Divonis 4 Tahun Lebih, Mantan Deputi Bakamla Minta KPK Tangkap Ali Fahmi
Berita

Divonis 4 Tahun Lebih, Mantan Deputi Bakamla Minta KPK Tangkap Ali Fahmi

Selain menerima putusan, Eko Susilo meminta KPK menangkap staf khusus Kepala Bakamla (Arie Soedewo), Ali Fahmi. Sebab, dalam dakwaan Ali Fahmi disebut sebagai orang yang pertama mengenalkan Fahmi Darmansyah dalam pengadaan proyek "satelite monitoring".

Oleh:
Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Jaksa mendakwa Eko Susilo Hadi menerima hadiah AS$10.000, EUR10.000, Sing$100.000, dan AS$78.500 dari terdakwa Fahmi Darmawansyah untuk memenangkan PT Melati Technofo Indonesia pada pengadaan monitoring satelit di Bakamla tahun anggaran 2016.
Jaksa mendakwa Eko Susilo Hadi menerima hadiah AS$10.000, EUR10.000, Sing$100.000, dan AS$78.500 dari terdakwa Fahmi Darmawansyah untuk memenangkan PT Melati Technofo Indonesia pada pengadaan monitoring satelit di Bakamla tahun anggaran 2016.
Mantan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) Eko Susilo Hadi divonis empat tahun tiga bulan penjara, denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan karena menerima suap Rp2,3 miliar.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Eko Susilo Hadi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primer," kata ketua majelis hakim Yohanes Priana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (17/7/2017) seperti dikutip Antara.

Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Eko divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan. Baca Juga: Penyuap Proyek Bakamla Dituntut 2 Tahun Bui

Dalam putuannya, Majelis hakim yang terdiri atas Yohanes Priyana, Ibnu Basuki Widodo, Diah Sisi Basariah, Sofialdi dan Sigit Herman Binaji juta tidak mengabulkan permintaan Eko sebagai pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator).

"Permintaan terdakwa sebagai justice collaborator ternyata sampai proses penuntutan tidak ada tindak lanjutnya, kaitan permintaan tersebut majelis hakim telah dipertimbangkan lebih lanjut sehingga permintaan itu tidak dapat diterima," kata hakim Sofialdi.

Menurut Majelis, Eko terbukti menerima 88.500 dolar AS (Rp1,2 miliar), 10 ribu euro (Rp141,3 juta) dan 100 ribu dolar Singapura (Rp980 juta) dengan nilai total sekitar Rp2,3 miliar dari Direktur PT Merial Esa dan pemilik PT PT Melati Technofo Indonesia.

Penerimaan uang yang dilakukan Eko berawal dari arahan atasannya yakni Arie Soedewo selaku Kepala Bakamla yang menyampaikan adanya jatah 15 persen dari nilai kontrak pengadaan satelit monitoring yang dimenangkan PT Melati Technofo Indonesia dan dari jatah 15 persen tersebut sebesar 7,5 persen akan diberikan kepada pihak Bakamla.

Penyampaian Arie tersebut terjadi pada Oktober 2016 saat Eko dipanggil ke ruangan Arie selanjutnya Eko memanggil Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yaitu Bambang Udoyo untuk memanggil PT Melati Technofo Indonesia selaku pemenang pengadaan monitoring satelit untuk menghadap.

Pada 9 November 2016, bagian operasional PT Merial Esa sekaligus orang kepercayaan Fahmi yaitu M Adami Okta agar datang ke kantor Bakamla. Saat itu Eko menanyakan "fee" sebesar 7,5 persen dari nilai kontrak karena PT Melati Technofo Indonesia telah dimenangkan dalam pengadan "satellite monitoring", Adami lalu mengatakan akan memberikan 2 persen lebih dulu.

Eko melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Ari Soedewo kemudian Ari Soedewo memberikan arahan agar membagikan kepada Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Nofel Hasan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bambang Udoyo masing-masing sebesar Rp1 miliar sedangkan sebesar Rp2 miliar untuk Eko.

Pada 11 November 2016, Adami kembali bertemu dengan Eko dan mengingatkan untuk memberikan 2 persen dari total 7,5 persen. Selain itu Eko meminta uang operasional sebesar 5 ribu dolar AS dan 5 ribu euro, namun Adami menawarkan jumlah lebih besar yaitu 10 ribu dolar AS dan 10 ribu euro, dan Eko menyetujuinya.

Pada 14 November, Adami datang ke kantor Bakamla untuk menyerahkan uang sejumlah 10 ribu dolar AS dan 10 ribu dolar euro berikut kertas catatan kecil mengenai perincian pengeluaran uang sebagai bagian 7,5 persen jatah Bakamla, uang itu diterima sendiri oleh Eko.

Selanjutnya pada 14-20 November 2016 saat Eko meninjau pabrik Rohde and Schawarz di Jerman bersama Adami dan Hardy Stefanus yang bekerja sebagai marketing/operasional PT Merial Esa. Eko mengingatkan "fee" untuk Bakamla agar diserahkan sepulang dari Jerman yaitu untuk Eko Rp2 miliar dan untuk Bambang dan Nofel masing-masing Rp1 miliar.

Uang lalu diberikan pada 14 Desember 2016 oleh Adami dan Hardy di kantor Eko. Pada pertemuan itu Eko menerima penyerahan uang dari Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus sebesar 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS dalam amplop coklat tidak lama, petugas KPK melakukan penangkapan.

"Sehingga unsur menerima hadiah terpenuhi dalam diri terdakwa," tambah hakim Sofialdi.

Eko kemudian mengembalikan uang 10 ribu dolar AS dan 10 ribu euro, sedangkan uang senilai 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS disita KPK saat Operasi Tangkap Tangan. Baca Juga: Arahan Atasan Tak Loloskan Pejabat Bakamla dari Tuntutan Penjara

Menerima putusan
Terhadap putusan itu, Eko Susilo langsung menerima vonis. "Hasil konsultasi dengan penasihat hukum dan pendirian saya sendiri, saya menerima putusan yang dibacakan. Akan saya jalani, semoga ini menjadi pelajaran buat saya supaya ke depannya lebih baik lagi. Saya tidak banding, saya terima," kata Eko usai persidangan.  

Sedangan jaksa penuntut umum KPK masih melakukan pikir-pikir selama 7 hari. Terkait perkara ini, Adami dan Hardy sudah divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan subsider 6 bulan kurungan sedangkan Fahmi divonis 2 tahun dan 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan.

Eko Susilo berharap agar KPK dapat menangkap staf khusus Kepala Bakamla, Ali Fahmi. "Saya berharap dia ditangkap dan disidangkan, itu urusan KPK," pinta Eko Susilo.

Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi dalam dakwaan disebut sebagai orang yang pertama mengenalkan Fahmi dalam pengadaan proyek "satelite monitoring". Ali adalah staf khusus kepala Bakamla Arie Soedewo, Ali yang juga politisi PDI-P itu menjadi narasumber bidang perencanaan anggaran dan bertemu Fahmi pada Maret 2016.

Pada saat itu, Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk 'main proyek' di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi harus memberikan "fee" sebesar 15 persen dari nilai pengadaan. Ali Fahmi lalu memberitahukan pengadaan "monitoring satellite" awalnya senilai Rp400 miliar dan Ali meminta uang muka 6 persen dari nilai anggaran tersebut.

Fahmi lalu memerintahkan dua anak buahnya sebagai marketing/ operasional PT Merial Esa Hardy Stefanus dan bagian operasional PT Merial Esa sekaligus orang kepercayaan Fahmi M Adami Okta untuk memberikan enam persen dari Rp400 miliar yaitu Rp24 miliar ke Ali Fahmi pada 1 Juli 2016 di hotel Ritz Carlton Kuningan sehingga PT Melati pun ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan "monitoring satellite" pada 8 September 2016 dengan anggaran total Rp222,43 miliar. Baca Juga: Terbukti Korupsi Suami Artis Inneke Divonis 2 Tahun dan 8 Bulan Bui

Berbagai fraksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) juga disebutkan bahwa peruntukan uang sebesar enam persen dari nilai proyek satmon sebesar Rp400 miliar yang diberikan kepada Ali Fahmi alias Fahmi Al Habsyi adalah untuk mengurus proyek melalui Balitbang PDI Perjuangan Eva Sundari. Kemudian anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Bertus Merlas, anggota Komisi I DPR RI dari fraksi Partai Golkar Fayakun Andriadi, Bappenas dan Kementerian Keuangan.

Namun sampai hari Senin, keberadaan Ali Fahmi belum diketahui KPK. Selain Ali Fahmi, Eko juga mengaku Kabakamla Arie Sudewo yang memerintahnya untuk menerima uang. "Pak Arie saya hanya diperintah untuk menerima ini. Itu saja," tambah Eko singkat.
Tags:

Berita Terkait