Transaksi Repo Berkembang, Perlindungan Investor Perlu Diperkuat
Berita

Transaksi Repo Berkembang, Perlindungan Investor Perlu Diperkuat

Dalam praktek telah terjadi repo berantai yang meningkatkan resiko bagi penjual awal.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Fahmy berforo bersama promotor, co-promotor, dan tim penguji usai mempertahankan disertasi doktor di FH UI. Foto: EDWIN
Fahmy berforo bersama promotor, co-promotor, dan tim penguji usai mempertahankan disertasi doktor di FH UI. Foto: EDWIN
Transaksi di pasar modal Indonesia dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (ISHG) terus berkembang dari tahun ke tahun. Para investor semakin tertarik untuk menanamkan investasinya dan melakukan transaksi lewat pasar modal. Salah satu produk pasar modal yang berkembang beberapa tahun belakangan adalah transaksi jual efek dengan janji membeli kembali efek tersebut. Transaksi ini lazim disebut repo atau transaksi repo.

Transaksi repo disebut bersifat ganda karena objek yang diperdagangkan pembeli efek dan penjual efek berupa efek ekuitas (saham) dan efek bersifat utang (obligasi). Prinsipnya, dalam perjanjian transaksi repo ada ketentuan yang menjamin saham atau obligasi yang telah dijual dapat dimiliki kembali oleh pemilik efek terdahulu. Dalam perjanjian kedua belah pihak ada klausula pembelian kembali (repurchase agreement). Satu pihak mendapatkan dana, pihak lain mendapatkan keuntungan.

(Baca juga: Aturan Perpajakan Transaksi Repo Dikaji, Ini Tujuannya).

Tetapi dalam praktek, ternyata repo telah berkembang. Kini ada repo tiga pihak. Pihak ketiga menjadi pihak yang menjaga pelaksanaan transaksi repo saham agar berjalan sesuai dengan apa yang disepakati dalam kontrak. Selain itu transaksi repo bukan saja dipahami sebagai transaksi utang piutang dengan jaminan efek (gadai efek), melainkan juga transaksi pinjam meminjam dan transaksi jual beli dengan jaminan. Alhasil, banyak pemahaman tentang transaksi repo, dan mengakibatkan pengaturannya juga beragam.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 9/POJK.04/2015 tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement Bagi Lembaga Jasa Keuangan mencoba menyatukan pemahaman. Di sini, transaksi repo dikualifikasi sebagai transaksi jual beli dengan janji membeli kembali. Akibatnya lanjutan, pemahaman awal bahwa transaksi repo saham adalah transaksi pinjam meminjam tidak dapat diterapkan lagi. POJK tadi mengatur transaksi repo harus menyebabkan perubahan kepemilikan.

Fahmy, konsultan hukum pada Fahmy Hoessein & Partners telah melakukan penelitian tentang repo di pasar modal Indonesia. Ia berpandangan ketentuan POJK No. 09 tersebut justru menimbulkan masalah hukum. Transaksi itu seharusnya dilandasi hak membeli kembali. Setelah POJK, pembeli sebagai pemilik saham baru mempunyai hak untuk menjual sahamnya kepada pihak selain pemilik pertama.

(Baca juga: Membidik Transaksi Efek di Luar Bursa)

“Hal ini akan menimbulkan repo berantai dan meningkatkan resiko penjual tidak dapat membeli kembali saham yang telah diperjanjian,” jelas Fahmy saat mempertahankan disertasinya di hadapan Sidang Akademik Universitas Indonesia, Kamis (06/7). Di bawah promotor Prof. Rosa Agustina dan ko-promotor Indra Surya dan Miftahul Huda, Fahmy berhasil mempertahankan disertasi ‘Perlindungan Hukum Terhadap Investor dalam Transaksi Repurchase Agreement Saham di Pasar Modal Indonesia’.

Perkembangan transaksi repo yang dimaksud Fahmy antara lain bisa dilihat sejak ia dianggap sebagai utang piutang dengan gadai saham, lalu dikaitkan dengan perjanjian jual beli, hingga repo sebagai perjanjian innominaat. Di Indonesia dan di Amerika Serikat pun transaksi repo masih ambigu karena bisa disamakan atau dikaitkan dengan transaksi kredit dengan agunan atau transaksi jual beli pada umumnya. Ada yang bahkan menyebut transaksi ini sebagai transaksi yang hybrid: gabungan antara perjanjian kredit dengan perjanjuan jual beli.

Di Indonesia, sebelum tahun 2016, belum ada kepastian regulasinya. Barulah setelah OJK menerbitkan POJK No. 9/POJK status transaksi repo diperjelas sebagai transaksi jual beli atau pinjam meminjam. Dalam hukum Indonesia, perjanjian yang hybrid bisa disebut perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama. Transaksi repo menurut POJK mengharuskan adanya perubahan kepemilikan atas efek. Di satu sisi, ini merupakan terobosan; tetapi di sisi lain menimbulkan permasalahan. Menurut Fahmy, keharusan perubahan kepemilikan memungkinkan lahirnya repo berantai sehingga melahirkan resiko. Penjual awal tak dapat membeli kembali saham-sahamnya.

Resiko ini juga diperbesar Global Master Repurchase Agreement (GMRA) terbitan OJK yang lebih mementingkan penyelesaian peristiwa kegagalan dengan ganti rugi berupa uang. Artinya, saham yang telah hilang hanya dibayar dengan ganti rugi berupa uang. Oleh karena itu, dari sisi si penjual, tidak ada kepastian sahamnya akan diperoleh kembali. Kondisi penjual lebih buruk dibandingkan si pembeli (worst off).

Meskipun demikian, putera Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Bhenyamin Hoessein itu  mengakui POJK No. 9 dan GRMA telah memberikan kepastian hukum tentang model  dan mekanisme yang harus digunakan dalam transaksi repo saham. Cuma, kepastian mekanisme itu belum memberikan perlindungan  hukum yang maksimal karena masih ada pihak yang tidak diuntungkan dalam transaksi repo saham.

Mengatasi problem itu, Fahmy mengusulkan pengaturan tentang sistem lock up terhadap  saham jaminan, atau perlu ada klausula dalam transaksi repo saham  yang melarang pembeli saham menjual saham jaminan sebelum seluruh perjanjian selesai. Ia yakin solusi ini lebih memberikan keadilan kepada penjual, terutama mendapatkan manfaat berupa kemungkinan sahamnya kembali.

Kini, tinggal bagaimana regulator seperti OJK membuat aturan mengenai lock up dan transaksi repo dengan tiga pihak. Hanya dengan membuat aturan yang jelas, transaksi repo tidak menimbulkan kebingungan dan permasalahan. Apalagi di dunia pasar modal yang begitu dinamis. Bagaimanapun, perlindungan investor harus diperkuat.
Tags:

Berita Terkait