Soal Utang Swasta, DPR Sepakat Bank Indonesia Ikut Lakukan Pengawasan
Berita

Soal Utang Swasta, DPR Sepakat Bank Indonesia Ikut Lakukan Pengawasan

Dalam agenda Rapat Kerja RAPBN dan RKP 2018, Badan Anggaran DPR sempat mengusulkan agar pengelolaan utang swasta masuk dalam APBN. Namun akhirnya disepakati bahwa utang swasta sebatas tercantum dalam catatan sub item strategi pembiayaan utang.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Gubernur BI Agus D.W Martowardojo
Gubernur BI Agus D.W Martowardojo
Badan Anggaran DPR mengusulkan agar utang swasta dimasukan dalam program pengelolaan utang negara. Inisiatif itu disampaikan saat agenda Rapat Kerja Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018 bersama Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) di gedung DPR RI pada Rabu (5/7) kemarin.

Ketua Banggar DPR RI Aziz Syamsudin menjelaskan, sebelumnya melalui pleno internal Banggar, mayoritas anggota telah menyepakati pengelolaan utang pemerintah agar juga ditambahkan utang swasta. Kata Aziz, Banggar usul agar dokumen panitia kerja halaman 11 butir 2 poin a ditambahkan redaksional “utang swasta” sehingga menjadi pengelolaan utang pemerintah dan utang swasta.

"Program pengelolaan utang negara agar ditambahkan utang swasta. Jadinya memenuhi kewajiban pemerintah untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan utang pemerintah dan swasta. Apakah masukan Banggar bisa diterima?," kata Aziz meminta tanggapan dari Pemerintah.

Menanggapi itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani berpendapat jika pemerintah turut andil dalam utang swasta, hal ini dinilai akan membahayakan perekonomian. Ia mencontohkan, jika pemerintah harus mengelola utang swasta lalu perusahaan yang berutang ternyata tidak bisa membayar, menurutnya ada ‘kesan’ seolah-olah pemerintah yang harus membayari utang tersebut. Menurutnya, pihak swasta akan melihat redaksional tersebut dan berasumsi bahwa pemerintah wajib menanggung utang.

"Ini akan sangat berbahaya terhadap preseden, karena ini dokumen legal dan politik yang bisa jadi alasan bagi siapapun, karena utang swasta lalu tidak bisa membayar nanti bisa klaim ke pemerintah, karena pemerintah harus memenuhi kewajiban akuntabilitas terhadap pemerintah," kata Ani, sapaan akrab Sri Mulyani.

Jika hal itu disepakati, lanjutnya, ia khawatir akan membuat kondisi perekonomian menjadi tidak sehat. Pasalnya, selama ini ketika swasta mendapat keuntungan maka pihak swasta yang menikmati sendiri, sebaliknya jika terjadi kerugian pemerintah malah harus ikut menanggung resikonya. “Swasta kan dapat keuntungan dan dinikmati swasta itu sendiri, nah risiko berutang pun harus ditanggungnya. Kalau kita yang harus menanggung utang swasta, sementara kita tidak menikmati profitnya, maka itu terjadi suatu asimatri yang besar sekali,” kata Ani.

Menambahkan Ani, Gubernur BI Agus D.W Martowardojo mengatakan bahwa BI selaku otoritas moneter telah menerbitkan aturan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/21/PBI/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Kata Agus, aturan ini berlaku bagi korporasi selain bank yang mana ketika akan melakukan peminjaman uang dari luar negeri, maka wajib mematuhi prinsip kehati-hatian. (Baca Juga: BI Revisi Aturan Utang Luar Negeri Korporasi)

“Prinsip itu meliputi tiga aspek,” kata Agus.

Ketiga aspek tersebut diantaranya, penyesuaian terhadap cakupan komponen aset dan kewajiban valas, penyesuaian terhadap ketentuan pemenuhan kewajiban lindung nilai, dan yang terakhir penyesuaian terhadap ketentuan pemenuhan kewajiban peringkat utang. Agus memastikan, tingkat kepatuhan korporasi sejak aturan ini berlaku tahun 2015 cukup baik yang terlihat dalam laporan keuangan yang telah diaudit.

Masih kata Agus, BI mewajibkan lindung nilai (hedging) paling sedikit 25 persen antara aset valuta asing minum kewajiban valas bagi utang luar negeri (ULN) korporasi. Tak cuma itu, sebelum mengantongi ULN, korporasi juga harus mendapatkan peringkat minimum double B minus (BB-) dari lembaga pemeringkat kredit. Selain itu, BI juga mewajibkan korporasi untuk memiliki rasio likuiditas minimal 70 persen.

“Kami sudah keluarkan aturan yang bisa jaga utang swasta. Kami bisa lakukan pengawasan agar Menteri Keuangan tau resiko utang swasta,” kata Agus.

Setelah ditimbang bersama, mayoritas anggota Banggar DPR setuju usulan Menkeu yakni tidak mencantumkan utang swasta di dalam kebijakan belanja pemerintah pusat namun cukup tercantum dalam catatan sub item strategi pembiayaan utang. Selanjutnya, sebelum ketuk palu, Ketua Banggar menegaskan bahwa kesepakatan terakhir yakni pemerintah dan BI agar melakukan pengawasan utang termasuk utang BUMN. Selanjutnya, Banggar DPR akan membawa asumsi makro dan belanja pemerintah pusat dalam sidang Paripurna DPR untuk disahkan pada 11 Juli 2017 mendatang.

“Pemerintah ditambah dengan Bank Indonesia, kami tidak keberatan,” kata Agus menawarkan diri.

Tags:

Berita Terkait