Tarik Ulur Ambang Batas Presidential Threshold dalam RUU Pemilu
Berita

Tarik Ulur Ambang Batas Presidential Threshold dalam RUU Pemilu

Fraksi PDIP, PPP, Nasdem, dan Hanura mendukung ambang batas 20-25 persen atau opsi A. Fraksi Gerindra, Demokrat dan PKS menolak ambang batas 20-25 persen atau menghendaki opsi Paket B. Sedangkan Fraksi Golkar, PAN dan PKB belum memberi pilihan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Kesepakatan perihal ambang batas presidential treshold (PT) atau pencalonan presiden dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) dalam beberapa kali pembahasan belum menemui titik temu di tingkat Panitia Khusus (Pansus). Alhasil, khusus poin tersebut, pun diboyong dalam rapat paripurna untuk mengambil keputusan di forum tertinggi parlemen ini.

Sebenarnya ada banyak isu krusial dalam RUU Pemilu. Namun yang menjadi sorotan banyak partai hanya lima isu terkait keberlangsungan partai peserta pemilu. Yakni, syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), syarat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) metode konversi suara ke kursi, alokasi kursi ke daerah pemilihan, dan sistem pemilu.

Dalam laporan akhir Pansus, menawarkan lima paket opsi. Yakni Paket A: presidential threshold (20–25 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3–10 kursi), metode konversi suara (saint lague murni). Paket B: presidential threshold (0 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3–10 kursi), metode konversi suara (quota hare).

Paket C: presidential threshold (10–15 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3–10 kursi), metode konversi suara (quota hare). Paket D: presidential threshold (10–15 persen), parliamentary threshold (5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3–8 kursi), metode konversi suara (saint lague murni). Terakhir, Paket E: presidential threshold (20–25 persen), parliamentary threshold (3,5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3–10 kursi), metode konversi suara (quota hare).

Terhadap opsi tersebut, banyak pandangan fraksi yang menolak ambang batas pencalonan presiden diangka 20-25 persen. Sementara isu krusial lain mayoritas menemui titik temu. Fraksi Partai Demokrat, misalnya, menolak ambang batas 20-25 persen. Benny K Harman dalam pandangan partainya menilai tidak adannya relevansi aturan ambang batas pencalonan presiden diatur dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu.

“Kami menolak tegas ambang batas pencalonan presiden karena melanggar putusan MK,” ujarnya dalam ruang rapat paripurna di Gedung DPR, Kamis (20/7/2017). Baca Juga: 5 Isu Krusial RUU Penyelenggaraan Pemilu Ditunda Pembahasannya

Benny memaparkan beberapa alasan. Pertama, yang berhak mencalonkan presiden adalah partai peserta pemilu, atau gabungan partai. Sebab, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pelaksanaan pemilihan umum anggota legislatif (Pileg) dan Pilpres dilakukan serentak pada 2019. Bila serentak, maka belum didapat hasil suara pemilihan anggota legislatif. Kecuali, apabila Pileg dan Pilpres 2014 digelar tidak secara serentak.

Kedua, ketentuan ambang batas 20-25 persen tidak sejalan dengan putusan MK itu. Sesuai dengan putusan MK itu, partai politik peserta pemilu serentak 2019 memiliki hak yang sama dalam mengajukan pencalonan presiden dan cawapres. Sebaliknya, ambang batas 20-25 persen dinilai diskriminatif.

Ketiga, ketentuan ambang batas 20-25 persen ditengarai memiliki maksud membatasi peluang munculnya tokoh-tokoh alternatif pemilu 2019 mendatang dalam pencalonan presiden dan cawapres. “Atas dasar itu, kami Demokrat memandang ambang batas sebuah kesesatan cara berpikir yang halus dan perlu kita luruskan,” ujarnya.

Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra Ahmad Syafii berpandangan adanya putusan MK dikaitkan dengan ambang batas pencalonan presiden menjadi persoalan. Sebab, pada saat pemilihan presiden dan pileg secara serentak, belum adanya partai yang memiliki suara. Sementara calon presiden dicalonkan oleh partai sebelum pemilu. “Nah, partai belum memililiki suara, maka jelas ini (presidential threshold, red) inkonstitusional,” tegas dia.

Menurut dia, apabila yang digunakan hasil Pemilu 2014, maka harus dipertanyakan dasar hukumnya. Sebab, tidak adanya ketentuan atau aturan yang menyebut pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu sebelumnya. Syafii berpendapat menerapkan aturan ambang batas pencalonan presiden sama halnya menjegal prinsip demokrasi. Sebab, ini sama saja mengambil hak partai politik peserta pemilu dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden.

“Kalau yang digunakan ketentuan Pemilu 2014, berdasarkan ketentuan siapa. Ini jelas akal-akalan dan merampok akal sehat demokrasi,"  kata dia.

Ketua Fraksi Partai Hanura Nurdin Simbolon menampik pandangan fraksi partai yang menilai ambang batas pencalonan presiden melanggar konstitusi. Menurutnya putusan MK tak menganulir aturan ambang batas pencalonan presiden. Justru, aturan ambang batas presiden dalam RUU Pemilu melengkapi putusan MK. Karena itu, sebagai partai pendukung pemerintah, Hanura memilih opsi paket A dengan ambang batas presiden 20-25 persen.

Berdasarkan pantauan dalam ruang sidang, Fraksi PDIP, PPP, Nasdem, dan Hanura mendukung ambang batas 20-25 persen atau opsi A. Sedangkan Fraksi Golkar, PAN dan PKB mengambang atau belum tegas memberikan pilihan. Sedangkan Gerindra, Demokrat dan PKS menolak ambang batas 20-25 persen. Sekedar diketahui, Gerindra, Demokrat dan PKS menghendaki ambang batas pencalonan presiden berada diangka nol atau opsi Paket B.

Akhirnya, rapat pun diskors lantaran belum menemui titik temu atau deadlock. Nantinya, rapat bakal dilakukan secara musyawarah mufakat. Bila tidak menemukan titik temu, maka akan dilakukan lobi, dan sekira tidak juga menemukan titik temu, jalan terakhir dilakukan mekanisme voting.
Tags:

Berita Terkait