Perlu Regenerasi Kepemimpinan MK
Berita

Perlu Regenerasi Kepemimpinan MK

Momentum pemilihan ketua MK tidak hanya seremonial belaka, melainkan menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki MK secara kelembagaan kedepannya.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES

Besok, Jumat 14 Juli 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) secara internal yang dihadiri seluruh hakim konstitusi untuk melakukan pemilihan ketua MK menggantikan Arief Hidayat yang masa jabatannya sebagai Ketua MK periode pertama berakhir pada Juli 2017 ini.   

Sesuai UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, setiap hakim konstitusi berhak memilih dan dipilih sebagai ketua atau wakil ketua MK melalui mekanisme musyawarah secara tertutup. Jika tidak tercapai kata mufakat, pemilihan ketua MK akan dilakukan dengan cara voting (pemungutan suara). Jika pemungutan suara putaran pertama salah satu kandidat belum memperoleh suara 50 persen suara plus satu, maka akan dilakukan pemungutan putaran kedua.

Tentunya proses pemilihan pimpinan MK menimbulkan harapan dari beberapa elemen masyarakat agar ada regenerasi kepemimpinan baru di MK. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur yang mengatakan saat ini dibutuhkan kepemimpinan MK yang baru yang memiliki masa jabatan yang lebih panjang.

“Mengingat masa jabatan hakim konstitusi Arief Hidayat akan berakhir pada tahun 2018. Maka seharusnya ada pemimpin baru yang masa jabatannya lebih panjang,” katanya di Menteng, Jakarta, Kamis (13/7/2017). Baca Juga: Arief-Anwar Pimpin MK

Dia berharap Ketua MK yang baru harus terhindar dari isu-isu pelanggaran kode etik dan perilaku, serta harus mempunyai catatan yang baik. Misalnya kasus Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), beberapa waktu lalu, Arief Hidayat sebagai ketua MK lalai melaporan LHKPN. Dari sisi kualitas, kerja-kerja persidangan yang dipimpin masa kepemimpinan Arief saat ini memakan proses waktu yang lama.

“Apalagi Mahfud MD bilang jika hakim tidak melaporkan LHKPN maka ia telah melanggar UU. Saya rasa masa kepemimpinan MK yang dipimpin Arief saat ini telah gagal menjaga kehormatan MK. Dan dia tidak layak untuk besok dipilih lagi,” harapnya.

“Di era kepemimpinan Arief, dalam praktek persidangan, hakim konstitusi ini tidak menghargai pendapat ahli dan bukti yang bagus. Mereka hanya mempertahankan argumentasi mereka yang kemudian dituangkan kedalam putusan,” kritiknya.

Isnur menyarankan sosok ketua MK yang baru memiliki harus memiliki semangat, keberanian, kreativitas, visi, keberanian dan ide-ide baru dalam mengembangkan MK kedepan agar ada warna dan semangat baru untuk memajukan MK. Seraya berharap pemilihan ketua MK yang baru harus berdasarkan pada pemilihan yang transparan dan akuntanbel agar menghasilkan ketua MK yang berintegritas.

Senada, Peneliti ICW Lalola Ester mengatakan dalam kepemimpinan MK yang diketuai oleh Arief Hidayat ada beberapa cacat dalam masa kepemimpinanya. Yaitu adanya hakim konstitusi tertangkap tangan terkait kasus suap yaitu Patrialis Akbar saat uji materi UU Pertenakan dan Kesehatan Hewan.

“Dan adanya mantan narapidana yang melakukan uji materi di MK, dan permohonnya dikabulkan oleh Mahkamah tahun 2015 terkait pembahasan yang mengatakan mantan narapidana dapat dipilih kembali menjadi kepala daerah,” ungkapnya.

Adapun pernyataan Arief hidayat yang tidak mencerminkan sebagai pejabat negara dan marwah MK. Arief pernah mengatakan bahwa MK tidak perlu diawasi, hakim konstitusi tidak perlu diawasi. “Pernyataan seperti ini sungguh tidak layak keluar dari mulut seorang ketua MK,” kata Lalola.

Peneliti Kode Inisiatif Adeline Syahda mengatakan kesembilan hakim berhak menjadi ketua dan wakil ketua MK, begitu pula Arif Hidayat yang dapat dipilih kembali menjadi ketua MK sebagaimana yang tercantum dala Pasal 4 ayat 3(a) UU No. 8 Tahun 2011 tersebut.

Kode Inisiatif sendiri memiliki beberapa catatan terkait kepemimpinan Arif Hidayat. Pertama, sepanjang tahun 2016 proses pengujian UU lebih lama dibandingkan dengan rata-rata tahun MK menguji suatu UU, dimana MK memerlukan waktu hingga 10 bulan untuk memutus permohonan pada tahun 2016. Sedangkan rata-rata selama 13 tahun MK berdiri untuk hanya membutuhkan 6,5 bulan untuk memutus permohonan

Kedua, MK kurang responsif. Dia mencontohkan pengujian Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang baru saja diputuskan bahwa hasil konsultasi KPU bersama DPR-Pemerintah tidak lagi mengikat. Menurutnya, pengambilan keputusan permohonan ini lamban diputuskan. “Seharunya permohonan pengujian pasal tersebut dapat merespon secara cepat dan tepat oleh MK menyesuaikan dengan momen pembahasan RUU Pemilu di DPR,” katanya.

Adel berharap seharusnya beberapa persoalan tersebut menjadi bahan evaluasi MK dan menentukan langkah nyata untuk membenahi persoalan yang ada. Salah satunya dengan cara menyikapi momentum pemilihan ketua MK tidak hanya seremonial belaka, melainkan menjadi momentum mencari sosok ketua MK yang komitmen mengevaluasi dan memperbaiki MK secara kelembagaan kedepannya.
Tags:

Berita Terkait