Prof. Yusril: Gunakan Mekanisme Pengadilan Bila KPK Keberatan dengan Pansus
Berita

Prof. Yusril: Gunakan Mekanisme Pengadilan Bila KPK Keberatan dengan Pansus

Penggunaan hak angket telah dikenal dalam sistem ketatanegaraan sejak 1954. KPK masuk dalam rumpun eksekutif dan menggunakan APBN dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Prof Yusril Ihza Mahendra dan Zain Badjeber saat memberikan pandangannya di Ruang Pansus Hak Angket KPK, Gedung DPR, Senin (10/7). Foto: RFQ
Prof Yusril Ihza Mahendra dan Zain Badjeber saat memberikan pandangannya di Ruang Pansus Hak Angket KPK, Gedung DPR, Senin (10/7). Foto: RFQ
Keabsahan keberadaan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK terus menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Padahal, keberadaan Pansus Hak Angket sudah dituangkan dalam Berita Negara. Namun pandangan dari sejumlah professor menilai keberadaan Pansus Hak Angket KPK adalah tidak sah menurut hukum.

Berbeda dengan kebanyakan kalangan akademisi yang menolak keberadaan Pansus Hak Angket KPK, ahli hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra menilai keberadaan Pansus Hak Angket sah menurut hukum. Penggunaan hak angket telah dikenal dalam sistem ketatanegaraan. Era 1954, lahir UU No.6 Tahun 1954 tentang  Penetapan Hak Angket DPR. Aturan tersebut kemudian diadopsi oleh UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3).

Menurutnya, keberatan KPK mestinya dituangkan dengan tindakan hukum yakni melalui pengadilan. Setidaknya, keberadaan Pansus Angket pun dapat diuji melalui mekanisme pengadilan. Dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara hukum, KPK mestinya memberikan contoh dengan tetap menghadiri undangan Pansus nantinya.

(Baca: Aksi ILUNI UI dan Massa Antikorupsi Menolak Hak Angket)

Soal jawaban atas pertanyaan di Pansus, KPK dapat berargumen sepanjang belum ada putusan pengadilan terkait keabsahan Pansus. Lembaga antirasuah itu dapat saja tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Pansus. “Menurut saya kalau pansus tidak sah, maka KPK harus melawan lewat pengadilan. Tidak bisa KPK tidak datang karena angket tidak sah,” ujar Yusril saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus Angket di Gedung DPR, Senin (10/7).

Ia berpendapat dengan melalui mekanisme pengadilan, akan terlihat adil mengenai keabsahan Pansus Angket KPK. Selain itu, kepatuhan terhadap lembaga negara terhadap hukum memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan cara bernegara yang baik. “Selama pansus belum dibatalkan, maka sah. Jadi kita harus bernegara menjadikan hukum yang supreme. KPK sebagai institusi hukum harus patuh terhadap hukum,” ujarnya.

Yusril menjelaskan, dalam melaksanakan fungsi pengawasan, DPR dapat melakukan angket terhadap pelaksanaan UU dan kebijakan pemerintah. Tapi yang menjadi persoalan, bisa tidaknya DPR melakukan angket terhadap KPK. Menurutnya, KPK dibentuk oleh UU. Nah dalam rangka melakukan pengawasan terhadap pelaksana UU, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK. Terlebih, KPK bekerja dibiayai oleh anggaran pendapatan belanja negara (APBN).

“Keabsahan Pansus Angket adalah sah. Karena KPK dibentuk UU, maka untuk menyelidiki sejauh mana UU KPK dilaksanakan dalam praktik, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK,” ujar Yusril.

(Baca: Mantan Ketua KPK Ini Sebut Hak Angket KPK Termasuk Contempt of Court)

Ia menegaskan, KPK berada dalam posisi rumpun eksekutif. Sebab, KPK melaksanakan tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pikiran Yusril kembali ke era pemerintahan Suharto yakni saat membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban disingkat (Kopkamtib) pasca insiden G30S/PKI. Menurutnya, dalam situasi  tertentu, pemerintah dapat melakukan kewenangan yang luar biasa. Namun karena menuai banyak kritikan, Suharto pun meniadakan keberadaan Komkaptib.

Sama halnya dengan KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan luar biasa, bahkan superbody. Dalam perumusannya, keberadaan KPK diberikan kewenangan lebih, namun tidak bersifat permanen kelembagaannya kala pembuatan lembaga antirasuah belasan tahun silam. Sebab, sepanjang kepolisian dan kejaksaan sudah kuat dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap korupsi, KPK dapat ditiadakan. Faktanya, korupsi masih terus terjadi.

“Kalau sampai kapan keberadaan KPK, tidak disebutkan dalam UU. Pertanyaanya, kapan korupsi dapat berakhir, sepanjang sistemnya masih seperti ini yah korupsi akan tetap ada,” ujarnya.

(Baca: Kunjungan Pansus Angket KPK ke Lapas Dinilai Sandiwara Politik)

Anggota Pansus Hak Angket KPK Jhon Kennedy Aziz mengatakan dalam perkembangan di tengah masyarakat KPK dianggap tak dapat diangket oleh DPR. Apalagi sejumlah akademisi telah menyatakan dukungannya terhadap KPK. Bahkan, ada yang menilai hak angket KPK ilegal. Terlepas hal itu, penjelasan Yusril dianggap telah memberikan warna berbeda.

Kejar kerugian negara
Ahli hukum tata negara lainnya, Zain Badjeber, mengatakan pembentukan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor awalnya fokusnya tidak mengejar kerugian negara. Namun praktiknya kekinian, lebih mengejar kerugian negara. Ia menelisik UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidaa Korupsi (Tipikor). Menurutnya UU 3/71 diadopsi dalam UU 31/99.

Bedanya, UU 3/71 lebih mengejar kerugian negara. Sebab dengan mengembalikan kerugian negara, maka pidananya dianggap selesai. Sementara UU 31/99 pengembalian kerugian negara tidak lantas menghapus pidana. Boleh jadi pengembalian kerugian negara menjadi faktor memperingan dalam hukuman yang diberikan majelis hakim di pengadilan. Dengan kata lain, UU 31/99 kala itu jauh lebih keras ketimbang UU 3/71.

“Sehingga unsur kerugian negara disebutkan kata ‘dapat’. Jadi pembentuk KPK terkait dengan UU 31/99 ditindaklanjuti dengan UU 20 Tahun 2001 dan terbit TAP 8 Tahun 2001 (Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001) tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,” pungkas mantan politisi senior PPP itu.
Tags:

Berita Terkait