Hasil Konsultasi KPU dengan DPR-Pemerintah Tak Lagi Mengikat
Utama

Hasil Konsultasi KPU dengan DPR-Pemerintah Tak Lagi Mengikat

Melalui putusan ini, kemandirian KPU benar-benar terjamin saat membuat kebijakan dan mengambil keputusan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” dalam Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (Pilkada) terkait konsultasi KPU bersama DPR atau pemerintah. Ini artinya, setiap hasil keputusan konsultasi atau rapat dengar pendapat antara KPU dan DPR-pemerintah terkait penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan pilkada dan pemilu tidak lagi mengikat KPU.   

“Menyatakan Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang sepanjang frasa ‘...yang keputusannya bersifat mengikat’ bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Wakil Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 92/PUU/XIV/2016 di Gedung MK, Senin (10/7/2017).

Sebelumnya, Pasal 9 huruf a UU Pilkada ini berbunyi, Tugas dan wewenang KPU dalam menyelengarakan pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan dewan perwakilan rakyat, dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.”

Permohonan ini diajukan (mantan) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro bersama Komisioner KPU lain merasa dirugikan atas berlakunya pasal tersebut. Sebab, aturan ini memperlihatkan adanya keterlibatan DPR atau pemerintah yang begitu sentral dalam menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilu atau pilkada. Ketentuan ini berpotensi mengganggu dan mengancam kemandirian KPU yang dijamin Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.

Menurutnya, KPU sebagai lembaga independen/mandiri (constitutional important) yang diberi wewenang membuat aturan internal seharusnya diperlakukan sama seperti lembaga independen lainnya. Misalnya, Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia. Karena itu, Pemohon berharap Pasal 9 huruf a UU Pilkada dihapus karena bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. (Baca Juga: Kemandirian Terganggu, KPU Gugat UU Pilkada)

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Aswanto, Mahkamah beralasan guna mewujudkan pemilu yang jujur, KPU sebagai lembaga penyelenggara harus bersifat mandiri dan independen.

“KPU merupakan lembaga yang kemandiriannya dijamin dalam UUD 1945, baik kemandirian historis, sistematis, teologis, maupun antisipatif merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan guna menjamin terselenggaranya pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah, yang demokratis,” ujar Aswanto.

Aswanto menuturkan bukan tidak mungkin forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali. Hal itu dapat terjadi, ketika salah satu pihak tidak sepakat diantara fraksi-fraksi yang ada di DPR, atau antara DPR dan pemerintah, atau antara DPR dan KPU, atau antara KPU dan pemerintah. 

Keadaan demikian, frasa “yang keputusannya bersifat mengikat" telah menyandera KPU dalam melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis, sehingga kewenangan itu menjadi tidak dapat dilaksanakan karena menjadi tidak jelas keputusan mana atau apa yang harus dilaksanakan oleh KPU.

Bagi Mahkamah, peraturan KPU dan pedoman teknis demikian mutlak harus ada agar pemilu dan pemilihan kepala daerah dapat terselenggara dengan baik. “(Ketika) menemui kebuntuan demikian, ini dapat mengancam agenda ketatanegaraan yang berkelanjutan karena bergantung pada peraturan KPU dan pedoman teknis KPU tersebut.”

Selain itu, adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” secara teknis perundang-undangan menjadi berlebihan. Sebab, tanpa ada frasa itu pun apabila konsultasi dalam forum dengar pendapat tercapai kesepakatan, maka dengan sendirinya KPU akan melaksanakannya. (Baca Juga: Bawaslu Anggap RDP dengan DPR dan Pemerintah Masih Perlu)

“Adanya frasa ‘yang keputusannya bersifat mengikat’ telah menghilangkan atau setidak-tidaknya mengaburkan makna ‘konsultasi’ dalam Pasal 9 huruf a UU 10 Tahun 2016 tersebut,” ujar Aswanto.  

Menurutnya, dalam forum konsultasi, ketika tidak terjadi kesepakatan, KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD 1945 tidak boleh “tersandera” dalam melaksanakan kewenangannya dalam membuat peraturan KPU dan pedoman teknis. “Sebab lembaga inilah yang bertanggung jawab dan menjamin bahwa pemilu dan pemilihan kepala daerah terlaksana secara demokratis,” tegasnya.

Ada kepastian
Usai persidangan, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menyambut baik putusan ini karena ada kepastian tentang “konsultasi” yang diibaratkan UU Pilkada selama ini bersifat mengikat. “Nah, sekarang pemohonan kami dikabulkan dan hasil konsultasi tersebut tidak lagi mengikat. Banyak hal positif yang dapat dilihat dari putusan ini,” kata dia di Gedung MK.  

Meski begitu, kata Hadar, konsultasi tetap harus dilakukan ketika hendak menyusun aturan dan pedoman teknis pemilu atau pilkada. Hanya saja, setiap keputusan forum konsultasi tidak lagi mengikat bagi KPU. Ini artinya ketika membahas hal tersebut bersama DPR atau pemerintah dan pembahasan itu KPU tidak sependapat, KPU tidak harus mengikuti hasil pembahasan tersebut atau dapat menolak hasil konsultasi tersebut.

“Tetapi, jika kami setuju dalam pandangan forum konsultasi, KPU dalam plenonya akan menyusun dan menjalankannya. Tetapi jika tidak, DPR maupun pemerintah, tidak bisa berbuat apa-apa,” lanjutnya.

Menurutnya, melalui putusan ini, kemandirian KPU benar-benar terjamin saat membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Sebetulnya, agar lebih menjamin kemandirian KPU bisa saja Mahkamah mengabulkan permohonan uji materi untuk seluruhnya. Artinya, konsultasi tidak perlu lagi dilakukan dan cukup berkoordinasi saja, tetapi Mahkamah berpendapat lain.
Tags:

Berita Terkait