Penolakan Permohonan Restitusi dan Tantangannya di Peradilan Pidana
Berita

Penolakan Permohonan Restitusi dan Tantangannya di Peradilan Pidana

Banyak yang bingung dan mempertanyakan, bedanya restitusi dengan denda dalam putusan pidana.

Oleh:
Fathan Qorib/RED
Bacaan 2 Menit
(dari kiri ke kanan) Anis HIdayah, Abdul Haris Semendawai, Lili Pintauli Siregar. Foto: Humas LPSK
(dari kiri ke kanan) Anis HIdayah, Abdul Haris Semendawai, Lili Pintauli Siregar. Foto: Humas LPSK
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tak surut dalam memohonkan restitusi (ganti rugi) bagi korban kejahatan dalam peradilan pidana. Bahkan, sejak awal diperkenalkan, permohonan restitusi ini sempat banyak penolakan, termasuk dari aparat penegak hukum, baik penyidik kepolisian, kejaksaan maupun hakim.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengungkapkan, mulanya banyak pihak yang bingung dan mempertanyakan, apa beda restitusi dengan denda dalam putusan pidana. Kebingungan dan pertanyaan tersebut menjadi cikal bakal munculnya penolakan atas permohonan restitusi yang diajukan.

“Ganti rugi bagi korban kejahatan dalam penerapannya mendapatkan banyak penolakan. Pengalaman LPSK, sudah dijelaskan dasar hukumnya, termasuk PP No.44 Tahun 2008, kini perlahan mulai diterima,” tulisnya dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Rabu (12/7).

Semendawai memaparkan, sesuai Pasal 1 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, restitusi dimaksudkan sebagai ganti kerugian bagi korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Sedangkan dalam PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menyebutkan, restitusi sebagai ganti kerugian kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga berupa pengembalian harta milik, ganti rugi atas penderitaan dan penggantian biaya tindakan tertentu.

Dari catatan LPSK, salah satu tindak pidana yang banyak dimohonkan restitusi adalah kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Apalagi, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO juga menyebut secara khusus mengenai restitusi bagi korban. Hanya saja muncul permasalahan lain, manakala sudah masuk ke dalam tuntutan dan dikabulkan hakim, restitusi dimaksud tidak bisa dieksekusi.

“Tetapi, ada juga beberapa kasus, saat sidang masih berjalan, restitusi sudah dibayarkan oleh pelaku,” kata dia.

(Baca: Perdagangan Orang, Korupsi dan Kekerasan Seksual Dominasi Permohonan ke LPSK)

Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar menambahkan, permohonan restitusi pada tindak pidana lain selain TPPO saat ini masih belum jelas. Beda dengan penanganan kasus TPPO, dimana restitusi sudah diatur khusus dalam UU. Sedangkan tindak pidana lain yang masih mengacu pada KUHP dan masih sulit diterapkan.

“Banyak contoh semisal kasus malapraktik di Singkawang, penganiayaan atau kasus buruh kuali di Tangerang, yang tidak ada satu sen pun restitusi dikabulkan hakim,” ungkap Lili.

Sebagai informasi, pada tahun 2016, LPSK telah memfasilitasi sebanyak 195 korban untuk mendapatkan restitusi. Mereka terbagi atas korban TPPO sebanyak 182 orang, korban kekerasan seksual 2 orang dan korban tindak pidana umum lainnya sebanyak 11 orang. Sedangkan untuk tahun 2017, LPSK memfasilitasi 33 korban kejahatan, terbagi atas TPPO sebanyak 30 orang dan pidana umum lainnya sebanyak 3 orang.

(Baca: Ingat! Korban Kekerasan Seksual Juga Punya Hak Restitusi)

Ketua Pusat Penelitian dan Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menjelaskan, tujuan dari permohonan restitusi adalah melindungi hak-hak korban kejahatan serta memiskinkan pelaku. Jika dikaitkan dengan TPPO, hal ini masuk akal lantaran TPPO termasuk kejahatan luar biasa, dimana pelaku mengambil keuntungan besar dari korbannya, hampir sama seperti korupsi.

“Untuk restitusi sudah diatur khusus dalam Pasal 48 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO,” kata dia.

Ia menyebutkan, terdapat beberapa kerugian yang diderita korban TPPO. Mulai dari kehilangan atas penghasilan, penderitaan selama menjadi korban, adanya biaya yang dibayarkan yaitu medis dan psikologis, serta kerugian immaterial lainnya. Semua hal tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi majelis hakim dalam menetapkan jumlah restitusi bagi korban TPPO.

Tantangan
Banyak cara bagi pelaku tindak pidana untuk menolak membayar restitusi. Hal itu diungkapkan Jared Kimball, perwakilan United State Department of Justice (USDOJ) Jakarta, saat bertemu pimpinan LPSK akhir tahun lalu. Menurut Jared, pada kasus pelaku pidana diminta membayar restitusi, korban harus menyertakan bukti-bukti atau dokumen aset mereka yang rusak atau hilang kepada penuntut umum. Bukti itulah yang dijadikan penuntut umum untuk meminta pengadilan menghukum pelaku membayar restitusi.

Jared, pria yang berkarir sebagai penuntut umum sekitar 20 tahun itu berkisah bahwa di Amerika Serikat saja pembayaran restitusi tak mudah dijalankan. Seorang penuntut umum harus memerhatikan dan melaksanakan hak-hak asasi korban tindak pidana. Hak-hak korban dituangkan dalam sebuah dokumen resmi yang menjadi panduan.

“Pada kasus dimana ada kesepakatan pelaku dinyatakan bersalah untuk mendapatkan pengurangan hukuman (plea bargaining), korban juga harus diberitahukan,” kata Jared.

(Baca: Banyak Alasan Pelaku Tak Bayar Restitusi)

Hanya saja, lanjut Jared, pela bargaining atau negosiasi mengenai tuntutan biasanya dilakukan sebelum persidangan dilaksanakan. Karena kalau sidang sudah dimulai, sudah tidak ada lagi negosiasi mengenai tuntutan mengingat persidangan yang sudah dilakukan memakan waktu dan biaya. “Plea bargaining ini untuk meringankan beban pengadilan tetapi harus beri solusi bagi semua pihak,” katanya.
Tags:

Berita Terkait