Beberapa Alasan Pansus Angket KPK Dianggap Sesat
Berita

Beberapa Alasan Pansus Angket KPK Dianggap Sesat

Mulai dari personil pansus hak angket yang diisi oleh figur yang diduga terkait kasus e-KTP hingga tindakan tak logis meminta pandangan dari narapidana korupsi.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Kecaman terhadap keberadaan Panitia Khusus (Pansus) hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut. Sebelumnya sejumlah akademisi dari Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menyatakan dukungan terhadap KPK atas rencana hak angket yang akan diajukan. Kemudian para aktivis anti korupsi juga menggelar parodi untuk menyindir keberadaan pansus yang dituding akan melemahkan KPK.

Kali ini,Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari juga melakukan dukungan yang sama. Dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Senin (10/7), ia menyebut keberadaan pansus adalah sesat. Feri pun melansir beberapa poin kesesatan yang dimaksud.

Pertama, panitia khusus angket diisi oleh sejumlah figur yang diduga terlibat dalam perkara yang ditangani KPK terutama kasus korupsi pengadaan proyek KTP elektronik (e-KTP). Dengan demikian pembentukan panitia khusus hak angket tentu dapat secara nyata maupun potensial menimbulkan konflik kepentingan atau conflict of interest (CoI) karena berkaitan dengan perkara pro-justitia yang sedang ditangani KPK dan mengancam pemidanaan diri mereka.

"Terhadap kondisi CoI tersebut, pansus hak angket sudah dapat dikategorikan disqualification atau recusal atau tidak sah," ujar Feri.

(Baca: Prof. Yusril: Gunakan Mekanisme Pengadilan Bila KPK Keberatan dengan Pansus)

Untuk diketahui, Ketua Pansus hak angket KPK adalah Agun Gunandjar Sudarsa yang dalam surat dakwaan disebut menerima uang sebesar AS$1 juta kala menjabat sebagai anggota Komisi II DPR RI sekaligus Badan Anggaran (Banggar). Dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Agun mengaku pernah melihat Andi Agustinus alias Andi Narogong, pihak swasta yang diduga memberi uang, turut hadir dalam acara makan siang rutin yang diadakan Partai Golkar.

Kemudian poin kedua menurut Feri Pansus angket dibentuk dengan prosedur yang sesat. Secara khusus Pasal 199 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tegas menghendaki dilakukannya mekanisme voting agar usul penggunaan angket menjadi hak angket. Namun mekanisme ini tidak dijalankan oleh DPR sehingga Pansus yang berjalan saat ini cacat prosedur pembentukan.

"Konsekuensi sebuah tindakan lembaga negara yang tidak sesuai prosedur adalah batal demi hukum. Pansus hak angket harus dianggap tidak pernah ada karena hal itu," terangnya.

Pada 28 April 2017 lalu saat DPR RI memutuskan untuk menggulirkan hak angket, hanya ada empat fraksi yang menyetujui yaitu PDI-P, Golkar, Hanura, dan Nasdem. Sedangkan enam fraksi lainnya yang menolak PKS, Demokrat, PPP, PKB, PAN, dan Gerindra. Namun seiring berjalan waktu jumlah fraksi yang menyetujui bertambah menjadi tujuh, hanya PKS, PKB dan Demokrat yang masih konsisten menolak sedangkan sisanya yaitu PPP, PAN dan Gerindra berubah haluan menyetujui rencana tersebut.

(Baca: Aksi ILUNI UI dan Massa Antikorupsi Menolak Hak Angket)

Untuk poin ketiga, Feri mengatakan pembentukan pansus hak angket terhadap KPK telah melanggar konsep independensi lembaga antirasuah. Jika memang ada penyimpangan yang dilakukan lembaga penyelidik, penyidik, dan penuntut serta peradilan dalam lembaga kekuasaan kehakiman dikoreksi melalui putusan peradilan.

Jika KPK menyimpang dalam proses penyelidikan maka peradilan dapat mengoreksinya dalam pra-peradilan. Sedangkan jika menyimpang dalam penyidikan dan penuntutan, maka peradilan dapat mengoreksinya dengan “mengalahkan” KPK melalui putusannya. Pola demikian untuk menjamin independensi aparat penegak hukum dan menjauhkannya dari intervensi kepentingan politik.

Selanjutnya pada poin keempat, Pansus dianggap melakukan tindakan tidak logis dengan meminta keterangan terhadap narapidana kasus korupsi. "Pilihan pansus hak angket itu jelas tujuannya untuk mengumpulkan informasi berbasis kebencian kepada KPK dengan meminta keterangan orang-orang yang dihukum melalui kewenangan KPK," tutur Feri.

Hal itu, menurutnya, sama dengan meminta keterangan kepada narapidana pidana umum terhadap kinerja kepolisian, kejaksaan, dan hakim. Cara tersebut dianggap jauh dari nilai obyektif karena dikhawatirkan narapidana hanya akan mengungkap hal-hal negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum.

"Namun pilihan pansus angket itu jelas mengungkapkan bahwa tujuan pansus hanyalah untuk mematikan KPK melalui berbagai cara," imbuhnya.

Pansus memang meminta keterangan sejumlah pihak termasuk para narapidana tindak pidana korupsi yang mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Salah satu anggota Pansus Masinton Pasaribu beralasan jika pihaknya memandang semua warga negara punya hak yang sama untuk didengarkan pendapatnya. "Meskipun status mereka napi, tapi mereka perlu kita dengarkan bagaimana proses ketika menjalani pemeriksaan," pungkas politisi PDI-P ini. 

Kunjungan ini pun mendapat kritik keras termasuk dari mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Ia menyebut jika kunjungan Pansus ke Lapas Sukamiskin tidak hanya menghina lembaganya, tetapi juga pengadilan yang telah memproses perkara tersebut. Menurut Ruki dalam proses penanganan perkara korupsi, pengadilan telah melakukan proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahkan proses tersebut tak jarang hingga tahap kasasi di Mahkamah Agung yang artinya telah melewati dua jenjang pengadilan sebelumnya seperti Pengadilan Tipikor dan Pengadlian Tinggi.

"Secara pribadi saya berpendapat ini adalah contempt of court karena proses itu bukan hanya KPK tapi lewat pengadilan tingkat I, tingkat IIdan bahkan sampai MA," kata Ruki, Jumat (7/7).

(Baca: Mantan Ketua KPK Ini Sebut Hak Angket KPK Termasuk Contempt of Court)

Selain empat poin tersebut, Feri juga menganggap Pansus hak angket kesulitan membedakan profesi dari pakar hukum atau akademisi dengan advokat. Menurut Feri, sejauh ini pansus hanya mengumpulkan keterangan ahli dari pihak-pihak yang sangat pro melemahkan KPK. Beberapa ahli yang dipanggil pansus juga diragukan posisinya sebagai akademisi murni atau advokat.

"Semestinya ahli yang diundang lebih murni sebagai ahli yang menjalankan profesi akademik atau penelitian, dibandingkan ahli yang memiliki dua label sebagai advokat. Advokat tentu saja profesi mulia, tetapi profesi ini dirancang untuk berpihak pada kepentingan kliennya,” tutur pria yang juga anggota DPP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ini.
Tags:

Berita Terkait