Mantan Ketua KPK Ini Sebut Hak Angket KPK Termasuk Contempt of Court
Berita

Mantan Ketua KPK Ini Sebut Hak Angket KPK Termasuk Contempt of Court

Mantan Pimpinan KPK ini berharap para anggota pansus untuk berpikir ulang mengenai tindakan-tindakan mereka.

Oleh:
Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Sejumlah mantan pimpinan KPK bersatu menolak hak angket KPK karena dinilai melemahkan lembaga antirasuah itu usai menggelar jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Jum'at (7/6). Foto: RES
Sejumlah mantan pimpinan KPK bersatu menolak hak angket KPK karena dinilai melemahkan lembaga antirasuah itu usai menggelar jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Jum'at (7/6). Foto: RES
Tindakan panitia khusus (pansus) hak angket KPK dapat dikategorikan sebagai "contempt of court" atau menghina pengadilan. Penilaian ini disampaikan oleh mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki di Gedung KPK.  

"Apa sih gunanya harus sampai ke (lapas) Sukamiskin dan Pondok Bambu? Proses mereka itu sudah yang benar lewat banding dan lewat kasasi dan bahkan ada yang PK (peninjauan kembali), apakah ini upaya-upaya politik itu harus sampai itu? Secara pribadi saya berpendapat ini adalah 'contempt of court' karena proses itu bukan hanya KPK tapi lewat pengadilan tingkat 1, tingkat 2 dan bahkan sampai MA," kata Taufiequrachman Ruki dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Jumat (7/6/2017).

Konferensi pers itu dilakukan oleh sejumlah mantan pimpinan KPK yaitu Adnan Pandu Praja (pimpinan jilid III), Zulkarnain (pimpinan jilid III), Taufiequrachman Ruki (pimpinan jilid I dan pelaksana tugas pimpinan jilid III), Erry Riyana Hardjapamekas (pimpinan jilid I), Tumpak Hatorangan Panggabean (pimpinan jilid I dan plt pimpinan jilid II) dan Chandra M. Hamzah (pimpinan jilid II) serta mantan Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan mantan Deputi Pencegahan KPK Eko Soesamto Tjiptadi.

"Kami meminta semua pihak termasuk DPR agar menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. KPK adalah hasil reformasi dan tidak seharusnya dihambat dan dideligitimasi kehadirannya, kami mengajak masyarakat semuanya bersama-sama mendukung dan mengawal KPK dalam melakukan tugas pemberantasan korupsi, kalau tidak benar bisa diajukan ke pengadilan, minta dipecat kalau perlu tapi jangan lembaganya mau diamputasi seperti ini," tegas Ruki.

Langkah mundur
Tindakan panitia khusus (pansus) hak anget DPR terhadap KPK dinilai merupakan langkah mundur dalam pemberantasan korupsi. "Hak angket memang hak konstitusional bagi DPR, tapi hak angket DPR itu adalah langkah mundur dan dikategorikan sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi," ujar Ruki. Baca Juga: Kunjungan Pansus Angket KPK ke Lapas Dinilai Sandiwara Politik

"Sejak 2005 pimpinan KPK jilid 1 sudah mensinyalir ada kegiatan yang kita beri nama corruptor fight back, perlawanan para tersangka korupsi terhadap pemberantasan korupsi sepanjang dilakukan menurut hukum mungkin mengajukan praperadilan, banding, gugatan itu sah-sah saja. Namun, upaya sistematik untuk melemahkan pemberantasan korupsi dengan cara melumpuhkan KPK itu adalah kemunduran buat bangsa ini," lanjutnya.

Ia pun berharap para anggota pansus untuk berpikir ulang mengenai tindakan-tindakan mereka. "Tolong teman-teman yang terlibat sebagai anggota DPR terhormat dan menyenggarakan angket, berpikirlah kembali, negara ini ringkih akibat digerogoti oleh sebuah penyakit yang namanya korupsi kok upaya-upaya pemberantasan korupsi dibuat seperti begini sekarang," beber Ruki.

Ruki menegaskan bahwa KPK dapat dikritisi, didemo dan diajak bicara. "Misalnya, soal laporan hasil pemeriksaan BPK, KPK sejak 2006 sudah punya mata anggaran sendiri dan sejak 2006 juga sudah dilakukan audit dan tiap tahun yang dikirim ke DPR karena memang ketentuannya begitu, jadi yang diminta 10 tahun terakhir itu sudah dipublikasikan," tutur Ruki.

Pada Kamis (6/7), pansus hak angket KPK dipimpin ketua pansus Agun Gunandjar dan juga dihadiri anggota pansus yaitu Muhammad Misbakhun, Daeng Muhammad, Dossy Iskandar, Masinton Pasaribu, Arteria Dahlan mengunjungi para narapidana korupsi yang ditangani KPK di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Para narapidana yang diajak berdiskusi oleh pimpinan pansus antara lain adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang terbukti menerima suap saat menangani sengketa pilkada di lebih dari 10 daerah dan tindak pidana pencucian uang sehingga harus divonis seumur hidup.

Ada juga advokat senior OC Kaligis yang merupakan terpidana 10 tahun kasus suap terhadap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan serta mantan anggota Komisi III dari fraksi Partai Demokrat Putu Sudiartana yang divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima uang Rp500 juta terkait pengusahaan dana alokasi khusus kegiatan sarana dan prasarana penunjang provinsi Sumatera Barat.

Ada 7 fraksi yang mengirimkan anggotanya dalam pansus hak angket KPK yaitu Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi Hanura, Fraksi PPP, Fraksi Gerindra dan Fraksi PAN dan Fraksi Nasdem. Ketua pansus hak angket adalan Agun Gunanjar yang juga disebut dalam dakwaan korupsi e-KTP. Dalam dakwan Agung Gunandar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI menerima sejumlah 1 juta dolar AS.

Pansus melakukan sejumlah hal untuk mencari-cari kesalahan KPK, misalnya dengan meminta hasil pemeriksaan BPK terhadap KPK dan menyatakan ada temuan terkait Sumber Daya Manusia (SDM) atau penyidik, sistem pengelolaan keuangan internal (SPI) serta penyadapan di KPK pada 4 Juli 2017.

Selanjutnya pada 6 Juli 2017, pansus juga menemui beberapa narapidana kasus tindak pidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung dan Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur untuk mencari laporan pelanggaran HAM yang dilakukan KPK terhadap para narapidana tersebut. Baca Juga: KPK Pertanyakan Kunjungan Pansus Temui Napi Korupsi

Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari. Sebab, KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP elektronik (e-KTP).

Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel namanya.
Tags:

Berita Terkait