Pemerintah Tolak Lanjutkan Pembahasan RUU Perkelapasawitan
Utama

Pemerintah Tolak Lanjutkan Pembahasan RUU Perkelapasawitan

Sebanyak 14 bab atau 82 persen dari RUU Perkelapasawitan tidak ada perbedaan sehingga Pemerintah menilai tidak ada substansi baru yang perlu dituangkan dalam bentuk UU.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Menko Perekonomian Darmin Nasution. Foto: RES
Menko Perekonomian Darmin Nasution. Foto: RES
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan sikapnya terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan yang diinisiasi oleh DPR. Dalam rapat kerja Badan Legislasi DPR yang mengagendakan harmonisasi pembahasan RUU Perkelapasawitan dengan perwakilan pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menolak urgensitas RUU Perkelapasawitan.

“Berdasarkan kajian komprehensif yang telah kami lakukan dan setelah berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan, pemerintah sampai pada kesimpulan belum dibutuhkan adanya UU Perekelapasawitan,” ujar Darmin di ruang sidang Baleg, Senin (17/7).

Menurut Darmin, pemerintah menilai konsep RUU Perkelapasawitan yang disiapkan oleh DPR belum memenuhi syarat-syarat penyusunan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ia mempertanyakan ada tidaknya kekosongan hukum terkait tata kelola industri perkelapasawitan, sehingga DPR merasa perlu adanya Undang-Undang Perkelapasawitan.

”Di mana adanya kekosongan hukum sehingga perlu dibuatnya suatu Undang-Undang baru?” tanya Darmin. (Baca Juga: Akan Ada Ketentuan Redefinisi Hutan dalam RUU Perkelapasawitan)

Lebih lanjut, Darmin memaparkan pertimbangan lain dari pemerintah terkait perlu tidaknya pembahasan RUU Perkelapasawitan dilanjutkan. Darmin menilai secara substansi UU Perkelapasawitan belum dibutuhkan karena telah ada beberapa undang-undang yang terkait dengan pengaturan tata kelola industri sawit, antara lain UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 

“Kalau kita cermati RUU ini, sebagian besar substansi UU Perkebunan di muat dengan sedikit perubahan di dalam RUU yang baru.” Kata Darmin di hadapan anggota Baleg.

Selain UU Perkebunan, menurut Darmin, ketentuan dalam RUU juga telah diatur dalam UU No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, ketentuan tentang hilirisasi dan pengolahan lebih lanjut. Kemudian juga telah diatur dalam UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, serta UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.  

“Selanjutnya kalau kita lihat lebih dalam, dari 17 bab dan 166 pasal RUU ini, sebenarnya hanya terdapat 1 bab atau 6 persen lebih kurang secara kuatitas yang berbeda secara signifikan dengan UU yang sudah ada,” terang Darmin.

Darmin juga merinci, terdapat 2 bab atau kira-kira 12 persen secara kuantitatif yang sedikit berbeda. Sementara 14 bab lainnya atau 82 persen tidak ada perbedaan sehingga Pemerintah menilai tidak ada substansi baru yang perlu dituangkan dalam bentuk UU. (Baca Juga: Giliran Serikat Pekerja Kelapa Sawit Tolak Pembahasan RUU Perkelapasawitan)

Terkait usulan pembentukan Badan Perkelapasawitan yang diatur dalam RUU, Darmin menjelaskan bahwa telah ada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit sebagai pelaksana UU Perkebunan yang kurang lebih berfungsi untuk, mendukung kilirisasi industri kelapa sawit; melakukan pembiayaan peremajaan kelapa sawit; mendukung riset dan pengembangan SDM; mendukung promosi, pembangunan sarana dan prasarana, bahkan untuk promosi dan mengahadapai kampanye negatif negara maju.

“Sehingga usulan pembentukan badan perkelapasawitan yang diusulkan dalam RUU malah bukan hanya overlap tapi juga mengambil fungsi dari BPDP kelapa sawit. Bahkan skema pengelolaan dan pembiayaan yang diusulkan (untuk) Badan Perkelapasawitan, identik dengan skema pembiayaan dan penggunaan dana BPDP Kelapa Sawit,” tegas Darmin.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menyatakan, saat ini pengaturan budi daya perkelapasawitan tidak hanya didasarkan kepada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, namun juga sangat erat dengan beberapa UU yang pengaturannya mencakup substansi beberapa hal. (Baca Juga: 7 Catatan Kritis Aktivis Lingkungan Terhadap RUU Perkelapasawitan)

Ia merinci, untuk penyediaan lahan mengacu kepada UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Untuk penanaman modal diatur dalam UU No 25 Tahun 2007. “Usaha perkebunan juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan yang substansinya diatur dalam UU No.23 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup,” terang Andi.

Selanjutnya, Andi memaparkan substansi UU perkebunan telah mengatur berbagai aspek antara lain, terkait perencanaan, prasarana, pembiayaan, penanaman, cara melakukan budidaya perkebunan, pengelolahan, dan pemasaran hasil, serta penelitian dan pengembangan SDM, sistem data, informasi, peran masyarakat dan pembinaan serta pengawasan.

Andi menjelaskan, ada beberapa pasal amanat dari UU No 39 tahun 2014 telah ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pertanian yaitu, 4 Peraturan Pemerintah yang harus diterbitkan, meliputi perijinan usaha perkebunan, perlindungan wilayah geografis perkebunan spesifik local, dan penghimpunan dana usaha perkebunan.

“Telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2009 tentang Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokal dan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2015 serta 10 Permen pertanian lainnya,” urai Andi.

Andi menegaskan, terkait dengan perlidungan usaha perkebunan, Undang-Undang No.39 Tahun 2014 dan beberapa regulasi terkait yang sudah memadai untuk menciptakan iklim usaha yang berkepastian. “Oleh karena itu kami berkomitmen untuk segera menyelesaikan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Untuk itu Kementerian Pertanian siap menerima usulan substansi peraturan untuk memberikan kepastian usaha di bidang kelapa sawit,” pungkas Andi.

Menanggapi sikap Pemerintah, di tempat yang sama, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Perkelapasawitan, Firman Soebagyo mengatakan, agenda rapat kerja antara Baleg dan DPR tersebut masih sebatas harmonisasi sehingga belum pada posisi pengambilan keputusan apakah nasib RUU perkelapasawitan akan dilanjutkan atau dihentikan pembahasannya.

“Kami ingin menyampaikan kepada pemerintah bahwa DPR menggunakan hak dan kewenangannya dalam menyusun UU karena ini merupakan amanat dan mandat konstitusi,” papar Firman.

Selain itu, Firman menilai kelemahan koordinasi di tubuh pemerintahan. “Pemerintah sangat lemah dalam berkoordinasi karena rancangan UU yang kita bahas ini sudah masuk dalam pembahasan prolegnas (yang telah disetujui bersama), bagaimana argumentasi yang kita bangun, karena semua UU yang masuk prolegnas itu, tidak hanya kajian akademik dan tidak hanya desakan NGO saja, tapi kita juga mendengarkan aspirasi masyarakat,” tuturnya.

Kemudian terkait posisi dan jumlah pasal-pasal yang disebutkan oleh Pemerintah, Firman menilai berbeda dengan rancangan UU yang diharmonisasi Baleg. “Yang tadi dari 19 bab dan 83 pasal. Oleh karena itu, setelah rapat ini akan kami sampaikan rancangan UU yang sudah diharmonisasi cukup panjang dan melibatkan berbagai stakeholder,” ujar Firman.

Hadir pula salah satu inisiator RUU Perkelapasawitan dari Komisi XI, Muhammad Misbakhun. Misbakhun berpandangan, dari sisi substansi, keberpihakan kepada masyarakat dan keberpihakan kepada kepentingan nasional, posisi RUU Perkelapasawaitan sangat jelas. Oleh karena itu ia mempertanyakan arah pengembangan ekonomi nasional ke depan apabila Pemerintah sampai menolak RUU Perkelapasawitan.

Menyoal BPDP Kelapa Sawit, Misbakhun mengatakan selama 3 tahun menjadi pihak yang ikut mengesahkan anggaran yang jumlahnya triliunan untuk BPDP Kelapa Sawit, sampai saat ini belum pernah menerima laporan penggunaan dana dari pihak BPDP Kelapa Sawit. “Ini yang menjadi pertanyaan kita, mengenai dana sawit,” katanya.

Terakhir, Misbakhun mengangkat persoalan redistribusi asset dan pajak lahan nganggur. “Sampai saat ini, berapa lahan nganggur yang menimbulkan permasalahan alih fungsi hutan di level masyrakat? Dari total lahan perkebunan kita di sawit, berapa yang dimiliki oleh rakyat? Ini butuh solusi dan butuh payung hukum,” katanya.

Hal ini menurut Misbkhun penting agar masyarakat memiliki dasar atas kepemilikan terhadap lahan yang selama ini ditanami sawit. “Kalau tidak lahan yang selama ini menurut mereka milik mereka, kemudian mereka menjual tandan buah segar mereka kepada pedagang atau industri. Kalau lahan mereka tidak sah, bisa-bisa mereka dituduh menjual bahan curian,” pungkas Misbakhun.
Tags:

Berita Terkait