Pecandu Narkotika yang Tidak Dapat Dituntut
Utama

Pecandu Narkotika yang Tidak Dapat Dituntut

Sudah ada putusan hakim yang menguatkannya.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Pecandu narkotika yang sudah melaporkan diri dan sedang menjali dua kali rehabilitasi tidak dapat dituntut pidana. ILustrasi: BAS
Pecandu narkotika yang sudah melaporkan diri dan sedang menjali dua kali rehabilitasi tidak dapat dituntut pidana. ILustrasi: BAS
Narkotika adalah zat atau obat yang dapat menyebabkan penururan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Lantaran pengaruh buruknya itu, penggunaan narkotika harus ada izin.

Di Indonesia, ada beragam perbuatan atau tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Bukan saja menanam, memelihara, menguasasi mengkonsumsi dan menyalahguna, tetapi juga memperdagangkan, mengimpor, ekspor, dan memproduksi. Orang yang tidak melaporkan perbuatan pidana narkotika tapi mengetahui langsung perbuatan itu bisa terancam pidana. Beragam jenis tindak pidana itu diatur dalam UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Cuma, syarat penting untuk dipidananya perbuatan itu adalah dilakukan tanpa hak dan melawan hukum. Artinya, jika penguasaan atas narkotika dilakukan oleh orang yang berhak, seperti dokter yang akan membius, dan dilakukan tanpa melawan hukum, maka penggunaan narkotika bisa dibenarkan menurut hukum.

Ancaman hukuman tindak pidana narkotika umumnya tergolong berat. Putusan hakim pun banyak yang memenjarakan pelaku dalam waktu lama dan pidana denda ratusan juta hingga miliaran rupiah. Toh, tetap banyak orang yang terjerat kejahatan narkotika.

(Baca juga: Disparitas Putusan Hakim dalam Perkara Narkotika)

Catatan Badan Narkotika Nasional (BNN) akhir tahun 2016, misalnya, menunjukkan ada 807 kasus tindak pidana narkotika dengan 1.238 orang. Memang, tak semua pelaku berakhir di balik jeruji besi. Sebagian justru menjalani rehabilitasi. Data akhir tahun 2016 menunjukkan jumlah penyalahguna yang direhabilitasi
No.Asal RehabilitasiJumlah
1. Rawat inap Balai Rehabilitasi 1.969
2. Rawat inap Lapas 4.468
3. Rawat jalan klinik Pratama, rumah sakit, puskesmas 8.806
Jumlah 15.243
Sumber: BNN, 2016.

Jumlah itu baru yang direhabilitasi di lembaga rehabilitasi pemerintah. Meskipun jumlahnya lebih sedikit, sebagian penyalahguna narkoitka justru direhabilitasi di lembaga rehabilitasi komponen masyarakat. Penyalahguna atau pecandu memang cenderung direhabilitasi jika ditangkap aparat kepolisian atau BNN.

(Baca juga: Mengacu UU, Pengguna Narkotika Tetap Direhabilitasi)

Bahkan, percaya atau tidak, ada pecandu narkotika yang tidak dapat dituntut secara pidana. Ini berangkat dari konsep rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) UU Narkotika. Pasal ini menegaskan pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

(Baca juga: Tata Cara Pengajuan Permohonan Rehabilitasi Narkotika)

Jika pecandu narkotika yang sudah dewasa atau keluarganya melaporkan diri ke fasilitas rehabilitasi yang ditunjuk Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan, ada keuntungan yang ia peroleh. Apa? Si pecandu sangat mungkin tak dituntut secara pidana jika tertangkap. Syaratnya, sebelum penangkapan itu pecandu sedang atau sudah dua kali menjalani perawatan medis. Alasan tidak menuntut pecandu itu diatur tegas dalam Pasal 128 ayat (3) UU Narkotika.

Pasal itu menyebutkan pecandu narkotika yang telah cukup umum sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (2) UU Narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi medis dua kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk Pemerintah tidak dapat dituntut pidana.

Mahkamah Agung juga sudah menerapkan pasal tersebut dalam perkara narkotika. Salah satunya dalam putusan No. 1166 K/Pid.Sus/2016. Dalam putusan ini, majelis hakim kasasi menyatakan penuntutan terhadap terdakwa BS tidak dapat diterima, dan memerintahkan terdakwa di keluarkan dari tahanan. Putusan kasasi ini memang membalikkan hukuman penjara yang dijatuhkan judex facti. Pengadilan Negeri Kediri menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara, dan memerintahkan terdakwa menjalani pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi medis dan sosial di Lapas Narkotika Madiun selama menjalani pidana penjara. Pengadilan Tinggi Surabaya menguatkan putusan hakim tingkat pertama.

Sebelumnya, jaksa menuntut terdakwa hukuman 4 tahun dan pidana denda 800 juta rupiah. Tuntutan itu didasarkan fakta terdakwa sudah berkali-kali memberi narkotika, sehingga harusnya menjadi unsur yang memberatkan. Terdakwa sudah mengalami ketergantungan berat sebagaimana terungkap dari penilaian tim BNN. Menurut penuntut umum, hukuman ringan justru tidak menimbulkan efek jera. Dalam pandangan jaksa “Adanya penjatuhan hukuman terhadap terdakwa yang terlalu ringan menimbulkan suatu efek yang kurang baik dalam masyarakat”.

Tetapi hakim tingkat kasasi, beranggotakan Surya Jaya, H. Margono, dan Maruap Dohmatiga Pasaribu, berpendapat lain. Menurut majelis, terdakwa seharusnya tidak bisa dituntut secara pidana sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (2) juncto Pasal 128 ayat (3) UU Narkotika. Majelis menunjuk fakta terdakwa sudah melaporkan diri sebagaimana dibuktikan surat keterangan BNN Kota Kediri tertanggal 10 Desember 2015. BNN juga merekomendasikan terdakwa mengikuti perawatan medis dalam bentuk rehabilitasi rawat inap.

Majelis juga merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 sebagaimana diubah dengan SEMA No. 3 Tahun 2011, yang mengatur tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Menurut majelis, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, namun ‘tidak bisa dituntut karena alasan pengecualian penuntutan pidana’. “Pada pokoknya ketentuan SEMA tersebut membenarkan penyalah guna narkotika yang sedang menjalani masa perawatan/rehabilitasi rawat jalan membawa, memiliki, menyimpan atau menggunakan narkotika jenis sabu maksimum 1 gram.

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, mengapresiasi putusan majelis karena sudah sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Sejak awal seharusnya memang aparat penegak hukum tidak meneruskan perkara itu ke pengadilan melainkan melakukan rehabilitasi medis ata sosial terdakwa penyalah guna narkotika. Dengan membawa proses ini ke pengadilan berarti memakan waktu berbulan-bulan bagi terdakwa dan aparat penegak hukum untuk mengikuti seluruh tahapan. Padahal aturannya sudah jelas, jika penyalah guna melaporkan diri, sudah dewasa, dan sudah dua kali menjalani pengobatan, tak boleh dituntut.

Dijelaskan Ricky, ada juga perkara yang ditangani LBH Masyarakat di Jakarta. Dalam perkara dimaksud, polisi dan jaksa tetap meneruskan perkara dan penuntutan ke pengadilan. DI pengadilan, LBH Masyarakat menggunakan argumentasi Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 128 ayat (3) UU Narkotika. Hasilnya? “Hakim menerima argumentasi kami, dan menyatakan dakwaan tidak dapat diterima,” jelas Ricky kepada hukumonline.
Tags:

Berita Terkait