Penerapan PTKP Sesuai UMR dan Paradigma Penerimaan Pajak
Berita

Penerapan PTKP Sesuai UMR dan Paradigma Penerimaan Pajak

PTKP secara zonasi dinilai lebih tepat sasaran, namun bukan dengan paradigma untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Oleh:
Fitri Novia Heriani/ANT
Bacaan 2 Menit
Penerapan PTKP Sesuai UMR dan Paradigma Penerimaan Pajak
Hukumonline
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana akan mengubah sistem penerapan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Selama ini, penerapan PTKP dilakukan secara nasional. Artinya, angka PTKP yang ditetapkan oleh DJP berlaku diseluruh Indonesia.

Besaran PTKP saat ini berada pada angka Rp4,5 juta. Hal tersebut diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016. Pemerintah menetapkan kenaikan PTKP menjadi Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan dari sebelumnya Rp36 juta per tahun atau Rp3 juta per bulan.

Direktur Jenderal Pajak (DJP) Ken Dwijugeasteadi menyampaikan perubahan sistem penerapan PTKP masih dikaji. Rencananya, perhitungan PTKP akan disesuaikan dengan Upah Minimum Regional (UMR). Artinya, PTKP bersifat regional. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penurunan penerimaan pajak di daerah-daerah yang memiliki UMPrendah.

Misalnya saja DI Yogyakarta. Menurut Ken, jika ada kenaikan PTKP secara nasional, penerimaan Kanwil Yogyakarta menjadi menurun. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang pendapatannya dibawah PTKP. (Baca Juga: Punya Penghasilan dari Media Sosial? Siap-siap Kena Pajak)

Rencana tersebut mendapat apresiasi dari Pengamat Pajak, Yustinus Prastowo. Menurutnya, ide Dirjen Pajak untuk mengubah batasan PTKP dari tunggal/nasional menjadi berbasis wilayah/zonasi patut diapresiasi sebagai kemajuan paradigmatik dalam upaya memahami dan menempatkan PTKP sebagai instrumen kebijakan fiskal yang lebih efektif.

Namun demikian, paradigma yang tepat seyogianya tidak dengan meletakkan kebijakan PTKP untuk tujuan penggalian potensi atau menambah penerimaan negara (revenue-centered), melainkan secara komprehensif dan holistik dalam model dan skema insentif yang lebih tepat sasaran (policy-centered).

“Kebijakan ini pertama-tama bukan untuk mengejar penerimaan melainkan mendesain arsitektur insentif yang lebih adil dan terukur. Tambahan penerimaan, jika ada, adalah unintended consequence dari kebijakan,” kata Yustinus dalam siaran pers yang diterima oleh hukumonlie, Kamis (20/7). (Baca Juga: Telah Terbit, PP Soal Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah penghasilan sampai jumlah tertentu yang tidak dikenai pajak (non-taxable income) karena digunakan oleh wajib pajak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya agar dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang akan menjadi objek pajak (minimum standard of living/subsistence level allowances). PTKP, lanjutnya, menurut UU disesuaikan dengan memperhitungkan harga kebutuhan pokok, dapat disesuaikan oleh Menteri Keuangan dengan pertimbangan DPR. Dengan kata lain, Upah Minumum Provinsi (UMP) dapat dijadikan salah satu rujukan dalam menyusun PTKP.

Selama ini PTKP diatur di Pasal 7 UU PPh dan disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan dan kondisi ekonomi. Kenaikan PTKP terakhir terjadi pada tahun 2016 menjadi Rp 4,5 juta/bulan dari Rp 3 juta/bulan. Kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga mendorong konsumsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Hanya saja, Yustinus berpendapat bahwa kebijakan tersebut juga menggerus penerimaan negara sekitar Rp 18 triliun, dan tidak tepat sasaran karena kenaikan PTKP juga dinikmati kelompok masyarakat berpenghasilan menengah-atas. Perlu dilakukan evaluasi, apakah penerapan cash transfer yang lebih tepat sasaran dan terukur dapat menjadi pilihan yang lebih baik.(Baca Juga: Perlu Anda Tahu! Penghasilan Tidak Kena Pajak Naik)

Skema PTKP
Dalam teori perpajakan, Yustinus menyebutkan dikenal beberapa model/skema PTKP. Pertama, lumpsum atau initial exemption (berupa pengurangan dalam jumlah tetap, sama untuk semua Wajib Pajak tanpa memperhatikan perbedaan tanggungan keluarga);kedua, continuing exemption (berlaku untuk semua Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan keadaan keluarga, seperti yang berlaku di Indonesia); ketiga, the vanishing exemption (jumlah pengurangan yang semakin mengecil dengan semakin besarnya penghasilan Wajib Pajak berdasar teori management utility of income); dan keempat, penggantian pengurang personal dengan tax credit yang dapat direstitusi.

Dalam praktiknya terdapat beberapa variasi PTKP dengan menambahkan aspek  berdasarkan jender/perempuan bekerja dan single parent mendapat insentif besar (Singapore, India), pekerja usia non produktif (Argentina, Afsel, Maroko), kompensasi sosial (Ghana, Meksiko, Maroko, Uganda), tunjangan anak di keluarga berpenghasilan rendah (UK). Kanada memberlakukan PTKP dengan model zonasi berbasis provinsi.

Jika dibandingkan negara lain, tambahnya, formulasi PTKP Indonesia memang jauh tertinggal karena hanya memasukkan komponen biaya hidup minimum yang standar. Wacana merevisi PTKP adalah kesempatan memperbaiki skema dan model agar lebih adil. Model zonasi juga dimungkinkan mengingat gap penghasilan dan UMP antarwilayah yang  cukup lebar. Ini demi memastikan prinsip “ability to pay” dapat diimplementasikan dengan baik.

Hanya saja, ia menilai kenaikan PTKP merupakan bagian paket kebijakan ekonomi Pemerintah dan telanjur dipersepsikan sebagai kebijakan sosial yang melindungi kelompok berpenghasilan rendah cukup sensitif jika diturunkan dalam waktu dekat, apalagi bila membuat kelompok berpenghasilan rendah harus dikenai pajak. Untuk itu formulasi dan simulasi yang matang, sosialisasi yang jelas, timing yang tepat, dan administrasi yang baik mutlak dibutuhkan. Pemerintah tidak perlu terburu-buru demi memastikan kebijakan ini tepat sasaran, tepat guna, dan tepat hasil.

“Wacana ini hanya penampakan dari kebutuhan melakukan desain ulang arsitektur fiskal Indonesia, yang tidak sekedar menempatkan pajak sebagai pundi-pundi pengisi kas negara, melainkan juga sebagai instrumen kebijakan fiskal yang efektif bagi publik. Karenanya, ukuran kinerja perpajakan tidak tepat jika hanya diukur dari capaian rasio pajak dan pencapaian target APBN, tanpa memperhatikan formulasi dan implementasi insentif/fasilitas perpajakan dan efek ganda yang diciptakan,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya akan melakukan kajian yang teliti mengenai definisi rasio pajak terkait dengan rencana revisi ambang batas PTKP. "Jadi saya sudah minta kepada DJP (Direktorat Jenderal Pajak) untuk melakukan penelitian mengenai komponen apa saja yang masuk dalam komponen rasio pajak," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani menjelaskan PTKP Indonesia tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN, walaupun pendapatan per kapita Indonesia relatif lebih rendah dari Thailand, Vietnam, Malaysia dan Singapura. Selain itu, pajak pertambahan nilai (PPN) juga akan diperhatikan terkait efektivitasnya, mengingat negara lain perolehan PPN tinggi walaupun tarifnya lebih rendah.

"Jadi intinya, DJP tentu tetap melakukan perbaikan reformasi, sistem IT, sumber daya, bisnis proses, maupun struktur organisasi. Namun, kami juga ingin meyakinkan yang dilakukan Indonesia itu 'comparable', konsisten seperti negara-negara lain," kata Sri Mulyani.

Tags:

Berita Terkait