Refleksi Penetapan Perppu Ormas
Kolom

Refleksi Penetapan Perppu Ormas

Dalam setiap penetapan Perppu, senantiasa terdapat 2 persoalan pokok, yakni tolok ukur “kegentingan yang memaksa” dan tentunya materi dari Perppu itu sendiri.

Bacaan 2 Menit
Reza Fikri Febriansyah. Foto: Dokumen Pribadi
Reza Fikri Febriansyah. Foto: Dokumen Pribadi
Presiden Jokowi akhirnya menepati janjinya menetapkan Perppu No.2/2017 tentang Perubahan Atas UU No.17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Logika induktif Presiden Jokowi dalam menyikapi kegiatan Ormas tertentu yang diduga bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 sulit dipungkiri menjadi faktor dominan yang melatarbelakangi penetapan Perppu ini.

Dalam setiap penetapan Perppu, senantiasa terdapat 2 persoalan pokok, yakni tolok ukur “kegentingan yang memaksa” dan tentunya materi dari Perppu itu sendiri. Dalam persoalan tolok ukur “kegentingan yang memaksa”, Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 sejatinya telah menggeser paradigma “kegentingan yang memaksa” dari yang sebelumnya subjektivitas absolut Presiden menjadi subjektivitas limitatif, yakni sepanjang tiga syarat dalam Putusan MK tersebut terpenuhi.

Meskipun penilaian objektivitas Perppu tetaplah menjadi kewenangan DPR untuk nantinya memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu tersebut menjadi Undang-Undang sehingga pasca Putusan MK tersebut, dalam hal Presiden ingin menetapkan suatu Perppu maka ketiga syarat dalam Putusan MK tersebut harus dapat tergambar secara lebih eksplisit, baik dalam konsiderans “Menimbang” maupun “Penjelasan Umum” dari Perppu tersebut.

“Kegentingan yang memaksa” yang dideskripsikan dalam konsiderans “Menimbang” dan “Penjelasan Umum” Perppu Ormas nampak sekali didominasi oleh argumentasi pragmatis berdasarkan logika induktif Presiden Jokowi atas kekhawatirannya terhadap kegiatan Ormas tertentu yang diduga bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 hingga kemudian mengambil kebijakan untuk menetapkan norma pengaturan (regeling) dalam bentuk Perppu yang addressat norm-nya bersifat umum-abstrak dengan memuat beberapa larangan tambahan terkait kegiatan Ormas serta pemberatan sanksi administratif dan sanksi pidana.

Sehingga dengan Perppu tersebut, Presiden dapat membubarkan setiap Ormas yang menurut  subjektivitas Presiden diduga bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945, sebab Perppu tersebut menghapus pula kewenangan yudikatif dalam konteks pembubaran Ormas (Pasal 63 s.d. Pasal 80 UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan).

Substansi problematik lainnya dalam Perppu Ormas adalah penggunaan hukum pidana secara berlebihan (overcriminalization) dalam bentuk beberapa rumusan tindak pidana baru yang sebelumnya tidak ada dalam UU Ormas beserta ancaman sanksi pidana hingga penjara seumur hidup bagi setiap anggota dan pengurus Ormas yang melanggar larangan tersebut, padahal dalam perspektif consensus view of crime, konsensus (kesepakatan) masyarakat merupakan justifikasi ditetapkannya suatu perbuatan sebagai kejahatan sehingga penetapan suatu perbuatan sebagai kejahatan secara subjektif dan sepihak oleh penguasa yang ada dalam masyarakat tersebut seharusnya tidak dapat dibenarkan.

Consensus view of crimesejatinya merupakan suatu pandangan mengenai kejahatan yang berfokus pada pelindungan kepentingan mayoritas anggota masyarakat melalui instrumen hukum pidana. Secara lebih lengkap, Larry J. Siegel mengemukakan bahwa dalam perspektif consensus view of crime: “The majority of citizen in a society share common ideals and work toward a common good and that crimes are acts that are outlawed because they conflict with the rules of the majority and  are harmful to society.” (Larry J. Siegel, 2011:40) sehingga suatu perbuatan hanya dapat dikonstruksikan sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut melanggar values of the vast majority of society dan dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia.

Penetapan bahwa suatu perbuatan melanggar values of the vast majority of society hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pembahasan dan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR dalam bentuk Undang-Undang guna menjamin terwujudnya proses share common ideals and work toward a common good dalam masyarakat melalui perwakilannya di parlemen (DPR).

Konsepsi inilah yang diakomodir dalam Pasal 28J ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang…” sehingga frasa “undang-undang” norma konstitusi ini seharusnya dimaknai secara limitatif, yakni hanya “Undang-Undang” dan tidak meliputi “Perppu”.

Keikutsertaan dan persetujuan (perwakilan) rakyat dalam setiap proses pencantuman ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan sangat penting guna menjaga keseimbangan antara ius puniendi yang dimiliki pihak penguasa dan a rights not to be punished arbitrarily yang dimiliki rakyat sebagai salah satu bentuk jaminan hak asasi manusia (J.M. van Bemmelen, 1987:6).

Sehingga diharapkan terwujud suatu proses bahwa rakyat melalui perwakilannya (di parlemen/DPR) ikut serta secara aktif dalam membahas dan memberikan persetujuan terhadap jenis perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar), pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana, jenis dan bobot pidana yang akan dijatuhkan (strafsoort dan strafmaat), serta cara pelaksanaan dari pidana (strafmodus) yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Hal ini dikuatkan dalam salah satu pertimbangan hukum (ratio decidendi) Putusan MK No. 132/PUU-XIII/2015 bahwa “…Menyatakan suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang di Negara Indonesia diwakili oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden…”.

Nuansa political paranoia (Richard Wallace, 1999) dalam kadar tertentu terlihat jelas menjadi hegemoni dalam penetapan Perppu Ormas dan hal ini nampak semakin terkonfirmasi tatkala kita dihadapkan pada fakta bahwa Presiden Jokowi telah dua kali mengakui adanya “kegentingan memaksa” dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan karena pada tanggal 8 Mei 2017, Presiden Jokowi juga menetapkan Perppu No. 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan yang juga belum mendapat persetujuan DPR untuk menjadi Undang-Undang.

Penetapan dua Perppu dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan juga merefleksikan buruknya pola hubungan antara Presiden dan DPR, khususnya terkait isu-isu politik yang ada dalam Perppu tersebut, padahal kedua Perppu tersebut sama-sama ditetapkan dalam masa sidang DPR dan bukan dalam masa reses sehingga opsi membuat fast-track legislation seharusnya menjadi pilihan Presiden dan DPR untuk membuat persetujuan bersama dalam bentuk Undang-Undang yang mekanismenya sangat dimungkinan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebab meskipun Perppu secara hierarkis sejajar dengan Undang-Undang, namun keduanya merupakan 2 jenis peraturan perundang-undangan yang jelas memiliki landasan yuridis-konstitusional dan dampak politik berbeda secara signifikan.

Penetapan dua Perppu dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan jelas berpotensi menciptakan kegaduhan baru dalam konstelasi politik Indonesia. Hal ini juga merefleksikan terjadinya degradasi esensi Perppu sebagai constitutional dictatorship yang dimiliki Presiden berdasarkan Pasal 22 UUD RI Tahun 1945, sebab, beberapa Perppu di Indonesia (khususnya yang memuat ketentuan pidana-Penulis) selama ini disinyalir memang sengaja ditetapkan Presiden “sekedar’ untuk bypass menghindari perdebatan panjang di DPR sama seperti dalam hal Presiden mengajukan suatu RUU ke DPR (Jimly Asshiddiqie, 2010: 59-60).

Selain itu, Presiden juga berpotensi dinilai ‘mengidap’ inferior complex syndrome karena tidak secara gentleman memilih opsi untuk ‘berjuang’ mengajukan Ormas (beserta anggota dan pengurusnya) yang diduga bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 ke ranah yudikatif atau mengajukan konsepsi ini dalam bentuk RUU ke ranah legislatif guna mendapat persetujuan bersama dalam bentuk Undang-Undang.

Sebab, dengan memilih opsi penetapan Perppu oleh Presiden maka secara konstitusional DPR nantinya hanya memiliki hak memberikan atau tidak memberikan persetujuan bahwa Perppu tersebut layak atau tidak menjadi Undang-Undang, tanpa berhak membahas atau merevisi materi yang ada dalam Perppu tersebut sebagaimana layaknya suatu RUU dibahas dalam keadaan normal.

*)Reza Fikri Febriansyah, S.H., M.H. adalah Mahasiswa Program Doktor, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: