Soal Wacana Pemindahan Ibu Kota, Bagaimana Aspek Hukumnya?
Berita

Soal Wacana Pemindahan Ibu Kota, Bagaimana Aspek Hukumnya?

Dari tiga opsi pemindahan ibu kota yang dapat dipilih pemerintah. Masing-masing punya implikasi secara hukum yang wajib diperhatikan sejak awal prosesnya.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Kantor PSHK. Foto: Sgp
Kantor PSHK. Foto: Sgp
Wacana pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke wilayah lain lagi-lagi mengemuka. Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terus mengkaji rencana pemindahan tersebut secara intensif.

Peneliti bidang Hukum Ekonomi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, berpendapat bahwa pemerintah mesti mengkaji serta memperhatikan sejumlah aspek, salah satunya dari aspek hukum. Menurutnya, wacana memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke wilayah tertentu di Indonesia punya implikasi hukum yang mestinya sedari awal sudah dikaji dan diantisipasi dengan baik oleh pemerintah.

“Ada banyak implikasi hukum serta regulasi yang mesti diperhatikan dan dipatuhi oleh Pemerintah yang tentu tidak boleh ditabrak dan dilabrak,” kata Aziz kepada hukumonline, Rabu (5/7).

Sejauh ini, Aziz memetakan setidaknya terdapat tiga opsi yang mungkin dipilih pemerintah dalam hal pemindahan ibu kota. Pertama, pemindahan ibu kota serta pusat pemerintahan yang berarti mengubah nomenklatur nama wilayah serta pusat pemerintahan. Kata Aziz, opsi ini seperti yang terjadi dilakukan oleh Brasil yang pusat pemerintahnya berpindah dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Kedua, hanya pemindahan pusat pemerintahan, tetapi ibu kota negara tetap di kota awal.

Opsi yang kedua tersebut, lanjut Aziz, persis seperti yang dilakukan Malaysia di mana pusat pemerintahnya dipindah dari semula di Kuala Lumpur ke wilayah Putrajaya, sebuah daerah yang letaknya 25 km dari Kuala Lumpur sedangkan ibu kota negara Malaysia tetap di Kuala Lumpur. Dan yang Ketiga, pemerintah dapat memilih opsi di mana ibu kota negara masih tetap berada di wilayah DKI Jakarta, berikut dengan fungsi pusat pemerintahannya seperti saat ini.

“Terkait tiga konsep itu, itu ada implikasi hukum masing-masing,” kata Aziz. (Baca Juga: Ratusan Ribu Bidang Tanah di Ibu Kota Belum Bersertifikat)

Opsi apapun, kata Aziz, ketiganya punya implikasi terhadap ketentuan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sana tegas tertulis nomenklatur DKI Jakarta sebagai ibu kota negara, sehingga ketika wilayah ibu kota negara diubah otomatis aturan itu harus direvisi. Pertanyaanya, apakah perlu undang-undang baru yang mengatur soal ibu kota negara?

Aziz berpendapat, secara karakteristik undang-undang baru yang khusus mengatur ibu kota negara mungkin saja diperlukan. Sebab, UU Nomor 29 Tahun 2007 mayoritas subtsansinya mengatur cukup rinci mulai dari tugas, hak, kewajiban, serta tanggung jawab Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga dirasa perlu ada undang-undang baru dengan subtansi serupa namun mengatur nomenklatur untuk wilayah baru yang ditetapkan pemerintah sebagai ibu kota dan/atau pusat pemerintahan.

Selain itu, dalam aturan baru bisa juga ditambahkan substansi terkait lembaga atau badan yang fungsinya sebagai pengelola ibu kota yang baru. Ambil contoh misalnya, pemerintah pilih opsi kedua seperti yang dilakukan pemerintah Malaysia, maka pemerintah Indonesia bisa mengadopsi konsep badan khusus yang punya fungsi mengelola infrastruktur, sistem penyediaan air minum, jalan raya, properti yang dilakukan oleh Perbadanan Putrajaya atau Putrajaya Corporation.

“Soal badan, misalnya bisa diatur dalam undang-undang baru yang mengatur ibu kota yang baru. Seperti Malaysia, (badan) bisa di bawah presiden atau kedudukannya setingkat menteri. Itu yang harus dikaji,” kata Aziz. (Baca Juga: Ahli Ini Sebut Pasal Penggusuran Masih Diperlukan)

Terkait kedudukan, Aziz menilai pemerintah punya opsi memilih bentuknya seperti Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) di mana kedudukan Kepala LPNK berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden melalui menteri yang mengkoordinasikan. Atau bisa juga pemerintah mengadopsi model yang dimiliki Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) atau yang dulu dikenal sebagai Otorita Batam. “Ini (BP Batam) mirip Perbadanan Putrajaya. Dia (badan ini) khusus hanya kelola satu wilayah,” kata Aziz.

Dari ketiga opsi yang dipetakan, pemerintah masih belum jelas akan mengambil opsi yang mana. Namun demikian, dalam hal opsi kedua yang diambil maka wilayah pusat pemerintah baru ini mesti dipersiapkan terutama dari segi sarana dan prasarananya. Untungnya, kata Aziz, pemerintah dapat dukungan dari sisi regulasi yakni diakomodir melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

“Pemindahan ini mesti dilihat, apakah tata ruang sudah terakomodasi. Ketika wilayah itu ditunjuk tapi tata ruang tidak terakomodasi, maka Perda harus diubah apakah itu provinsi atau kabupaten/kota. Bila lintas kabupaten/kota, itu maka Perda Provinsi (yang harus diubah),” kata Aziz.

Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri PPN/Kepala Bapennas Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa pemerintah terus melakukan pembahasan diantaranya terkait berapa kebutuhan pembiayaan dan skema pembiayaan yang akan dipakai serta lokasi yang akan dijadikan pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta. Tahun ini, pemerintah mentargetkan untuk merampungkan kajian akademis lalu setahun kemudian baru akan diimplementasikan.

"Ada beberapa lokasi luar Jawa. Pertimbangannya kita pasti keluar Jawa pokoknya," kata Bambang saat ditemui usai rapat bersama Badan Anggaran di gedung DPR, Rabu (5/7). (Baca Juga: Menimbang Konsep Omnibus Law Bila Diterapkan di Indonesia)

Bambang melanjutkan, sementara ini skema pembiayaan yang akan coba didorong dengan menggandeng pihak swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) atau yang kini dikenal sebagai Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Pilihan ini dipilih agar rencana pemindahan ibu kota tak akan menambah beban Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN). Lebih jauh, Bambang menuturkan Presiden Joko Widodo sendiri memberi arahan agar wacana tersebut dikaji secara mendalam agar ibu kota baru ini terbentuk sebagai kota modern yang ideal.

Masih kata Bambang, pemindahan ibu kota butuh waktu cukup lama mulai dari persiapan hingga rampung sepenuhnya. Ia memprediksi butuh waktu kira-kira empat hingga lima tahun dari sekarang sampai untuk pemindahannya. Makanya, kajian yang tengah dilakukan ini betul-betul intensif guna mengebut proses pemindahan salah satunya dengan mencari wilayah di luar pulau Jawa yang lahannya sebagian besar telah dimiliki oleh pemerintah. Hal ini diyakini juga akan meminimalisir biaya serta waktu pemindahan.

"Kita intinya ingin mengurangi kesenjangan di luar pulau Jawa. Nah, kita lakukan dengan ini di mana pemindahan ibu kota ini paling tidak akan menyeimbangkan ketimpangan antara kota dan pedalaman," kata Bambang.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio sepakat bahwa ada sisi positif di balik wacana pemindahan ibu kota ke luar pulau Jawa salah satunya yakni pemerataan. Menurutnya, kondisi DKI Jakarta sebagai ibu kota sekaligus pusat pemerintahan sangat sulit untuk ditata ulang. Namun, sama seperti dengan Aziz, Agus mengingatkan bahwa sejumlah peraturan terutama setingkat daerah mesti dikaji dan diperhatikan sehingga jangan sampai malah wacana ini akan menimbulkan permasalahan lainnya ketika prosesnya berjalan.

"Ini kan harus mengubah undang-undangnya, harus mengubah peraturan daerahnya, kan harus ada prosedur di DPRD berapa lama" kata Agus.

Namun, hal berbeda justru dilontarkan Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati. Ia menilai upaya pemerintah meminimalisir penggunaan APBN dengan mendorong kerjasama swasta dalam hal pendanaan infrastruktur, salah satunya membangun gedung pemerintahan agaknya sulit diimplementasikan. Menurutnya, pihak swasta akan berpikir dua kali lantaran hampir tidak ada aspek investasi ketika swasta menggelontorkan sejumlah dana untuk membantu pemerintah membangun infrastruktur.

“Kan itu membangun kantor pemerintahan, emang swasta mau, kepentinganya apa? Kalau misalnya infrastruktur bernilai investasi masih memungkinkan, misalnya pabrik. Tapi kalau infrastruktur untuk  pemerintahan apa kepentingannya, apa yang diperoleh swasta sehingga mau lakukan pendanaan?” kata Enny.
Tags:

Berita Terkait