yang dilakukan Komisi I sudah sangat tepat,” katanya.

Atas dasar itu, mestinya sudah tepat norma hukum penyiaran larangan iklan rokok dimasukan ke dalam RUU penyiaran. Joni berharap komisi I tetap tabah dan loyal untuk mempertahankan norma dan mengabaikan harmonisasi yang dilakukan Baleg.

Senada, Koalisi Nasional Masyarakat Sipil, Daniel Awigra mengatakan, Indonesia adalah negara ketiga perokok dunia dan anak-anak penerus bangsa menjadi perokok akibat melihat penyiaran iklan rokok. Hal ini harus segera dicegah. Ia mengumpamakan, jika larangan iklan dihilangkan, maka Indonesia sama saja sedang membunuh dan memiskinkan rakyatnya sendiri. Padahal di sisi lain, 140 negara lain telah menghilangkan larangan iklan rokok.

“Konteks rokok yang sebenarnya power publik ini harus dihilangkan. Jangan mengutamakan kepentingan industri saja tetapi juga kepentingan publik. Dan jangan sampai pula negara ini absen untuk menyehatkan warga negaranya, jika tidak ada pelarangan merokok dan penyiaran iklan rokok,” katanya.

Melegalkan Hoax
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar mengatakan yang terjadi di Indonesia saat ini mengenai iklan rokok adalah tidak benar. Tapi kemudian Baleg mengambil keputusan demikian yang memperbolehkan iklan rokok. “Berarti Baleg melegalkan hoax,” katanya.

(Baca: RUU Penyiaran Larang Iklan Rokok di TV dan Radio)

Menurutnya, iklan rokok menampilkan pesan-pesan unik dan penuh hikmah adalah sebuah penipuan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan akibat dari mengkonsumsi rokok. “Semuanya adalah produk kebohongan yang berusaha dilegalkan,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bagaimana kemudian anak bangsa Indonesia setiap hari disuguhkan kebohongan. Kebohongan ini lama-lama kemudian akan menimbulkan kebenaran. “Ini bukan lagi masalah petani rokok, tetapi menghancurkan peradaban bangsa Indonesia,” tegasnya.

Daniel berharap agar klausul yang memperbolehkan iklan rokok segera dihilangkan dalam RUU Penyiaran segera dihilangkan dan diganti dengan larangan beriklan rokok. “Maka jika ini disahkan, hoax adalah sesuatu yg halal. Percuma dong itu Fatwa MUI dan ceramah Presiden. Yang kemudian nanti berakibat bahwa Indonesia adalah negara pembohong,” katanya.
Tags:

Berita Terkait