Komisi III DPR Sebut Terbitnya Perppu Ormas Karena Polri Tidak Tegas
Berita

Komisi III DPR Sebut Terbitnya Perppu Ormas Karena Polri Tidak Tegas

Polri mengaku kesulitan menindak Ormas yang dinilai bertentangan Pancasila lantaran belum memenuhi unsur “..menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda” dalam Pasal 107 UU No. 27 Tahun 1999.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Usul pembubaran ini karena menilai kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam UU Ormas.
Usul pembubaran ini karena menilai kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam UU Ormas.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) masih terus menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Kini, kalangan parlemen menyebut terbitnya Perppu Ormas tersebut lantaran Polri, sebagai aparat penegak hukum dan penjaga ketertiban umum, dinilai tidak bertindak tegas.

“Kenapa Kapolri selama ini diam. Kalau institusi kepolisian tidak diam atau mendiamkan sebagai kejahatan, kalau tidak didiamkan maka Perppu ini tidak terbit. Kalau Polri bertindak tegas terhadap Ormas yang bertentangan dengan Pancasila, maka Perppu ini tidak terbit,” ujar Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman dalam rapat kerja dengan Kapolri di Gedung DPR, Senin (17/7/2017).

Benny memaklumi terbitnya Perppu dalam rangka melakukan penataan terhadap Ormas yang dianggap berseberangan dan bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Bahkan, pernyataan Presiden Jokowi dipandang sebuah konsiderans. Semestinya, ketika presiden membuat pernyataan adanya Ormas yang bertentangan dengan Pancasila, Polri segera bertindak tegas. Baca Juga: Menguji Ketepatan Asas Contrarius Actus dalam Perppu Ormas

“Ada pihak pula, lantaran belum adanya payung hukum dalam menindak tegas Ormas yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Makanya, Perppu Ormas dianggap sebagai jalan pintas dan sempurna untuk membubarkan Ormas yang bertentangan ideologinya dengan Pancasila,” kata Benny.  

Menurut Benny, sedari awal mestinya bertindak terhadap Ormas yang dianggap bermasalah karena payung hukum menindak tegas Ormas sudah diatur jelas dalam UU Ormas. Selain itu, UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara juga sudah mengatur gamblang.

Benny merujuk Pasal 107 yang menyebutkan, Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

“Presiden bikin Perppu tidak baca dulu. UU yang ada tidak dilaksanakan, malah bikin Perppu. Saya tidak tahu siapa yang kasih masukan ke presiden,” sindirnya.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menambahkan ketentuan Perppu yang menghapuskan mekanisme keberatan melalui pengadilan justru meletakan beban berat ke pundak Polri melalui Pasal 82A Perppu Ormas. Karena itu, dari aspek hukum pidana, Perppu Ormas semestinya dikritisi. Baca Juga: Mekanisme Peradilan Dihapus, Perppu Ormas Dinilai Sewenang-Wenang

Menurut dia, Perppu Ormas semestinya disinkronisasi dengan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terlebih dahulu yang sedang dibahas antara DPR dengan pemerintah. Misalnya, terkait kejahatan penistaan agama ancamannya tinggi dalam KUHP. Nah dalam RKUHP rumusannya sudah diperbaki dengan ancaman pemidanaan hukuman menjadi dua tahun. “Ini Perppu akan menjadi pembahasan (serius) di DPR,” ujarnya.

Menanggapi cecaran Benny dan Arsul, Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah mempelajari Perppu termasuk UU 27 taun 1999. Dia menyoroti Pasal 107 b UU No. 27 Tahun 1999, terutama frasa “..menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda”. Apabila tidak terdapat satu dari ketiga unsur tersebut, pemerintah tak dapat membubarkan ormas.

Dalam kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kata jenderal polisi bintang empat itu,  sepanjang aksi-aksinya selalu tertib dan tidak menimbulkan kerusuhan. Menurutnya aksi yang dilakukan HTI terbilang cerdas. Dengan begitu, aparat kepolisian tidak dapat menerapkan Pasa 107 b UU No. 27 Tahun 1999. “Mereka (HTI) smart, tidak ada kerusuhan. Jadi, kami lihat kalau tidak ada unsur kerusuhan, kita tidak bisa proses hukum,” katanya.

Sensitif
Persoalan agama merupakan hal yang amat sensitif. Makanya kepolisian amatlah berhati-hati. Menurutnya, semua bergantung terhadap kepemimpinan dari orang nomor satu di Indonesia. Nah, Tito melihat Presiden Jokowi berani bersikap dengan menandantangani Perppu ormas untuk melakukan langkah gradual dan tegas. Baca Juga: Terbitnya Perppu Ormas Menuai Kritik

“Meski belum ada kerusuhan yang dilakukan dalam setiap aksinya, polisi dapat membubarkan sepanjang tak ada unsur dalam Pasal 107 b UU No. 27 Tahun 1999, cukup melalui Perppu Ormas. Jokowi berani tanda tangani Perppu ini dan berani ambil resiko. Ini menunjukan strong leadership,” pujinya.

Lebih lanjut mantan Kapolda Metro Jaya itu melanjutkan Polri bergerak ketika ada kepemimpinan yang kuat. Sepanjang Presiden memiliki kepemimpinan yang kuat, Polri pun akan mengikutinya. “Kenapa polisi tidak bertindak, tergantung politik leadership. Kalau atasnya kenceng, saya akan kenceng juga. Sudah ada Perppu, Polri akan laksanakan juga apapun resikonya. Soal (rongrongan) Pancasila, Polri akan berada di garis depan,” katanya.
Tags:

Berita Terkait