Pembahasan RUU Terorisme Mesti Kedepankan Asas Kehati-Hatian
Berita

Pembahasan RUU Terorisme Mesti Kedepankan Asas Kehati-Hatian

Setidaknya sudah 60 persen dari total 112 daftar inventasisasi masalah yang sudah diselesaikan. Penegakan hukum tindak pidana teroris harus dilakukan tanpa melanggar hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Desakan agar pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dipercepat hingga segera disahkan menjadi UU semakin menguat. Pasalnya aksi terorisme di berbagai wilayah belakangan meresahkan masyarakat banyak. Pengesahan RUU tersebut menjadi UU agar penanganan aksi teroris dapat menjadi lebih efektif.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengingatkan pembahasan RUU Terorisme melalui Panja RUU Terorisme harus mengedepankan asas kehati-hatian. Apalagi pembahasan draf RUU yang diajukan pemerintah ini, terakhir sudah lebih dari 60 persen dari total 112 DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang dibahas di Pansus.

Dalam draf yang disusun pemerintah, memang terdapat banyak persoalan yang mesti dibahas secara hati-hati. Misalnya usulan perpanjangan masa penahanan dari 6 bulan menjadi sekian ratus hari. Nah, usulan pemerintah tersebut tak boleh begitu saja diloloskan. Pasalnya proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme tak boleh mengabaikan hukum lainnya yang masih berlaku.

“Jangan sampai penegakkan hukum yang dilakukan tidak melanggar hukum lain, itu prinsip yang ingin kita jaga. Kita tak berharap tindakan hukum sejenis Petrus (penembak misterius) di masa lalu, bisa terulang kembali dalam bentuk lain,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (6/7/2017) lain.

DPR, kata Fadli, menginginkan agar filosofi penanganan tindak pidana terorisme tak hanya sekadar mengedepankan pemberantasan terorisme. Tetapi, penanganan terorisme lebih memperhatikan berbagai aspek secara komprehensif. Pasalnya, tindak pidana terorisme masuk kategori tindak pidana luar biasa alias extraordinary crime. Baca Juga: Cegah Aksi Teror, Presiden Minta Revisi UU Terorisme Segera Rampung

Lebih lanjut politisi Partai Gerindra itu berpandangan penanganan tindak pidana terorisme mesti tetap berada dalam koridor hukum. Misalnya, tidak boleh terus menerus menggunakan diskresi (kewenangan mutlak). Dia meminta penanganan terorisme harus tetap taat pada asas due process of law.

“Itu sebabnya, meski ada desakan dari sejumlah pihak agar revisi UU Antiterorisme segera disahkan, DPR tak bisa begitu saja mengikuti desakan tersebut. Kalau pembahasannya tergesa-gesa, bisa berisiko di kemudian hari,” kata dia.

Terlebih, dalam RUU tersebut banyak pihak yang dilibatkan untuk disinergikan. Mulai Polri, BNPT, BIN, TNI hingga masyarakat sipil. Nah mekanisme sinergi itulah yang mesti dirumuskan dan diatur dalam RUU tersebut. Yang pasti, menghindari adanya celah penyalahgunaan kewenangan oleh negara atau aparat dengan dalih melawan terorisme.

Ia berpendapat belum rampungnya pembahasan RUU tersebut tak ada kaitannya dengan maraknya aksi teror belakangan terakhir. Lagi pula, UU No. 15 Tahun 2003 masih berlaku dan masih dapat digunakan aparat dalam upaya pemberantasan terorisme. Menurutnya, pembahasan di DPR hanya melakukan revisi. “Ini tidak menjadi faktor penghambat bagi aparat penegak hukum dalam menangani aksi teror.” Baca juga: ICJR Kritik Pembahasan RUU Terorisme Tertutup

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Al Araf menilai pembahasan tetap harus dilakukan secara terbuka. Terpenting, RUU tersebut mesti berada dalam koridor criminal justice system. Al menilai permasalahan aksi terorisme memangnya rumit. Terutama kebijakan penanggulangan bahaya ancaman terorisme oleh negara yang tepat mesti dibuat secara komprehensif.

Tujuannya, diarahkan meminimalisir potensi ancaman terorisme dan mempersempit ruang gerak pelaku teror. Menurut koalisi masyarakat sipil, pendekatan hukum melalui UU 15 Tahun 2003 hanya satu dari sekian instrumen kebijakan anti terorisme.

Menurut Al yang juga menjabat Direktur Eksekutif Imparsial itu, penanganan tindak pidana terorisme mesti melalui pendekatan hukum yang mensyaratkan adanya penghormatan terhadap prinsip negara hukum. Kemudian tatanan negara yang demokratis dan menjamin perlindungan kebebasan dan hak asasi manusia (HAM). 

Al berpendapat sikap DPR dan pemerintah berkeinginan mengubah pendekatan penanggulangan terorisme dari criminal justice system model menjadi war model melalui RUU tersebut. Yakni dengan cara melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara aktif dalam penanganan terorisme sebagaimana dalam Pasal 43 draf RUU tersebut.

“DPR dan pemerintah tidak boleh melakukan langkah yang salah dan keliru dalam merevisi UU No. 15 Tahun 2003 dengan memberikan kewenangan kepada aparat nonjudicial (militer) untuk terlibat dalam penegakan hukum dalam mengatasi ancaman terorisme,” ujarnya mengingatkan.

Ketua Panja RUU Terorisme Ahmad Syafii sebelumnya mengatakan pihaknya bersama pemerintah telah menyepakati masa penangkapan menjadi 14 hari. Menurutnya sepanjang diperlukan perpanjangan, penyidik dapat melakukan masa perpanjangan penangkapan selama 7 hari. Panja pun masih terus melakukan pembahasan bersama pemerintah. Baca Juga: Masa Penahanan Teroris Disepakati Totalnya 791 Hari
Tags:

Berita Terkait