Pemerintah Masih Kaji Aturan Pajak Bagi Perusahaan Aplikasi Transportasi Online
Berita

Pemerintah Masih Kaji Aturan Pajak Bagi Perusahaan Aplikasi Transportasi Online

Ditjen Pajak menyebut aturan tersebut juga berlaku pada perusahaan penyedia aplikasi lain di luar bidang transportasi.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Humas DJP Hestu Yoga Saksama. Foto: NNP
Humas DJP Hestu Yoga Saksama. Foto: NNP
Pemerintah masih mengkaji jenis pungutan pajak yang akan diterapkan bagi wajib pajak perusahaan penyedia aplikasi transportasi online. Hingga saat ini, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak) masih menyusun aturan teknis untuk memungut pajak dari perusahaan-perusahaan aplikasi penyedia transportasi tersebut.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas pada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa pihaknya melakukan kajian apa jenis pajak yang bakal dipungut atas penghasilan yang didapat perusahaan aplikasi transportasi online. Lantaran industri ini tergolong baru yakni baru mulai eskis di Indonesia sekira pertengahan tahun 2015, makanya Ditjen Pajak harus memformulasikan pungutan pajak yang tepat buat perusahaan-perusahaan tersebut.

“Secara aturan sedang kita susun. Setiap yang punya penghasilan harus dibayar pajaknya, cuma karena ini adalah jenis baru, ini harus diformulasikan pajaknya. Ini kan beda dengan pabrik,” kata Hestu saat ditemui di Jakarta, Rabu (19/7).

(Baca Juga: Penetapan Tarif Taksi Online Sudah Berlaku, Menhub Berharap Kompetisi Berjalan Sehat)

Hestu menambahkan, pungutan pajak yang akan dikenakan tersebut bukanlah formulasi yang benar-benar baru, melainkan pungutan pajak pada umumnya yakni pajak penghasilan (Pph) atau pajak pertambahan nilai (PPN). Selama aturan ini belum terbit, perusahaan penyedia aplikasi tersebut masih menghitung Pph dan PPN seperti tarif umum. Nantinya, setelah kajian dan aturannya terbit, maka perhitungannya akan mengacu pada tarif khusus perusahaan penyedia aplikasi.

Hestu menjelaskan, aturan ini nantinya juga akan mengikat bagi perusahaan penyedia aplikasi lain di luar bidang transportasi online. Karenanya mekanisme yang bakal diatur dikaji sangat mendalam agar dari segi tata cara pemungutan dapat dilakukan dengan mudah oleh pihak Ditjen Pajak.

“Kalau bicara pajak penghasilan (Pph), itu bisa dikenakan dengan cara dia lapor, hitung sendiri, lalu kena tarifnya sekian. Tapi, bisa juga misalnya lewat mekansime lain, sepeti dipotong dan dipungut melalui pihak lain. Yang bisnis lain juga” kata Hestu.

(Baca Juga: 11 Poin Revisi Peraturan Menteri Perhubungan Transportasi Online)

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, perusahaan penyedia aplikasi dapat digolongkan sebagai subjek badan dalam negeri sepanjang didirikan di Indonesia ataupun badan yang bertempat kedudukan di Indonesia. Dalam hal berkedudukan sebagai subjek pajak badan dalam negeri, tentu punya implikasi perusahaan tersebut dengan kewajiban pembayaran, pemotongan pemungutan, dan pelaporan pajak. Kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh seperti PPh pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan withholding tax lainnya.

Sementara, dilihat dari aspek PPN, perusahaan penyedia aplikasi dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Apabila melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) dan bukan merupakan pengusaha kecil atau pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 milyar sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013. 

(Baca Juga: 7 Catatan YLKI Terkait Rencana Terbitnya Aturan Baru Transportasi Online)

Selain itu, dari segi objek PPN, lini bisnis dari perusahaan penyedia aplikasi lainnya seperti jasa pengataran baik itu manusia atau barang, maka jasa tersebut merupakab objek PPN yang dikategorikan sebagai penyerahan jasa kena pajak menurut UU PPN.

Bagaimana dengan jasa pengantaran barang? Maka atas jasa tersebut dapat dikenakan PPN sesuai dengan KMK Nomor 38/PMK.011/2013. Sementara, dari sisi pengemudinya, sepanjang melebihi PTKP Rp 36 juta per tahun untuk wajib pajak pribadi, Rp 39 juta untuk wajib pajak kawin, dan tambahan Rp 3juta untuk tambahan tanggungan, maka pengemudi juga terkena Pph pasal 21 dan wajib memiliki NPWP.

“Selama ini kan cara menghitung pajak Pph dan PPN umum, tidak ada spesifik pengaturannya,” kata Hestu.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto Iskandar mengatakan perusahaan penyedia aplikasi berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek wajib berbadan hukum Indonesia dengan kriteria minimal di antaranya melakukan kontrak, penjualan dan/atau penyerahan jasa, penagihan, memiliki rekening bank yang menjadi sarana penampungan hasil penjualan atau penyerahan jasa pada bank yang ada di Indonesia.

"Terdapat tambahan ketentuan baru masukan dari Ditjen Pajak, yaitu mengenai kriteria perusahaan penyedia aplikasi berbasis Teknologi Informasi (TI) yang melakukan usaha di Indonesia," kata Pudji sebagaimana dikutip ANTARA awal Maret kemarin.
Poin-Poin Penting Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek
 
1.    taksi daring masuk ke dalam angkutan sewa khusus
2.    mobil 1.000 cc bisa dioerasikan
3.    Pemda berhak mengatur tarif batas atas dan bawah taksi daring
4.    Pemda berhak membatasi jumlah taksi daring sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing
5.    Kewajiban balik nama STNK harus atas nama perusahaan terhitung masa berlaku STNK pribadi habis
6.    Wajib uji berkala (KIR)
7.    Memiliki pool bisa dengan kerja sama
8.    Memiliki bengkel yang bisa bergabung dengan perusahaan tertentu
9.    Membayar pajak bagi perusahaan aplikasi sesuai dengan apa yang diatur Ditjen Pajak Kementerian Keuangan
10.Memberikan akses kepada Kemenhub berupa data pengemudi (dashboard) oleh perusahaan taksi daring dan pemberian sanksi berupa teguran hingga pemblokiran.
 
Selain itu, perusahaan penyedia aplikasi juga wajib mempunyai/menguasai server atau pusat data (data centre) yang berdomisili di Indonesia, melakukan Pemasaran, promosi, dan kegiatan asistensi lainnya, dan menyediakan layanan dan penyelesaian pengaduan konsumen. Sementara itu, Direktur Multi-Moda Drjen Perhubungan Darat Kemenhub, Cucu Maulana mengatakan, substansi pengenaan pajak akan diserahkan kepada Dirjen Perpajakan Kementerian Keuangan. 

"Substansinya ini untuk kepentingan perpajakan," kata Cucu.


Tags:

Berita Terkait