Pasca Pencabutan Wewenang Executive Review atas Perda
Kolom

Pasca Pencabutan Wewenang Executive Review atas Perda

Mengingat kualitas Perda Kab/Kota masih jauh dari kondisi ideal maka MA selayaknya harus segera membenahi sisi pedoman hukum acara, daya eksekusi putusan, penguatan dari sisi kualitas putusan dan penguatan kapasitas hakim.

Bacaan 2 Menit
Mohamad Yudha Prawira. Foto: Istimewa
Mohamad Yudha Prawira. Foto: Istimewa
Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 137/PUU-XIII/2015 dan 56/PUU-XIV/2016 tentang pencabutan kewenangan pemerintah untuk membatalkan (executive review) peraturan daerah (Perda) berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan permasalahan di daerah. Sebelumnya, berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang executive review dimiliki oleh Gubernur dalam membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam membatalkan Perda Provinsi.

Kewenangan tersebut pada dasarnya sudah dimiliki pemerintah sejak era orde baru melalui UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah hingga era reformasi saat ini melalui UU 22/1999, UU 32/2004, UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun setelah sekian lama pemerintah mengemban wewenang tersebut, kini pembatalan perda hanya dimiliki lembaga judicial semata yakni Mahkamah Agung (MA).

Masih terngiang di telinga kita, pada pertengahan tahun 2016 lalu, Kemendagri sebenarnya telah memperlihatkan betapa buruknya kualitas regulasi di daerah. Kemendagri menerbitkan daftar regulasi daerah bermasalah yang terdiri dari 1.765 Perda/Perkada (Peraturan Kepala Daerah) tingkat Kabupaten/Kota dan 1.266 Perda/Perkada tingkat Provinsi.

Demikian halnya dengan kajian yang telah dilakukan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang regulasi daerah hingga awal tahun 2017. KPPOD menemukan sebanyak 547 Perda/Perkada bermasalah dari 1.082 yang telah dikaji. Kondisi demikian tentu mencerminkan kualitas regulasi di daerah masih jauh dari harapan pemerintah apalagi bagi masyarakat daerah itu sendiri.

Setelah terbitnya dua putusan MK, upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum di daerah akan menjadi sangat terhambat. Meskipun pencabutan executive review hanya terhadap produk hukum perda (tidak termasuk perkada) namun kini harapan untuk memberikan kepastian hukum atas perda akan mengarah kepada MA. MA mau tidak mau harus mengemban tugas penting ini sendirian. Adapun di dalam tulisan ini, terdapat lima catatan mengenai permasalahan utama yang terjadi pasca pencabutan executive review atas perda dan menyerahkan semata kewenangan pembatalan perda kepada MA.

Pertama, dengan tidak mengadakan persidangan penyelenggaraan judicial review (pengujian peraturan perundang-undangan) MA berpotensi melanggar asas keterbukaan dan asas partisipatif hingga pada akhirnya berpotensi pada rendahnya kualitas putusan. Perlu dipahami bahwa proses  judicial review di MA selama ini berbeda dibandingkan dengan praktik  judicial review di MK. Meskipun dua lembaga ini memiliki kewenangan judicial review atas peraturan perundang-undangan--MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan MK menguji undang-undang terhadap UUD—namun keduanya memiliki hukum acara yang berbeda.

Proses judicial review di MK dilalui dengan adanya proses persidangan dengan menghadirkan saksi-saksi, ahli dan pihak terkait, sedangkan proses pengujian di MA sama sekali tidak dilakukan melalui proses persidangan. Tanpa adanya persidangan judicial review di MA maka tentu akan melanggar asas keterbukaan, tidak memberikan kesempatan kepada para pihak (Pemda dan Pemohon) untuk mengajukan ahli dan tidak ada wadah untuk memperjuangkan argumen pembelaannya masing-masing. Kondisi demikian dikhawatirkan akan berdampak terhadap kualitas putusan MA itu sendiri atas pembatalan perda-perda bermasalah.

Kedua, daya eksekusi putusan MA atas judicial review sangat rendah. landasan hukum MA dalam melakukan pengujian hanyalah Perma 1/2011 tentang hak uji materiil. Adapun di dalam peraturan tersebut, terdapat ketentuan yang melemahkan eksekusi putusan MA itu sendiri yakni dengan memberikan waktu 90 hari kepada pejabat penerbit peraturan untuk membatalkan sendiri peraturan yang telah dibatalkan MA (Pasal 8 ayat (2) Perma 1/2011). Panjangnya waktu yang diberikan oleh MA kepada Pemda untuk membatalkan peraturannya dapat menimbulkan kerugian bagi pemohon jika ternyata masih diberlakukan selama 90 hari pasca-putusan MA.

Jika dibandingkan dengan proses executive review, hal ini tentunya tidak terjadi. Pembatalan perda dilakukan pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur/Kemendagri. Dalam menjalankan wewenangnya, pemerintah memiliki daya eksekusi putusan yang lebih kuat dari MA. Berdasarkan UU 23/2014 jo. Permendagri 80/2015, Pemda hanya diberikan batasan waktu selama tujuh hari untuk menindaklanjuti SK pembatalan dan dapat dikenakan sanksi berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangan selama tiga bulan.

Bahkan lebih lanjut, terkait dengan pembatalan Perda Pajak dan Retribusi, Pemerintah dapat mengenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU (Dana Alokasi Umum) dan/atau DBH (Dana Bagi Hasil) kepada Pemda terkait. Jika dibandingkan dengan daya eksekusi putusan MA, tentu executive review memiliki daya eksekusi yang jauh lebih kuat dalam memberikan kepastian hukum di daerah.

Ketiga, dengan menempatkan MA sebagai satu-satunya pihak yang dapat membatalkan Perda Kabupaten/Kota,maka MK menempatkan area konflik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Potensi konflik kebijakan antara pusat dan daerah tidak akan dapat terhindarkan jika Pemda membuat kebijakan yang nyata-nyata bertentangan dengan kebijakan pusat.

Pemerintah pusat kemudian hanya mampu menggugat Pemda melalui MA. Kondisi demikian tentunya sangat tidak lazim terjadi di Negara Kesatuan yang mengedepankan konsep otonomi daerah. Konsep yang masih menekankan adanya peran control dari Pemerintah Pusat terhadap Daerah.

Keempat, pembatalan perda hanya melalui MA berpotensi berjalan tidak efektif. Bagaimana tidak? Ke depannya pemohon yang mau tidak mau harus berkonflik secara terbuka dengan Pemda di ranah pengadilan. Hal demikian tentunya sangat tidak menguntungkan terutama bagi pelaku usaha di daerah. Pelaku usaha akan cenderung menghindari permasalahan yang menjadi perhatian publik karena pentingnya menjaga nama baik. Selain itu, pelaku usaha disisi lain juga membutuhkan hubungan baik dengan Pemda (terutama pada aspek izin dan perpajakan).

Jika harus berkonflik dengan Pemda secara terbuka maka gugatan melalui MA bukanlah pilihan yang tepat bagi pelaku usaha. Selama ini pelaku usaha cenderung lebih memilih pendekatan melalui jalur executive yakni pembatalan perda melalui Gubernur/Kemendagri. Hal ini jauh lebih konkret dan menghindari konflik terbuka dengan Pemda.

Kelima,menempatkan MA sebagai satu-satunya lembaga yang menguji perda dapat berpotensi terhambatnya pengawasan terhadap perda-perda ex-post (setelah diundangkan). Sifat MA yang pasif (menunggu permohonan) dalam melihat perda-perda bermasalah akan menghambat pengawasan perda secara menyeluruh di tahap ex-post.

Meskipun di dalam putusannya, MK menekankan pentingnya pengawasan pemerintah atas Perda Kab/Kota ditahap ex-ante (sebelum diundangkan) namun MK mengabaikan proses pengawasan pada tahap ex-post. Peran eksekutif yang selama ini cenderung aktif mengkaji perda-perda bermasalah di tahap ex-post kini tidak akan terjadi lagi. Hanya terdapat MA yang kemudian melakukan pengawasan Perda secara pasif dengan menunggu permohonan dan tidak melakukan pengawasan secara menyeluruh.

Dengan demikian, mengingat kualitas Perda Kab/Kota masih jauh dari kondisi ideal maka MA selayaknya harus segera membenahi kewenangannya. Rekomendasi perbaikan atas penegakkan hukum di daerah ke depan harus mengarah kepada MA. Terutama pada sisi pedoman hukum acara, daya eksekusi putusan, penguatan dari sisi kualitas putusan dan penguatan kapasitas hakim itu sendiri.

*)Mohamad Yudha Prawira adalah Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: