Menaker Desak Malaysia Evaluasi Program Enforcement Card
Berita

Menaker Desak Malaysia Evaluasi Program Enforcement Card

Perlu dibenahi prosedur, akses dan biayanya.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: HOL/SGP
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: HOL/SGP
Beberapa waktu terakhir pemerintah Malaysia kembali melakukan razia besar-besaran terhadap buruh migran. Buruh migran asal Indonesia tidak luput dari ancaman razia tersebut, terutama yang tidak berdokumen lengkap. Pemerintah Malaysia membuka ruang bagi buruh migran yang dokumennya tidak lengkap untuk mengikuti program Enforcement Card (e-Kad) atau rehiring. Sayangnya, program itu dirasa belum berjalan sempurna, masih diperlukan perbaikan.

Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mendesak pemerintah Malaysia untuk mengevaluasi e-Kad. Menurutnya program itu perlu dievaluasi dalam hal prosedur, akses dan pembiayaannya. "Prinsipnya jika transformasi ilegal menjadi legal mau didorong maka prosesnya harus dipercepat, dipermudah dan biayanya dipermurah bahkan gratis. Termasuk yang pemulangan secara sukarela," katanya di Jakarta, Selasa (11/7).

Selaras itu Hanif mengatakan telah mengirim tim untuk berkoordinasi dan melakukan pembahasan informal dengan pemerintah Malaysia agar e-Kad diperbaiki. Menurutnya, selama ini pemerintah Indonesia selalu aktif melakukan diplomasi dengan pemerintah Malaysia guna membahas masalah buruh migran.

(Baca juga: Pemerintah Kesulitan Menyusun Komponen Biaya Penempatan Buruh Migran Terbaru).

Bagi Hanif pemerintah sangat berkepentingan untuk menjamin keselamatan dan memastikan hak-hak buruh migran khususnya yang tidak berdokumen lengkap dan tertangkap razia agar terjamin secara hukum. "Makanya kita minta akses ke konsuleran itu untuk memastikan semua terpenuhi. Akses ke konsuleran itu sangat penting untuk memastikan hak-hak hukum TKI dihormati, diperlakukan secara manusiawi, ditempatkan secara layak dan nantinya proses deportasinya kita minta dilakukan secara cepat," urainya.

Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM), mengusulkan pemerintah untuk membenahi persoalan ini secara struktural. Seknas JBM, Savitri Wisnuwardhani, menyebut program e-Kad yang saat ini bergulir tidak banyak membantu buruh migran karena informasi mengenai program itu tidak jelas. Prosedur dan pengurusannya rumit, jangka waktu yang diberikan sangat pendek sehingga membuat buruh migran rentan terjebak calo.

Savitri menjelaskan untuk memperoleh dokumen ketenagakerjaan resmi, seorang buruh migran harus merogoh kocek sekitar RM4.300-RM4.600 (Ringgit Malaysia). Biaya itu makin besar jika melewati jasa calo. Pemerintah Malaysia secara resmi hanya menunjuk Iman Resources untuk mengurus e-Kad bagi buruh migran tak berdokumen.

“Pemerintah Indonesia harusnya mengirimkan nota keberatan kepada pemerintah Malaysia untuk meninjau ulang dan memperbaiki sistem untuk menyelesaikan masalah pekerja migran yang tidak berdokumen,” usul Savitri.

Menurut Savitri pemerintah harus menyelesaikan masalah ini secara struktural dan melibatkan kedua negara melalui diplomatik. Misalnya, menjaling kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian bilateral. Isi perjanjian itu harus mengikat kedua negara dan ada mekanisme pengawasan. Melalui perjanjian bilateral itu pemerintah Malaysia bisa mengenakan sanksi bagi majikan atau agen di Malaysia yang melanggar isi perjanjian tersebut.

JBM mencatat pengusiran massal buruh migran tak berdokumen oleh pemerintah Malaysia sudah terjadi sejak 2002. Sejak itu ratusan sampai ribuan buruh migran dideportasi setiap tahun. Tahun 2016 ada 17.921 buruh migran yang dideportasi dari Malaysia, jumlah itu meningkat dibanding 2015 yang berjumlah 17.682 orang.
Tags:

Berita Terkait