Ini Kesepakatan Asumsi Makro dalam APBNP 2017
Berita

Ini Kesepakatan Asumsi Makro dalam APBNP 2017

Defisit anggaran diperkirakan berada dikisaran 2,92 persen, sementara target penerimaan pajak turun.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ini Kesepakatan Asumsi Makro dalam APBNP 2017
Hukumonline
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) bersama dengan Komisi XI DPR menyepakatai asumsi makro ekonomi Indonesia dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2017. Komponen asumsi makro yang sebelumnya sudah di sepakati dalam UU APBN, mengalami perubahan sesuai dengan kondisi ekonomi Indonesia dan global.

“Dengan ini pemerintah bersama dengan Komisi XI menyepakati asumsi makro dalam APBNP 2017,” kata Ketua Komisi XI Melchias Marcus Mekeng sambil menutup rapat kerja bersama pemerintah dan BI, Senin (10/7).

Dalam raker tersebut, mayoritas asumsi makro mengalami perubahan. Pertumbuhan ekonomi disepakati naik dari 5,1 (APBN 2017) menjadi 5,2 persen (APBN-P). Untuk inflasi, pemerintah, BI, dan Komisi XI sepakat naik dari 4 persen (APBN 2017) menjadi 4,3 persen (APBN-P).

Selain itu, pemerintah, BI, dan Komisi XI juga menyepakati nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sebesar Rp13,400 dari Rp13.300 (APBN 2017), suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,2 persen dari 5,2 persen (APBN 2017), ICP USD 50 per barel, lifting minyak 850 ribu barel per hari, dan lifting gas 1.15 juta barel per hari setara minyak. Sementara defisit anggaran dipatok pada angka 2,92 persen. (Baca Juga: Soal Utang Swasta, DPR Sepakat Bank Indonesia Ikut Lakukan Pengawasan)

Gubernur BI Agus Martowardojo menyampaikan bahwa faktor inflasi patut untuk diwaspadai, terutama setelah pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dan kondisi harga minyak yang lebih rendah tanpa adanya penyesuaian subsidi. Namun jika kondisi inflasi sudah terkendali, lanjutnya, maka yang perlu diwaspadai adalah perkembangan ekonomi global.

“Itu (inflasi) kita ikuti terus. Dan perkembangan ekonomi luar negeri, terutama Amerika Serikat, itu juga harus diwaspadai,” kata Agus.

Terkait nilai tukar rupiah, Agus mengatakan bahwa negara-negara yang banyak menerima capital inflow sudah mulai merasakan adanya tekanan dari sisi capital outflow. Dan hal tersebut menjadi penyebab melemahnya nilai tukar rupiah. Jika mengamati nilai tukar rupiah sejak Januari-Juli 2017, angka rata-rata yang diperoleh adalah Rp13.330, sehingga penetapan nilaitukar rupiah dalam APBNP 2017 merupakan cerminan dari nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2017 ini.

“Jadi penentuan nilai tukar rupiah bukan hanya soal inflasi saja, tetapi juga mempertimbangkan capital inflow dan outflow,” terang Agus.

Sementara itu Menteri Koordinator dan Perekonomian Darmin Nasution menambahkan bahwa inflasi yang terjadi di Indonesia memiliki pola yang klasik, di mana didominasi oleh kelompok volatile food. (Baca Juga: 7 Catatan FITRA untuk APBN 2017)

“Inflasi kita sangat klasikal polanya. Selama ini inflasi didominasi oleh kelompok volatile food. Yang lain berisiko ke inflasi adm prices. Kalau adm prices tidak berubah, tinggal bagaimana volatile food berubah. Indonesia selama ini dalam waktu panjang sangat rentan dengan volatile food. Inflasi kita pernah dobel digit, selalu sumber utamanya volatile food. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang lemah, dan negara kepulauan yang tersebar satu daerah dan daerah yang lain,” kata Darmin.

Atas dasar pengalaman itu pula, lanjutnya, pemerintah sedari awal sudah siap mengendalikan volatile food. Dan pemerintah, lanjutnya, relatif mberhasil mengendalikan volatile food sehingga inflasi juga turut terkendali.

Lalu bagaimana dengan pendapatan pajak? Pemerintah sepakat menurunkan target penerimaan pajak sebesar Rp50 triliun dari total Rp1.498 triliun di tahun 2017. Menurut Darmin, memang asumsi pertumbuhan perpajakan diperkirakan naik, namun sebaliknya, perkiraan sisi penerimaan dari pajak menurun. Penurunan penerimaan pajak diprediksi berasal dari non migas, sementara penerimaan Pph migas diperkirakan mengalami kenaikan. Maka, pemerintah menurunkan target penerimaan pajak yang sebelumnya diperkirakan sebesar 16,6 persen menjadi 12,9 persen.

Anggota Komisi XI DPR Misbakhun menambahkan bahwa perubahan asumsi makro yang mayoritas mengalami kenaikan, meskipun sedikit, dari APBN 2017 merupakan bentuk optimisme pemerintah dalam menjaga iklim pertumbuhan. Ia menilai hal ini bisa menjadi penghargaan pemerintah atas mekanisme politik anggaran. (Baca Juga: Mengintip Strategi Pemerintah dalam RAPBN 2017)

“APBNP ini membangun optimisme, saya apresiasi pemerintah,” katanya.

Namun ia mengingatkan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang disepakati sebesar 5,2 persen. Dalam hal ini, lanjutnya, pemerintah harus menguatkan satu hal yakni defisit. Di saat semua asumsi dalam APBN 2017 meleset terutama dari penerimaan pajak, pemerintah justru menaikkan defisit menjadi 2,92 persen. Hal ini dinilai sangat riskan.

“Kemudian pemerintah menaikkan defisit menjadi 2,92 persen. Itu angka yan sangat riskan, target penerimaan tax udh dipangkas soalnya, jadinya pemerintah targetkan pertumbuhan pajak yang lebih rendah,” pungkasnya.

Mengenai defisit, begini penjelasan Darmin. Tiap tahun, realisasi APBN paling tinggi berada dikisaran 96-97 persen. Jika menggunakan angka 97 persen dengan anggapan penerimaan 100 persen, maka defisit berada di angka 2,68 persen. Sementara market memiliki perhitungan yang cukup pragmatis dimana tercapai atau tak tercapai target penerimaan maka risiko akan dianggap lebih rendah.

“Dibandingkan kita coba pertahankan penerimaan yang agak tinggi, tapi dalam praktiknya enggak jauh dari pertumbuhan kita sekarang,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait