RKUHP Bakal Jadi ‘Konstitusinya’ Hukum Pidana Nasional
Berita

RKUHP Bakal Jadi ‘Konstitusinya’ Hukum Pidana Nasional

Sepanjang disepakati pemerintah dan Panja, UU yang mengatur hukum pidana di luar KUHP bakal kembali ke induknya (KUHP).

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
Pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus berlangsung antara Panja RKUHP dengan pemerintah di DPR. Ribuan daftar inventarisasi masalah nyaris dirampungkan pembahasannya oleh Panja dan pemerintah. Harapan dari RKUHP setelah disahkan menjadi KUHP nantinya dapat menjadi konstitusinya hukum pidana secara nasional.  

Demikian disampaikan Ketua Panja RKUHP Benny K Harman dalam sebuah diskusi di Gedung DPR bertajuk ‘Quo Vadis RUU KUHP dan KUHAP’, Kamis (7/7/2017). “KUHP ini kita ingin menjadikan konstitusi hukum pidana kita,” ujarnya.

Konsekuensi KUHP menjadi konstitusi hukum pidana, maka semua jenis aturan jenis tindak pidana di luar KUHP mesti diintegrasikan dengan semua aturan jenis tindak pidana dalam KUHP. Selain itu, KUHP nantinya memiliki fungsi kontrol terhadap semua jenis tindak pudana di luar KUHP. Menariknya, kata Benny, KUHP memiliki fungsi menghapuskan norma jenis tindak pidana khusus di luar KUHP.

“Ini kalau disepakati dengan pemerintah, KUHP ini menjadi ‘konstitusi’. Kalau menjadi konstitusi, maka yang lain tidak berfungsi,” ujarnya. Baca Juga: Perlu Kejelasan Model Kodifikasi dalam RKUHP

Wakil Ketua Komisi III DPR itu pun berpendapat dalam RKUHP yang sedang dibahas dengan pemerintah telah mengatur semua jenis tindak pidana yang selama ini tidak diatur dalam UU yang bersifat khusus. Sebut saja, UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam UU Pemberantasan Tipikor belum mengatur jenis tindak pidana menjual pengaruh alias Trading In Influence. Tak hanya itu, UU Pemberantasan Tipikor belum pula mengatur beberapa prinsip yang diatur dalam United Nations Convention against Corruption (UNCAC). Yakni, tindak pidana memperdagangkan pengaruh, tindak pidana penyuapan di sektor swasta, tindak pidana memperkaya secara tidak sah, dan tindak pidana penyuapan pejabat publik asing dan pejabat publik organisasi internasional.

Nah, RKUHP justru mengakomodir kepentingan dalam UU Pemberantasan Tipikor, yakni memasukan jenis tindak pidana trading in influence. Mestinya lembaga pemberantasan antirasuah mendukung RKUHP dengan memasukan kepentingan pemberantasan korupsi dalam RKUHP. Bukan sebaliknya protes ke Panja dan pemerintah.

“Ketika KPK protes, kita jawab RKUHP mengatur lebih lengkap. Karena trading influence tidak diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor. Jadi sangat lengkap pengaturannya di RKUHP ini,” katanya.

Ketua Asosiasi Pakar Hukum Pidana KUHP dan KUHAP, Prof Andi Hamzah mengatakan Indonesia merupakan negara yang rajin membuat UU di luar KUHP. Padahal, UU yang berada di luar KUHP bersifat temporer alias sementara. Ia menunjuk sebanyak 13 pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor berasal dari KUHP. Karena itu, Andi mengusulkan mayoritas pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor nantinya masuk dalam RKUHP, kecuali, pasal 2 dan 3.

“Jadi sebagian pasal UU Pemberantasan Tipikor itu disalin dari KUHP Belanda,” katanya.

Rektor Universitas Muhamadiyah Jakarta, Prof Syaiful Bakhri mengatakan Indonesia belum memiliki hukum pidana secara nasional. Karena KUHP yang berlaku saat ini masih warisan kolonial. Saat ini, menurutnya hukum pidana di luar KUHP menjadi ilusioner. Sementara, KUHAP sebagai hukum acara yang dimiliki Indonesia secara nasional.

Sementara penegakan hukumnya masih kolonial. Ia sependapat dengan pandangan Benny. Menurutnya UU yang mengatur pidana di luar KUHP mesti digiring kembali ke induknya. Dengan begitu, nantinya hukum pidana hanya diatur dalam KUHP. “UU pidana di luar KUHP kembali ke induknya,” ujarnya. Baca Juga: Bab Tindak Pidana Khusus Tetap Masuk dalam RKUHP

Bukan extraordinary crime
Lebih lanjut Benny yang notabene politiis Partai Demokrat itu melanjutkan tindak pidana korupsi tidak lagi menjadi extra ordinary crime. Sebab, tindak pidana korupsi sudah menjadi kejahatan umum. Yakni kejahatan yang sudah banyak dilakukan banyak orang. Karena itu, kekhususan dari tindak pidana korupsi hanya pada lembaga yang menanganinya yakni KPK.

“Saya bilang, korupsi ini menjadi kejahatan extraordinary crime sudah berlalu. Karena korupsi kejahatan umum. Oleh karena itu, kekhususannya hanya lembaga yang menangani, KPK,” ujarnya.

Begitu pula dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menurutnya bila kejahatan narkotika dan psikotropika masuk dalam kategori kejahatan extraordinary crime, maka lembaga yang menangani kasus narkoba mesti bersifat khusus. Badan Narkotika Nasional (BNN) mestinya memiliki UU tersendiri dan bersifat khusus seperti halnya KPK. Faktanya, kewenangan BNN hanya nyantol ke UU tentang Narkotika.
Tags:

Berita Terkait