POJK Sustainable Finance Terbit, Setiap Korporasi Wajib Laporkan Rencana Aksi
Utama

POJK Sustainable Finance Terbit, Setiap Korporasi Wajib Laporkan Rencana Aksi

Korporasi, baik sebagai lembaga jasa keuangan (LJK), emiten, ataupun perusahaan publik wajib melaporkan rencana bisnis kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setiap tahun, paling lambat tanggal 31 Januari khusus LJK yang tidak diwajibkan melapor.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ketua DK OJK 2012-2017, Muliaman D. Hadad. Foto: RES
Ketua DK OJK 2012-2017, Muliaman D. Hadad. Foto: RES
Setiap korporasi wajib melaporkan rencana aksi perusahaan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kewajiban itu tertuang dalam POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, Dan Perusahaan Publik. Penerbitan aturan ini bersamaan dengan selesainya jabatan Muliaman D. Hadad sebagai Ketua Dewan Komisioner OJK.

Ketua DK OJK (2012-2017) Muliaman D. Hadad menjelaskan, aturan tersebut dikeluarkan sebagai payung hukum yang secara spesifik dan mengikat seluruh pelaku di sektor jasa keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan (sutainable). Salah satu yang diatur adanya Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan yang disampaikan setiap tahun kepada OJK.

“POJK (tersebut) telah ditetapkan tanggal 19 Juli 2017 dan saat ini sedang dalam proses pengundangan di Kementerian Hukum dan HAM serta akan mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” kata Muliaman Kamis (20/7) kemarin.

Berdasarkan amanat UU Nomor 32 Tahun 2009, OJK berkewajiban mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup melalui kebijakan yang peduli kepada sosial dan lingkungan hidup pada perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan non Bank (IKNB). Sekadar mengingatkan, menurut Pasal 1 angka 3 UU Nomor 32 Tahun 2009 yang dimaksud Pembangunan Berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup, keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah menurut Pasal 15 UU Nomor 32 Tahun 2009, diwajibkan menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yakni sebuah kajian yang memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan terakomodir. Selanjutnya, KLHS tersebut diterapkan sewaktu menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), serta rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Implementasinya, KLHS dilaksanakan salah satunya berupa pemberian rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan program dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

“Pada waktu yang sama dengan penyampaian rencana bisnis bagi LJK yang diwajibkan untuk menyampaikan rencana bisnis sebagai bagian dari rencana bisnis atau dalam dokumen terpisah, dan paling lambat tanggal 31 Januari bagi LJK yang tidak diwajibkan untuk menyampaikan rencana bisnis,” kata Muliaman.

(Baca Juga: Implementasi POJK Sustainable Finance Lembaga Keuangan dan Emiten Dilakukan Bertahap)

Dalam kesempatan sebelumnya, Muliaman sempat mengatakan, latar belakang disusunnya aturan ini, yakni dapat menyediakan sumber pendanaan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan pendanaan terkait perubahan iklim meningkatkan daya tahan dan daya saing lembaga jasa keuangan, emiten serta perusahaan publik dalam melakukan pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup yang lebih baik.

Oleh karenanya, POJK ini akan diterapkan secara bertahap untuk masing-masing korporasi seperti LJK, emiten dan perusahaan publik disesuaikan dengan perbedaan karakteristik dan kompleksitas usaha masing-masing. Selain itu, OJK juga akan mempertimbangkan aspek kesiapan masing-masing lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik. Di samping itu, OJK juga mendorong dam meminta masing-masing pelaku pada industri untuk mengembangkan produk dan/atau jasa keuangan yang menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan sehingga mampu berkontribusi positif pada stabilitas sistem keuangan.

“(Tujuannya) mengurangi kesenjangan sosial, mengurangi dan mencegah kerusakan lingkungan hidup, menjaga keanekaragaman hayati, dan mendorong efisiensi pemanfaatan energi dan sumber daya alam,” kata Muliaman.

Direktur Bidang Sustainable Finance pada Grup Dukungan Strategis Dewan Komisioner OJK, Edi Setijawan, dalam kesempatan sebelumnya, mengatakan regulator terus mendorong lembaga jasa keuangan untuk melalukan uji tuntas (due diligence) tambahan sebelum mengucurkan kreditnya terhadap perusahaan yang bergerak di sektor non-green project. Kata Edi, dua tahun pertama yakni 2015 hingga 2016, OJK fokus melakukan capacity building terhadap berbagai pihak terkait agar pemahaman soal keuangan berkelanjutan ini lebih mendalam.

“Kalau mereka (perusahaan) dapat proper yang dikeluarkan KLHK merah, itu bank ngga akan ambil. Bank-bank sudah mulai peduli sejak kita meng-announce kebijakan sustainable finance mereka sudah (berdasarkan pemantauan OJK) memperhatikan banget. Kalau proper merah mereka ngga akan kasih, apalagi hitam,” kata Edi awal Maret lalu kepada hukumonline.

(Baca Juga: Mempersoalkan Isu HAM dan Lingkungan di Tengah Dorongan Investasi Industri Minerba)

Kriteria proper yang dinilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terdiri dari dua kategori, yaitu kriteria penilaian ketaatan dan kriteria penilaian lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance). Kriteria penilaian ketaatan menjawab pertanyaan sederhana apakah perusahaan sudah taat terhadap peraturan pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan yang digunakan sebagai dasar penilaian saat ini adalah peraturan yang berkaitan dengan persyaratan dokumen lingkungan dan pelaporannya berupa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dokumen pengelolaan dan pemantauan kualitas lingkungan (UKL/UPL).

Lalu, peraturan mengenai pengendalian mengenai pencemaran air, di mana air limbah yang dibuang ke lingkungan harus melalui titik penaatan yang telah ditetapkan. Pada titik penaatan tersebut berlaku baku mutu kualitas air limbah yang diizinkan untuk dibuang ke lingkungan. Selanjutnya, mengenai pencemaran udara, pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan aspek regulasi lainnya. Teknisnya, proper diawali dengan pemilihan perusahaan peserta, di mana perusahaan yang menjadi target peserta proper adalah perusahaan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, tercatat di pasar bursa, mempunyai produk yang beorientasi ekspor atau digunakan oleh masyarakat luas.

“AMDAL sendiri dipikir orang sebagai KTP. Kalau sudah dikasih AMDAL berarti ramah lingkungan. Padahal tidak, AMDAL itu janji bahwa kalau perusahaan dikasih proyek itu akan lakukan A,B,C,D,F dan lapor ke LHK. Ini juga kita dorong ke lembaga jasa keuangan, agar saat lihat AMDAL tidak hanya ada AMDAL nya valid tidak, itu up to date atau tidak,” kata Edi.
Tags:

Berita Terkait