Ingin Dirikan Perusahaan Jasa Sistem Pembayaran? Simak Syarat yang Diminta BI
Berita

Ingin Dirikan Perusahaan Jasa Sistem Pembayaran? Simak Syarat yang Diminta BI

Saat ini, baru terdapat empat perusahaan yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran sebagai lembaga Switching. Namun, Bank Indonesia (BI) punya syarat ketat, salah satunya kepemilikan saham minimal 80% oleh WNI atau badan hukum Indonesia.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Kepala Pusat Transformasi BI, Onny Widjanarko (tengah). Foto: NNP
Direktur Eksekutif Kepala Pusat Transformasi BI, Onny Widjanarko (tengah). Foto: NNP
Bank Indonesia (BI) baru saja merilis aturan tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau National Payment Gateway (NPG) melalui PBI Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. Melalui peraturan ini, BI menetapkan sejumlah kriteria persyaratan untuk menjadi penyelenggara GPN.

Direktur Eksekutif Kepala Pusat Transformasi BI Onny Widjanarko menjelaskan yang dimaksud sebagai penyelenggara dalam GPN meliputi tiga lembaga, yakni lembaga standar, lembaga switching, dan lembaga services. Selain harus memenuhi kriteria dan persyaratan, BI akan melakukan penelitian administratif, analisa kelayakan pihak yang mengajukan dan sepanjang diperlukan, BI melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan.

“Pihak yang akan menjadi penyelenggara GPN, harus mendapat ‘penetapan’ untuk lembaga standar dan lembaga services, dan ‘persetujuan’ untuk lembaga switching,” kata Onny di kantornya, Kamis (6/7) kemarin.

Onny melanjutkan, lembaga ini punya tugas dan peran masing-masing. Untuk lembaga standar, lembaga ini punya peran menyusun standarisasi bagi penyelenggara dan pihak yang terhubung dalam GPN. Sebagai contoh, lembaga standar dapat menyusun standar kartu debet/kartu ATM misalnya mengacu ke standar nasional teknologi chip kartu ATM atau kartu debet (NSICCS/National Standard Indonesian Chip Card Spesification) supaya dapat dibaca oleh semua mesin ATM dan mesin EDC Merchant (Electronic Data Capture), yakni mesin gesek kartu yang digunakan sebagai transaksi pembayaran.

Lembaga standar ini berbeda dengan dua lembaga penyelenggara GPN lainnya. Nantinya, BI hanya akan menetapkan satu lembaga standar. Kata Onny, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) bakal ditunjuk sebagai lembaga standar dalam GPN, lantaran menurut PBI ini salah satu syarat menjadi lembaga standar merupakan representasi dari industri sistem pembayaran nasional. Seperti diketahui, ASPI sendiri merupakan satu-satunya wadah asosiasi bagi pelaku sistem pembayaran di Indonesia.

“Tahun ini harus jadi, dalam waktu dekat ya (penetapan lembaga standar),” kata Onny.

(Baca Juga: Peraturan BI Soal National Payment Gateway Terbit, Ini Poin-Poin Pentingnya)

Selanjutnya, BI juga menargetkan segera memberi penetapan lembaga services. Secara fungsi, lembaga ini nantinya akan melakukan operasional dan pengamanan data transaksi. Selain itu, lembaga services ini berperan sebagai risk management dan fraud management dalam hal terjadi permasalahan saat pengalihan dan pemrosesan akhir transaksi (setelmen) domestik.

“Kalau pakai kartu debet Bank A, lalu transaksi ke EDC Bank B. Sementara bank A anggota PT Artajasa (ATM Bersama) dan Bank B anggota PT Rintis (Prima), nanti setelmen ada di anggota services. Lembaga (services) ini untuk operation dan pengamanan data transaksi. Karena kartu debet masuk EDC, kan datanya ‘dibuka tutup’, itu memastikan data dienkripsi,” kata Onny menjelaskan.

Berbeda dengan lembaga standar dan lembaga services yang hanya tinggal ditetapkan, PBI tentang GPN memberi peluang kepada siapapun yang berminat untuk bergabung sebagai penyelenggara GPN sebagai lembaga switching. Lembaga ini sendiri punya peran melakukan pemrosesan transaksi (routing) domestik. PBI tentang GPN mensyaratkan ‘pemain baru’ untuk lembaga switching setidaknya ada empat syarat yang mesti dipenuhi oleh calon penyelenggara lembaga ini.

“Ketentuan ini cukup ketat, harus punya pengalaman dan punya kemampuan, modalnya diatur, serta kepemilikan sahamnya,” kata Onny.
Persyaratan Menjadi Lembaga Switching Penyelenggara Gerbang Pembayaran Nasional
· Memperoleh izin sebagai penyelenggara izin oleh BI;
· Telah melaksanakan pemrosesan pembayaran transaksi pembayaran domestik menggunakan infrastruktur yang dimiliki di Indonesia;
· Kepemilikan sahamnya paling sedikit 80% dimiliki WNI atau Badan Hukum Indonesia. Dalam hal terdapat kepemilikan asing pada lembaga switching, maka perhitungan kepemilikan asing meliputi kepemilikan secara langsung maupun secara tidak langsung sesuai dengan penilaian BI. Lembaga switching yang telah memperoleh persetujuan BI wajib tetap memenuhi persentase kepemilikan saham dimaksud. Lembaga switching juga harus meminta persetujuan BI dalam hal melakukan perubahan modal dan/atau susunan pemegang saham;
· Mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi switching di GPN;
· Memiliki modal disetor paling sedikit Rp 50 milyar.     

Onny melanjutkan, saat ini baru ada empat pemain ‘lokal’ lembaga switching ditambah pemain asing (global player). Empat pemain lokal yakni PT ALTO Network (ALTO), PT Rintis Sejahtera (Prima), PT Jalin Pembayaran Nusantara (Link) serta PT Artajasa Pembayaran Elektronis (ATM Bersama). Sementara bisnis prinsipal asing yang menguasai pasar yakni Visa dan MasterCard. Meski BI memberi peluang buat pemain baru masuk sebagai lembaga switching, agaknya khusus untuk bisnis ini BI tidak ingin main-main memberikan izin.

Dikatakan Onny, sepanjang pemain baru memenuhi kriteria yang diatur PBI tentang GPN, pihaknya mempersilakan mengajukan permohonan dan selanjutnya BI akan melakukan verifikasi. Sejauh ini pemain lokal yang terjun ke bisnis sistem pembayaran sebagai switching masih empat perusahaan dan belum terlihat ada perusahaan lain yang berminat masuk.

“Kita tidak ingin ada switching yang tidak capable dan tidak punya kapasitas tiba-tiba masuk, rusak nanti sistem. Karena ini menyangkut ekosistem, kalau satu ‘berpenyakit’ bisa kena semuanya, istilahnya begitu. Tingkat keamanan ini lebih tinggi dari sekedar bisnis yang lain,” kata Onny.

Bagaimana Nasib ‘Pemain’ Switching Lama?
Menurut PBI tentang GPN, empat perusahaan switching harus mengajukan permohonan persetujuan kembali sebagai lembaga switching paling lambat tiga bulan sejak aturan ini terbit yakni sekira September 2017 mendatang. Dikatakan Onny, dengan adanya GPN ini perusahaan tersebut secara bisnis diprediksi akan mengalami peningkatan keuntungan karena proses bisnis menjadi lebih efisien. Lantas, bagaimana dengan global player?

“Mereka (Global Player) akan terpengaruh terutama yang routing domestik. Debit yang logo internasional sekarang harus routing di dalam. Tapi peluangya besar, yaitu ada partnering atau kerja sama di fitur keamanan dan operasional. Di Indonesia kan belum mampu, kita butuh. Kita kan masih EDC, di luar negeri bisa pakai QR Code. Kaya gitu kita butuh dan itu peluang bisnis global player. Mereka tumbuh dengan bentuk yang berbeda,” kata Onny.

Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Eni V. Panggabean mengatakan perkembangan penggunaan nontunai dalam transaksi domestik mengalami peningkatan yang signifikan. Sejak Gerakan non Tunai diinisiasi tahun 2014, BI melihat ‘gaung’ penggunaan uang nontunai tak pernah berhenti sampai yang terakhir saat libur hari Lebaran 1438 H menunjukkan lonjakan hingga 34% atas penggunaan transaksi nontunai khusus jalan tol di pulau Jawa.

“Pertama karena ini efisien dan efektif. Kalau routing (pengalihan transaksi) domestik biasanya lebih rendah (biayanya). Efektif karena mudah dan gampang ditaruh kantong,” kata Eni.

Apalagi, lembaga switching menerima ‘mandat besar’ untuk bekerja sama minimal dengan dua perbankan nasional dan setiap transaksi pembayaran domestik wajib diproses melalui GPN serta penyelesaian akhir (setelmen) wajib diproses oleh BI. Dalam jangka panjang, kata Eni, implementasi GPN juga punya dampak signifikan terhadap inklusi keuangan.

Presiden Joko Widodo juga telah mengintegrasikan teknis distribusi berbagai bantuan untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin dalam satu Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Selain berdampak positif buat peningkatan angka financial inclusion yang masih 67,82% dari target 75% tahun 2019, skema pembayaran nontunai juga akan tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi (6T).

Data yang dimiliki BI, tercatat pertumbuhan kartu debet dan kartu kredit saat ini mencapai angka 154 juta keping. Total transaksi yang dicatat juga fantastis dengan rata-rata per harinya sekitar 11-14 juta transaksi. Bila dibandingkan sebelum Gerakan non Tunai tahun 2014, transaksi per hari hanya berkisar di angka 50-60 juta.

Di sisi lain, Eni memprediksi biaya transfer antar bank saat GPN nanti akan lebih murah. Ia berharap penurunan itu bisa mencapai 50% dari biaya semula yang berkisar mulai dari Rp 4 ribu sampai Rp 7 ribu rupiah. “Kalau semakin banyak kartu, bayar (fee) banyak. Karena ada biaya yang Rp 7 ribu dan Rp 4 ribu itu harusnya akan turun. Kalau tidak, kita bikin aturannya,” kata Eni.
4 Pemain Lama Switching dalam Sistem Pembayaran

1.    PT Rintis Sejahtera (Prima) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengoperasian sistem komunikasi satelit VSAT. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1991, kini dipercaya menjadi penyedia layanan switching dan komunikasi bagi jaringan ATM BCA mulai Agustus 2000. Sampai saat ini Rintis telah beranggotakan 61 bank peserta dari berbagai jenis bank dengan layanan yang didukung lebih dari 98.000 jaringan ATM dan lebih dari 418.000 jaringan EDC di seluruh Indonesia.
2.    PT ALTO Network (ALTO) merupakan perusahaan penyelenggara jejaring ATM di Indonesia yang berdiri sejak Agustus 1993 dengan nama PT Daya Network Lestari sebelum akhirnya berubah menjadi PT ALTO Network sejak April 2008. Saat ini, bisnis ALTO telah berkembang dari shared ATM Network Business menjadi Total Solution for Banking Business.
3.    PT Jalin Pembayaran Nusantara (LINK) merupakan perusahaan prinsipal pengelola ATM yang dibentuk empat Bank BUMN antara lain BNI, BTN, BRI, dan Mandiri serta PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk.
4.    PT Artajasa Pembayaran Elektronis (ATM Bersama) merupakan penyedia layanan transaksi elektronis. ATM Bersama juga memberikan layanan yang memungkinkan nasabah suatu bank menggunakan kartu ATM untuk bertransaksi di mesin ATM bank lain. Kini, ATM bersama beranggotakan 83 bank lembaga selain bank dengan lebih dari 49.000 terminal ATM di seluruh Indonesia.
Sumber: Riset Hukumonline.

Onny menambahkan, penurunan fee transfer itu terjadi karena pemain switching sudah berbagi infrastruktur seperti contohnya penggunaan mesin ATM dan mesin EDC yang sama. Ke depan, bukan tidak mungkin deretan mesin ATM di pusat perbelanjaan akan ditemui karena dalam GPN, satu mesin ATM atau mesin EDC dapat membaca semua kartu debet yang diterbitkan bank.

“Penerapannya bertahap, 22 Juni 2017 itu tidak ‘big bang’ (atau serentak). Karena untuk bisa routing domestik, maka acquirer dan issuer harus terkoneksi karena banyak yang belum interkoneksi. Maka ada kewajiban pada Juni 2018, kalau semua terkoneksi baru dimulai routing domesitik,” katanya.
Tags:

Berita Terkait