Sesal Terdakwa Korupsi e-KTP Tak Goyahkan Keyakinan Jaksa
Utama

Sesal Terdakwa Korupsi e-KTP Tak Goyahkan Keyakinan Jaksa

Sugiharto dianggap jaksa tak mampu membuktikan dalil pembelaannya mengenai sumber dan peruntukan uang Rp460 juta. Sementara, intervensi terhadap Irman dari sejumlah pihak tak lantas jadi alasan meringankan.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Kedua Terdakwa Pejabat Kemendagri ini, Irman dan Sugiharto saat didakwa merugikan negara sebesar Rp 2,314 triliun, karena penggelembungan anggaran dalam pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3). Foto: RES
Kedua Terdakwa Pejabat Kemendagri ini, Irman dan Sugiharto saat didakwa merugikan negara sebesar Rp 2,314 triliun, karena penggelembungan anggaran dalam pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3). Foto: RES
Meski menyesali keterlibatan mereka dalam "pusaran" korupsi proyek penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) tahun anggaran (TA) 2011-2013, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Irman dan Sugiharto mengaku tidak memiliki niat melakukan perbuatan yang didakwaan jaksa KPK.

Irmanyang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Kemendagri sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mengakutak mampu menghindarkan diri dari intervensi sejumlah pihak.Ia bahkan membenarkan jika intervensi, antara lain datang dari Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini dan DPR.

"Dengan jujur saya sampaikan bahwa saya sangat menyesal dan atas ketidakmampuan sayamenolak intervensi daribeberapapihak yang mengganggu kelancaran pelaksanaan program e-KTP yang telah mencemari niat baik saya dalam menyukseskan program e-KTP," katanya saat membacakan nota pembelaan (pledoi) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/7/2017). Baca Juga: Tersangka Baru Kasus e-KTP Segera Diumumkan

Selain itu, Irman menyesal karena tidak langsung mengembalikan uang pemberian dari Andi Agustinus alias Andi Narogong yang dititipkan melalui Sugiharto. Sebagaimana diketahui, Sugiharto adalah Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK), Kemendagri yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek e-KTP.

Mengacu surat tuntutan jaksa, Irman dianggap menerima uang sejumlah AS$573,7 ribu, Rp2,298 miliar, dan Sing$6000. Namun, Irman hanya mengakui penerimaan uang AS$300 ribu dari Andi Narogong melalui Sugiharto dan AS$200 ribu dari Sugiharto. Selebihnya, Irman tidak mengakui penerimaan uang Rp1 miliar dan ada uang yang diklaim sebagai bagian dari uang AS$200 ribu.

Irman menjelaskan, uang AS$200 ribu yang diterimanya dari Sugiharto diserahkan dan dikelola Kasubag Tata Usaha Pimpinan Ditjen Dukcapil, Kemendagri, Suciati untuk keperluan penalangan pembiayaan Tim Supervisi e-KTP. "Penalangan pembiayaan Tim Supervisi e-KTP sangat diperlukan untukkelancaran dan suksesnya proyek e-KTP," lanjutnya.

Kemudian, sambung Irman, uang AS$200 ribu yang dikelola Suciati ditukarkan secara bertahap ke dalam mata uang rupiah. Nah, dari hasil penukaran uang tersebut terdapat bagian sebesar Rp1,371 miliar. Dari uang 1,371 miliar, sebanyak Rp22,5 juta diserahkan kepada Diah dan Rp50 juta diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi.

Sama halnya dengan uang sejumlahAS$73,7ribu dan SIng$6000. Irman mengatakan, uang sejumlah AS$73,7ribu dan Sing$6000yang disebut jaksa, sebenarnya juga merupakan bagian dari uang AS$200 ribu yang dikelola oleh Suciati. Adapun uang dari pengelolaan Suciati yang terpakai untuk kepentingan pribadi Irman, hanya sejumlah Rp50 juta.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap uang yang telah dipergunakannya, Irman mengungkapkan dirinya telah menyetorkan uang AS$300 ribu dan Rp50 juta ke rekening penampung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bank Rakyat Indonesia (BRI), masing-masing pada 8 Februari 2017 dan 14 Desember 2016.

"Bahwa jumlah uang yang saya setorkan ke KPKtelah sesuai dengan hasil pemeriksaan dan petunjuk penyidik KPK, yaitu ADamanik dan Novel(Baswedan), serta telah dikonfirmasi dengan saksi-saksi terkait," ujarnya seraya berharap majelis hakim membebaskannya dari pembayaran uang pengganti dan memberikan hukuman seringan-ringannya.

Harapan serupa juga disampaikan Sugiharto. Dengan isak tangis, Sugiharto menyesali perbuatannya. Ia merasa berdosa dan malu di hadapan masyarakat Indonesia. Keluarganya pun harus menanggung malu akibat perbuatannya. "Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi atau tidak akan ikut mendukung kejadian seperti ini," ucapnya.

Sugiharto menyampaikan pula terima kasih kepada pimpinan KPK yang telah mengabulkan permohonannya untuk menjadi pelaku yang bekerja sama atau Justice Collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi melalui Surat Keputusan Pimpinan KPK No.KEP.678/01-55/06/2017 tanggal 12 Juni 2017.

Walau begitu, Sugiharto berpendapat, ada sejumlah poin dalam tuntutan jaksa yang perlu diluruskan. Terutama, mengenai pemberian uang sejumlah Rp460 juta dari Sugiharto kepada sejumlah pihak pada November-Desember 2012. Menurutnya, uang Rp460 juta tersebut bukan bersumber dari pihak-pihak terkait e-KTP.

"Berasal dari honor pribadi saya selama menjadi Direktur PIAK yang dikumpulkan sejumlah Rp230 juta, uang titipan Bapak Irman sejumlah Rp30 juta untuk diberikan kepada Bistok Simbolon (Deputi Bidang Politik dan Keamanan pada Sekretariat Kabinet) guna pengambilan surat keputusan kenaikan pangkat Bapak Irman, dan uang pinjaman sejumlah Rp200 juta. Uang pinjaman Rp200 juta sudah saya kembalikan semua," tuturnya.

Beberapa pihak yang "kecipratan" duit dari Sugiharto, seperti Ani Miryanti (Koordinator Wilayah III Sosialisasi dan Supervisi KTP Elektronik) yang menerima uang sebesar Rp50 juta (dibagikan kepada lima korwil, masing-masing Rp10 juta) pun telah mengembalikan dan menyetorkan uang ke rekening penampung KPK.

Pihak lain yang juga telah mengembalikan uang ke KPK adalah Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP) sebesar Rp25 juta, Wisnu Wibowo (Kabag Perencanaan Kemendagri) Rp30 juta, Husni Fahmi (Ketua Tim Teknis e-KTP) Rp30 juta, serta Ruddy Indarto Raden (Ketua Panitia Pemeriksa dan Penerima Hasil Pengadaan Barang dan Jasa Ditjen Dukcapil) Rp30 juta.

"Selain itu, perlu kiranya saya sampaikan ke hadapan yang mulia majelis hakim bahwa pemberian uang atas nama Heru Basuki selaku Kasubdit Pelayanan Informasi Direktorat PIAK sejumlah Rp40 juta merupakan pengembalian atas pinjaman pribadi saya kepada yang bersangkutan, dan pemberian uang kepada Didik Supriyanto selaku Sekretaris Ditjen Dukcapil sebesar Rp10 juta adalah uang perjalanan dinas yang bersangkutan," akunya.

Tak mampu membuktikan
Penyesalan dan pembelaan para terdakwa tak menggoyahkan keyakinkan jaksa KPK terhadap tuntutannya. Penuntut umum Wawan Yunarwanto mengatakan, selama persidangan, Sugiharto tidak dapat menunjukan bukti yang menguatkan dalilnya mengenai sumber uang Rp460 juta.
Wawan menegaskan, penuntut umum tetap berkeyakinan uang Rp460 juta yang dibagi-bagikan Sugiharto ke sejumlah pihak itu merupakan bagian dari e-KTP. Andaikata pun uang Rp460 juta berasal, antara lain dari honor-honor pribadi Sugiharto yang dikumpulkan selama menjabat Direktur PIAK, tetap saja peruntukannya tidak sah.

"Dia membagikan ke orang-orang, kan tidak ada tanda terima juga. Kalau itu sah, kan ada tanda terimanya. Jadi, kami tetap yakin itu bagian dari e-KTP," katanya. Baca Juga: Dalil Tuntutan “Gurita” Duit Proyek e-KTP dan Keyakinan Jaksa

Berikut rincian uang Rp460 juta yang pernah disampaikan penuntut umum dalam surat tuntutannya:
Sumber Uang Peruntukan Uang
Pada bulan November-Desember 2012 Sugiharto juga memberikan sejumlah uang kepada staf pada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sekretariat Komisi II DPR RI dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang seluruhnya berjumlah Rp460 juta terkait dengan pengusulan dan pembahasan tambahan anggaran penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik) tahun 2013.
Bahwa uang sejumlah Rp460 juta tersebut berasal dari DIPA Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil.
1. Wulung selaku Auditor pada BPK yang memeriksa pengelolaan keuangan Ditjen Dukcapil sejumlah Rp80 juta. Setelah pemberian uang tersebut BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian terhadap pengelolaan keuangan pada Ditjen Dukcapil tahun 2010.
2. Staf pada sekretariat Komisi II DPR RI yang diberikan Sugiharto melalui Dwi Satuti Lilik sejumlah Rp25 juta.
3. Ani Miryanti selaku Koordinator Wilayah (Korwil) III sosialisasi dan supervisi KTP Elektronik sejumlah Rp50 juta untuk diberikan kepada lima orang Korwil masing-masing sejumlah Rp10 juta.
4. Heru Basuki selaku Kasubdit Pelayanan Informasi Direktorat PIAK sejumlah Rp40 juta.
5. Asniwarti selaku staf pada Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sejumlah Rp60 juta.
6. Staf pada Biro Perencanaan Kementerian Dalam Negeri melalui Wisnu Wibowo dan Suparmanto sejumlah Rp40 juta.
7. Drajat Wisnu Setyawan sejumlah Rp25 juta.
8. Wisnu Wibowo selaku Kepala bagian Perencanaan Kementerian Dalam Negeri sejumlah Rp10 juta.
9. Husni Fahmi sejumlah Rp30 juta.
10. Ruddy Indrato Raden selaku Ketua Panitia Pemeriksa dan Penerima hasil pengadaan sejumlah Rp30 juta.
11. Junaidi selaku Bendahara pembantu proyek sejumlah Rp30 juta.
12. Didik Supriyanto selaku staf pada Setditjen Dukcapil sejumlah Rp10 juta.
13. Bistok Simbolon selaku Deputi Bidang Politik dan Keamanan pada Sekretariat Kabinet sejumlah Rp30 juta guna pengambilan Surat Keputusan Kenaikan Pangkat Irman.

Terkait pertanggungjawaban uang AS$200 ribu yang Irman serahkan pengelolaannya kepada Suciati untuk keperluanTim Supervisi e-KTP, Wawan menegaskan, uang itu tetap menjadi tanggung jawab Irman. Sebab, uang AS$200 ribu yang diberikan Sugiharto kepada Irman dan dikelola oleh Suciati tersebut juga merupakan bagian dari e-KTP.  

"Sumber keuangannya tidak sah, karena dapat dari Sugiharto, Sugiharto dari Andi Narogong. Tetap dari situ kan sumbernya. Kalau kemudian digunakan, Sugiharto menyerahkan uang kepada Irman, Irman menyerahkan kepada suciati untuk dikelola, itu urusan Irman. Ada pun tim supervisi itu, anggarannya kan harus dimasukan di anggaran Ditjen. Ngapain diambil dari uang-uang seperti itu? Sehingga harus dia mempertanggungjawabkan uang itu," ujarnya.

Lantas, mengenai Irman yang mengaku tidak mampu menolak intervensi dari sejumlah pihak dalam pelaksanaan proyek e-KTP, menurut Wawan, alasan semacam itu tidak dapat menjadi alasan yang meringankan. Ia berpendapat, sesuai tuntutan jaksa, salah satu alasan meringankan adalah status terdakwa sebagai JC.

Justru, Wawan menganggap keterlibatan Irman dalam korupsi proyek e-KTP bukan tanpa adanya niat sebagaimana yang disampaikan Irman dalam pembelaannya. Buktinya, setelah berkenalan dengan Andi Narogong selaku "pemodal" ijon proyek e-KTP, setiap ada kebutuhan, Irman selalu meminta kepada Andi melalui Sugiharto.

"Walaupun dia bilang tidak bisa menolak intervensi, dia tidak akan menghubungi Andi Narogong kalau dia butuh uang kan. Tapi, ini dia malah kalau butuh, dia melalui Sugiharto, dia minta. Jadi, sebenarnya dia kan sudah ikut juga, sama (dengan Sugiharto)," tuturnya.

Demikian, penuntut umum tetap pada surat tuntutannya. Begitu pula dengan para terdakwa dan pengacaranya yang tetap pada nota pembelaan. Ketua majelis hakim Jhon Halasan Butar Butar mengagendakan sidang pembacaan putusan pada Kamis, 20 Juli 2017.

Untuk diketahui, Irman dituntut dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan, sedangkan Sugiharto dituntut lima tahun penjara dan denda Rp400 juta subsidair enam bulan kurungan. Selain itu, Irman dituntut membayar uang pengganti sebesar AS$273,7 ribu, Rp2,248 miliar, Sing$6000 subsidair dua tahun, dan Sugiharto sebesar Rp500 juta subsidair satu tahun.

Penuntut umum menganggap Irman dan Sugiharto bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua, Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Akibat perbuatan kedua terdakwa bersama-sama beberapa pihak lain, negara dirugikan Rp2,314 triliun.

Banyak pihak yang disebutkan penuntut umum menerima keuntungan dalam proses penganggaran dan pelaksaan proyek e-KTP ini. Antara lain, Gamawan FauziRp50 juta dan AS$4,5 juta, Diah Anggraini AS$500 ribu dan Rp22,5 juta, Drajat Wisnu Setyawan AS$40 ribu dan Rp25 juta, dan Husni Fahmi AS$20 ribu dan Rp10 juta.

Sementara, pihak DPR yang disebut diuntungkan, antara lain Anas Urbaningrum AS$5,5 juta yang sebagian uangnya, yakni AS$400 ribu diberikan kepada Khatibul Umam Wiranu dan AS$100 ribu diberikan kepada Jafar Hafsah yang kemudian dibelikan mobil Toyota Land Cruiser. Kemudian, Melcias Marchus Mekeng sebesar AS$1,4 juta, Olly Dondokambey AS$1,2 juta, Tamsil Linrung AS$700 ribu, Mirwan Amir AS$1,2 juta, Arief Wibowo AS$108ribu, Chaeruman Harahap AS$584 ribu dan Rp20 juta, Ganjar Pranowo AS$520 ribu, Agun Gunanjar Sudarsa AS$1,047juta, Mustoko Weni AS$408 ribu, Ignatius Mulyono AS$258ribu, Taufik Effendi AS$103 ribu, Teguh Djuwarno AS$167ribu,  Miryam S Haryani AS$23 ribu, Markus Nari AS$13 ribu dan Rp4 miliar, Yasonna Laoly AS$84 ribu, Ade Komarudin AS$100 ribu, serta Marzuki Ali Rp20 miliar.

Ada pula keuntungan yang diterima sejumlah vendor penyedia barang proyek e-KTP, Manajemen Bersama Konsorsium PNRI (pemenang proyek e-KTP) sebesar Rp137,989 miliar, serta korporasi, seperti Perum PNRI Rp107,71 miliar, PT Sandipala Artha Putra Rp145,851 miliar,  PT LEN Industri Rp3,415 miliar, PT Sucofindo Rp8,231 miliar, PT Quadra Solution Rp79 miliar, dan PT Mega Lestari Unggul Rp148,863 miliar.
Tags:

Berita Terkait