MK Diminta Tafsirkan Bersyarat Aturan Hak Angket DPR
Berita

MK Diminta Tafsirkan Bersyarat Aturan Hak Angket DPR

Majelis mengingatkan semua Pemohon untuk lebih menguraikan kerugian-kerugian konstitusional yang dialaminya.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan untuk dua perkara uji materi Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait kewenangan penggunaan hak angket oleh DPR.

Pemohon pertama adalah Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Achmad Saifudin Firdaus bersama dan sejumlah mahasiswa magister UGM dan Universitas Sahid Jakarta. Pemohon kedua, atas nama Horas A.M. Naiborhu selaku Direktur Eksekutif LIRA Institute.    

Seperti dikutip laman resmi MK, sidang pendahuluan dua permohonan ini diketuai Hakim Konstitusi Saldi Isra, digelar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (19/7). Dalam permohonannya, Achmad Saifudin dkk meminta ketentuan frasa “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah” dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat.

“Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan semua tindakan lembaga penyelenggara negara harus berdasarkan hukum yang berlaku agar tidak menyebabkan kesewenang-wenangan,” ujar Achmad Saifudin dalam persidangan. Baca Juga: Kisruh Hak Angket KPK, Akhirnya ‘Mampir’ ke MK

Selengkapnya, Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berbunyi, “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.”

Menurut Pemohon, berdasarkan peristiwa yang terjadi saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menghadapi Pansus Angket yang telah dibentuk oleh DPR. Pemohon mengutip keterangan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman yang mengatakan “Hak angket digunakan untuk mengontrol Pemerintah secara luas. Dalam arti luas, Pemerintah adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif."

Pemohon beranggapan, mengacu pernyataan (penafsiran) Wakil Ketua Komisi III DPR itu dan pemaknaan DPR dalam memaknai norma a quo, maka hak angket dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan kepada lembaga-lembaga negara independen seperti KPK dan lembaga negara independen lain.

Bahkan, hak angket DPR, dapat juga digunakan untuk menyelidiki kebijakan lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya yang juga melaksanakan undang-undang. Ketika dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya membuat kebijakan atau putusan diduga bertentangan peraturan perundang-undangan.

Sementara, Horas A.M. Naiborhu mendalilkan hak angket adalah hak konstitusional DPR dalam rangka hubungan ketatanegaraan dengan Pemerintah. Konsekuensi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berwenang mewakili Pemerintah dalam hubungan dengan DPR sesungguhnya adalah Presiden. “Badan-badan dan/atau jabatan-jabatan di bawah Presiden tidak mempunyai kapasitas berhubungan atas nama atau kepentingannya sendiri dengan DPR maupun dengan lembaga-lembaga negara lainnya,” urainya.

Menurut Pemohon, Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 telah mengaburkan esensi hak angket sebagai wujud hubungan antarlembaga negara yang berlangsung pada tingkat ketatanegaraan. Sebab, penjelasan tersebut telah menarik badan-badan dan/atau jabatan pemerintahan di bawah Presiden ke dalam ranah jangkauan hak angket oleh DPR. Padahal konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensial adalah hak angket oleh DPR semestinya hanya dapat ditujukan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Nasihat Hakim
Menanggapi dalil Pemohon pertama, Anggota Majelis Panesl Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan agar menghilangkan kata “tidak” dalam petitum. “Penghilangan kata ‘tidak’ dalam petitum itu lebih tepat. Kemudian ditambah juga penjelasan dalam petitumsebagai penguat,” kata Manahan.  

Sedangkan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan nasihat agar Pemohon belajar dari permohonan-permohonan terdahulu. “Pertanyaan saya, mengapa Anda lebih menonjolkan perorangan warga negara Indonesia. Bukankah sebelumnya, kedudukan hukum Saudara diterima sebagai FKHK? Sebab, nantinya dikhawatirkan bercampur baur argumentasinya. Coba buka lagi putusan MK terkait permohonan Saudara,” urai Palguna.

Terhadap Pemohon kedua, Manahan meminta Pemohon untuk lebih menjelaskan secara gamblang kedudukan hukum Pemohon. “Karena Saudara dalam identitasnya menulis sebagai Direktur Eksekutif LIRA Institute. Saudara harus menerangkan apa itu LIRA Institute, bergerak di bidang apa serta apa visi misinya. Kalau perlu AD dan ART juga dijelaskan dan apa hubungannya dengan pasal yang Saudara uji,” saran Manahan.

Selain itu, Palguna mengingatkan semua Pemohon untuk lebih menguraikan kerugian-kerugian konstitusional yang dialaminya. “Soal kedudukan hukum itu sangat menentukan untuk kelanjutan permohonan yang Saudara mohonkan,” katanya.
Tags:

Berita Terkait