Ditjen Pajak Diminta Susun Aturan Terkait Beneficial Owner
Utama

Ditjen Pajak Diminta Susun Aturan Terkait Beneficial Owner

Regulasi yang mengatur terkait informasi mengenai siapa pemilik manfaat yang sebenarnya itu dipersyaratkan Global Forum on Transparency and Exchange of Information OECD dalam asesmen tahap kedua dalam rangka pertukaran informasi (exchange of information) berdasarkan permintaan (on request) yang dilakukan sekira Oktober 2017 mendatang.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Poltak Maruli John Liberty Hutagaol (tengah). Foto: NNP
Poltak Maruli John Liberty Hutagaol (tengah). Foto: NNP
Pemerintah diminta segera menyusun peraturan yang nantinya mewajibkan setiap korporasi untuk memberikan informasi mengenai siapa pemilik manfaat yang sebenarnya (beneficial owner) dari perusahaan. Hal tersebut berkaitan dengan implementasi pertukaran informasi terkait pajak (exchange of information) berdasarkan permintaan.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol, mengatakan, penyusunan regulasi terkait penerima manfaat merupakan mandat Global Forum on Transparency and Exchange of Information OECD. Regulasi tersebut akan menjadi persyaratan tambahan yang akan dinilai oleh Global Forum untuk melihat seberapa transparan Indonesia dari sisi perpajakan.

“Ini menyangkut kesiapan Indonesia menghadapi second round assessment (asesmen tahap kedua) untuk exchange of information on request, ini berdasarkan permintaan,” kata John di kantornya, Jumat (14/7).

Dalam asesmen tahap pertama tahun 2014 sebelumnya, inisiatif terkait beneficial owner ini belum muncul. Pada tahap ini global forum masih fokus meminta syarat yang menyangkut kemudahan akses informasi bagi otoritas pajak. Namun, standar tersebut berubah di mana global forum merevisi kerangka acuan dan memasukan syarat tambahan berupa ketentuan beneficial owner yang wajib dipenuhi negara peserta termasuk Indonesia pada asesmen tahap kedua.

John menambahkan, global forum akan melakukan asesmen terharap seluruh regulasi yang mengatur soal beneficial owner, artinya tak hanya regulasi bidang perpajakan semata melainkan bidang apapun sepanjang berkaitan dengan beneficial owner. Oleh karenanya, upaya pemenuhan regulasi tersebut bukan hanya menjadi perhatian Dijten Pajak maupun Kementerian Keuangan melainkan seluruh kementerian atau lembaga terkait.

“Jadi, untuk hadapi second round assessment pemerintah harus bersama-sama. Kita saling bantu membantu untuk bisa tunjukkan komitmen bahwa Indonesia adalah negara yang transparan untuk tujuan perpajakan. Jadi benar-benar kita negara yang transparan, bukan tax haven country,” kata John.

(Baca Juga: Pengungkapan Beneficial Owner ‘Pintu Masuk’ Kejar Korporasi Penghindar Pajak)

Patut diketahui, beberapa waktu lalu pemerintah telah merampungkan rancangan peraturan yang nantinya mewajibkan setiap korporasi untuk memberikan informasi mengenai siapa pemilik manfaat yang sebenarnya. Saat ini, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres tinggal menunggu tandatangan Presiden Joko Widodo.

Dihubungi terpisah, Ketua Tim Penyusun Rancangan Perpres, Yunus Husein mengatakan proses penyusunan aturan tersebut telah rampung dibahas sekira bulan Mei. Kata Yunus, sejumlah kementerian maupun lembaga terkait juga telah diundang dan menyampaikan pandangannya terkait proses harmonisasi dengan peraturan lain. Praktis, status Rancangan Perpres Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme, menunggu ‘restu’ presiden.

“Saya tidak tahu sudah diteken atau belum, tapi yang jelas sudah kita bahas dan lakukan harmonisasi. Pajak juga ikut karena ini juga ada kepentingan pajak,” kata Yunus kepada hukumonline Jumat (14/7).

(Baca Juga: Mengintip Rancangan Perpres Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi)

Mengacu pada draf Rancangan Perpres yang diperoleh hukumonline, kepentingan terkait perpajakan dalam rangka pertukaran informasi (exchange of information) tidak disebut tegas baik dalam bagian pertimbangan ataupun substansi pasal per pasalnya. Namun, John menjelaskan bahwa diskursus beneficial owner muncul berkat kerjasama antara global forum dan Financial Action Task Force (FATF). Kata John, global forum punya tujuan mendorong keterbukaan informasi untuk kepentingan perpajakan supaya wajib pajak di seluruh dunia patuh dengan aturan perpajakan yang berlaku di mana identitas wajib pajak terdaftar.

Sementara, FATF punya tujuan mendorong negera-negara untuk melawan praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme. Singkat cerita, kedua lembaga ini berkolaborasi dan mendorong keterbukaan informasi terkait beneficial owner untuk memudahkan membuka tabir atas dua bidang tersebut.

“A punya aset di Singapura. A tempatkan dana di Indonesia atas nama orang di Singapura yang notabene hanya nominee (pinjam nama), sebenarnya yang punya aset adalah A. A gunakan namanya kemudian tempatkan ke dalam portfolio di Indonesia. A dapatkan fasilitas namanya treaty benefit sehingga bayar pajaknya bisa murah atau bahkan tidak bayar pajak di Indonesia. Tindakan A gunakan nama atau orang yang ada di Singapura secara hukum dia legal ownership tapi secara ekonomi, A beneficial owner-nya,” tuturnya.

Terlepas dari hal itu, John berharap pemerintah dapat menyelesaikan instrumen hukum terkait beneficial owner mengingat kurang dari tiga bulan atau sekira Oktober 2017, global forum akan melakukan asesmen. Bila hasil asesmen tersebut buruk, tentunya Indonesia akan dikucilkan dari pergaulan internasional lantaran dianggap tidak mampu melakukan transparansi dari para penghindar pajak atau aggresive tax planning.

“Kalau tidak meningkat, kita akan ditaruh sebagai non-cooperative jurisdiction oleh lembaga internasional seperti global forum, FATF (Financial Action Task Force), dan Uni Eropa. Rating yang tertinggi adalah compliant. Minimal kita di bawah satu tingkat (dari compliant) yakni largely compliant. Tapi kita harapkan complaint,” kata John.

Selain dikucilkan dari pergaulan, Indonesia juga akan kehilangan kesempatan untuk meminta pertukaran informasi berdasarkan permintaan secara resiprokal kepada negara atau yurisdiksi mitra. Sebagai contoh, Ditjen Pajak menerima data informasi keuangan dalam rangka pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI) yang sesuai dengan standar yang ditetapkan yakni Common Report Standard (CRS). Namun, dalam hal Ditjen Pajak menilai data yang diberikan tersebut tidak lengkap, maka Indonesia berhak minta data berdasarkan permintaan (by request).

Tetapi, apabila hasil asesmen tahap kedua mendapat hasil yang buruk atau dianggap non-compliance, maka permintaan berdasarkan permintaan tersebut tidak dapat dilakukan oleh Ditjen Pajak kepada negara atau yurisdiksi mitra. “Jadi yang on request itu luas sekali (jenis permintaan datanya), kalau yang AEoI itu informasi yang diminta sudah standar (sesuai CRS). Ini tidak perlu bilateral agreement yang penting kita di-assesment terus. Kalau rating rendah maka kita akan dikucilkan,” kata John.

(Baca: Hindari Kejahatan Pajak, Indonesia-Swiss Deklarasi Persiapan Pertukaran Informasi Keuangan)

Inisiatif Serupa di Sektor Lain
Upaya mengungkap penerima manfaat yang sebenarnya juga diinisiasi sektor migas dan minerba. Hal itu tertuang dalam Standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI/ Inisiatif Transparansi dalam Industri Ekstraktif) tahun 2016. Laporan tahunan EITI yang dirilis akhir Mei 2017 itu menunjukkan satu terobosan di mana tertuang komitmen Indonesia dalam menerapkan beneficial owner.

Pemerintah Indonesia juga telah menjabarkan peta jalan (road map) transparansi beneficial ownership, di mana era keterbukaan ini dimulai sejak tahun ini kemudian pengungkapan nama, domisili, dan kewarganegaraan orang atau sekelompok orang yang mengontrol perusahaan-perusahaan khusus di industri migas dan minerba dimulai tahun 2020.

Secara garis besar, pelaksanaan peta jalan ini dibagi tiga tahap. Tahap Pertama, penentuan definisi, tingkat keterbukaan informasi, dan penentuan cara paling efektif terkait beneficial owner untuk manajemen data dan cara pengumpulan data pada tahun 2017. Tahap Kedua, penentuan kementerian atau lembaga yang bertanggungjawab dalam pelaporan beneficial owner sekaligus pengembangan kerangka institusi dan hukum pada tahun 2018. Dalam tahap ini juga akan dilakukan kajian terkait regulasi yang menghambat atau mendukung pelaksanaan serta sosialisasi aturan transparansi ini pada industri ekstraktif. Tahap terakhir, pada tahun 2019 masuk ke tahap pelaksanaan.

“Tujuan EITI ini untuk meningkatkan kepatuhan dan reputasi dari negara. Artinya ketika, bisnis tambang transpasran, maka governance akan lebih baik,” kata Peneliti dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Agung Budiono kepada hukumonline akhir Mei lalu.

Pelaksanaan peta jalan itu nantinya memang akan melibatkan sejumlah instansi, diantaranya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bappenas Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kantor Staf Presiden (KSP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Bank Indonesia (BI).

Masing-masing kementerian/lembaga juga menyiapkan kajian untuk menentukan apakah butuh payung hukum untuk pelaksanaannya. Seperti misalnya draf rancangan Perpres tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencehgan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme yang dikoordinatori PPATK jadi salah satu contoh pengajuan payung hukum pelaksanaan beneficial owner.

Kemenkumham juga sedang menunggu Keputusan Presiden (Keppres) agar pengajuan Perpres dapat segera dilakukan. Pengajuan Perpres itu dilakukan karena tidak ada pendelegasian beneficial owner di peraturan yang setingkat undang-undang. Dalam hal ini, Kemenkumham tidak bisa mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) apabila tak ada undang-undang yang memayungi beneficial owner

Selain itu, KPK juga melakukan kajian kedua yang juga berisi risk assessment pelaksanaan beneficial owner. Kajian akan menentukan beberapa hal penting seperti tingkat keterbukaan dan siapa yang dapat mengakses informasi beneficial owner. Kajian KPK diperkirakan akan selesai di bulan Agustus 2017.
Tags:

Berita Terkait