Polemik Freeport, Ini Alasan Pemerintah Tak Perlu Khawatir Asas Kesucian Kontrak
Berita

Polemik Freeport, Ini Alasan Pemerintah Tak Perlu Khawatir Asas Kesucian Kontrak

Terdapat asas Clausula Rebus Sic Stantibus yang dapat dianggap sebagai kontra posisi dari asas kesucian kontrak.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Diskusi di Indonesia for Global Justice, Kamis (13/7). Foto: DAN
Diskusi di Indonesia for Global Justice, Kamis (13/7). Foto: DAN
PT Freeport Indonesia menegaskan penolakannya terhadap perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUPK) Khusus Operasi Produksi yang ditawarkan Pemerintah Indonesia sejak 10 Februari 2017. Freeport menilai, perubahan tersebut bertentangan dengan kesepakatan yang tertuang dalam KK sehingga merupakan bentuk wanprestasi dari Pemerintah Indonesia. Karenanya Freeport mengancam akan membawa Pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional jika tidak menyelesaikan persoalan tersebut.

Peneliti HuMA, Yustisia Rahman mengatakan Pemerintah Indonesia tidak usah ragu-ragu dalam menegakkan kedaulatan negara saat berhadapan dengan Freeport McMorran. Pasalnya, perkembangan hukum investasi internasional menunjukkan adanya peluang yang menguntungkan pemerintah.

Ia menguraikan, perdebatan mengenai relasi negara dengan investasi sudah berlangsung lama dan terus berkembang, salah satunya berkaitan dengan asas kesucian kontrak (pacta sun servanda) yang selama ini digunakan investor untuk melindungi kepentingannya dalam kontrak. Padahal, terdapat asas Clausula Rebus Sic Stantibus yang dapat dianggap sebagai kontra posisi dari asas kesucian kontrak.

(Baca: Soal Freeport, Pemerintah Diminta Konsisten Tegakkan UU Minerba)

“Asas ini menyatakan bahwa sebuah perjanjian atau kesepakatan di antara bangsa-bangsa dapat dinyatakan tidak berlaku (invalid) jika perubahan situasi yang fundamental (fundamental changed circumstances) yang menyebabkan perjanjian atau kesepakatan tersebut tidak dapat diterapkan,” katanya dalam diskusi bertema “Menguji Kedaulatan Negara Terhadap Kesucian Kontrak Karya Freeport” di Indonesia for Global Justice, Jakarta, Kamis (13/7).

Selain itu, Resolution 1803 (XVII) on the Permanent Sovereignty of States over Their Natural Resources (PSNR) juga dapat dijadikan pegangan. Dua poin resolusi tersebut menyatakan, kedaulatan atas sumber daya alam dan sumber kekayaan lain di sebuah negara merupakan hak yang dimiliki oleh negara dan orang-orang yang berada di dalamnya (the right of peoples and nations). Kemudian, segala aktivitas eksplorasi, eksploitasi atau bentuk pengusahaan lainnya harus sejalan dengan aturan dan prasyarat-prasyarat yang dirasakan perlu oleh negara dan orang-orang yang ada di dalamnya.

“Kalau persoalan ini sampai ke Arbitrase Internasional, maka tinggal saling memperkuat klaim saja, pemerintah tidak perlu khawatir, sebab telah ada pula contoh kasus di mana asas Clausula Rebus Sic Stantibus juga dipertimbangkan dalam proses arbitrase,” tegasnya.

Pembicara lainnya, Gunawan dari Indonesian Human rights Committee for Social Justice (IHCS) mengungkapkan, sudah cukup kuat pondasi konstitusional untuk menegakkan kedaulatan negara dalam polemik Freeport. Menurutnya, tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Hak Menguasai Negara sudah sangat jelas, bahwa konsep itu semata-mata ditujukan untuk kemakmuran rakyat dan tidak dapat dianggap sebagai konsep kepemilikan seperti dalam hukum perdata.

(Baca: Pemerintah, Akademisi, Pelaku Bisnis, dan Aktivis Bicara Nasib Freeport)

“Renegosiasi KK PTFI seharusnya tidak hanya mengubah KK menjadi Izin Usaha Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan Khusus dan kewajiban membangun pabrik smelter, tapi juga terkait dengan pembatasan luas tanah yang dipergunakan serta rencana kegiatan dan alokasi dana tanah pasca tambang dan banyak hal lainnya,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia Global for Justice (IGJ), Budi Afandi menegaskan perlakuan khusus terhadap Freeport harus dihentikan, termasuk rencana pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan jaminan investasi yang diminta Freeport.

“Ini konyol karena peraturan tersebut tentu akan berlaku secara umum kepada perusahaan lainnya, padahal dibuat karena konflik dan negosiasi dengan Freeport,” ujarnya. Ia menambahkan, penerbitan PP tersebut akan sangat berbahaya terlebih jika nantinya mengakomodir skema penyelesaian sengketa melalu jalur arbitrase internasional.

Selanjutnya, Agung Budiono, pembicara dari PWYP Indonesia menyoroti sejumlah hal mulai dari ketertutupan pemerintah dalam persoalan Freeport. “Padahal sangat penting untuk membuka dokumen kontrak dan proses serta hasil negosiasi,” tegasnya.

Ia juga memaparkan sejumlah temuan BPK terkait dugaan pelanggaran yang dilakukkan Freeport. Termasuk mengenai keputusan pengadilan pajak yang telah memenangkan Pemda Papua yang hingga saat ini belum terlaksana.

Sementara itu, Ahli Hukum Internasional, Irfan Hutagalung selaku pengulas materi menekankan pentingnya pemerintah untuk hati-hati dalam penyelesaian konfllik. Menurutnya, asas kesucian kontrak tidak begitu saja dapat diabaikan, lantaran dibutuhkan perubahan situasi fundamental/fundamental changed circumstances untuk keberlakuan asas Clausula Rebus Sic Stantibus.

(Baca: Langkah Pemerintah Terbitkan IUPK Sementara Freeport Dikritik)

Atas dasar itu, ia menilai, pilihan paling baik saat ini adalah berupaya menyelesaikan sengketa melalui negosiasi. “Perubahan situasi fundamental ini adalah sesuatu yang tidak boleh di-create oleh kedua pihak yang bersengketa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait