Pemerintah-DPR Dorong BPJS Ketenagakerjaan Kelola Asuransi TKI
Berita

Pemerintah-DPR Dorong BPJS Ketenagakerjaan Kelola Asuransi TKI

BPJS Ketenagakerjaan akan diberi amanat menyelenggarakan program jaminan sosial untuk TKI. Amanat akan dituang dalam RUU PPILN.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Para TKI kerap alami kesulitan saat mengurus klaim asuransinya
Para TKI kerap alami kesulitan saat mengurus klaim asuransinya
Buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri sangat membutuhkan perlindungan. Sudah banyak kasus buruh migran yang tertimpa masalah di negara penempatan sehingga menjadi korban. Dari berbagai bentuk perlindungan yang dibutuhkan buruh migran, salah satunya asuransi atau jaminan sosial. Sayangnya, asuransi untuk buruh migran Indonesia yang ada selama ini dinilai tidak menguntungkan pesertanya.

Oleh karena itu pemerintah berencana mengubah program asuransi buruh migran yang selama ini diselenggarakan melalui sejumlah perusahaan asuransi yang tergabung dalam konsorsium menjadi dikelola oleh satu lembaga yaitu BPJS Ketenagakerjaan. Dalam keterangan pers beberapa waktu lalu, Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, berharap cara itu bisa meningkatkan perlindungan dan jaminan sosial bagi buruh migran yang akan bekerja ke luar negeri.

(Baca: Menaker Desak Malaysia Evaluasi Program Enforcement Card)

Menurut Hanif selain memberi perlindungan kepada buruh migran, alasan lain ditransformasinya asuransi itu menjadi jaminan sosial karena BPJS Ketenagakerjaan diperintahkan untuk menyelenggarakan program cakupan semesta. Ke depan, peserta BPJS Ketenagakerjaan bukan hanya kalangan buruh tapi juga seluruh warga negara Indonesia. Selain itu KPK merekomendasikan program asuransi bagi TKI diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan melalui skema single risk management.

“Memang kita sedang transformasikan asuransi itu ke skema jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan. Ini sedang terus dimatangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan, dan seluruh kementerian lembaga terkait dan juga stake holder untuk mendapatkan formulasi terbaik perlindungan bagi para TKI kita,” kata Hanif.

Dalam kesempatan lain Hanif menyebut program jaminan sosial untuk buruh migran yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan itu masuk dalam 7 isu krusial RUU PPILN yang saat ini dibahas di DPR. Pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan terhadap 7 isu tersebut.

(Baca: 7 Isu RUU PPILN yang Disepakati Pemerintah-DPR)

Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, mengatakan BPJS Ketenagakerjaan akan bertindak sebagai leading sector dalam menyelenggarakan jaminan sosial untuk buruh migran. Bisa jadi praktiknya nanti BPJS Ketenagakerjaan menjalin kerjasama dengan lembaga lain untuk menggelar program tersebut. Melalui program itu diharapkan jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan bisa bertambah 8 juta orang yakni dari kalangan buruh migran.

“Selama ini asuransi TKI menggunakan konsorsium, ini hanya menguntungkan perusahaan asuransi karena klaim yang diajukan peserta sangat sedikit,” urai politisi partai demokrat itu.

Aturan tentang penyelenggaraan program jaminan sosial untuk buruh migran itu menurut Dede akan dituangkan dalam RUU PPILN. Intinya pemerintah diamanatkan menyelenggarakan jaminan sosial untuk buruh migran melalui sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Ketentuan itu nanti mengamanatkan pemerintah menerbitkan peraturan teknis seperti Peraturan Pemerintah.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengatakan sudah semestinya jaminan sosial untuk buruh migran diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Asuransi buruh migran yang selama ini diselenggarakan melalui konsorsium dinilai tidak memberi manfaat signifikan, juga menyulitkan buruh migran mendapat haknya. Menurutnya buruh migran sebagai warga negara Indonesia berhak atas jaminan sosial dan wajib menjadi peserta.

Merujuk data BNP2TKI tahun 2014, Timboel mencatat, rekapitulasi premi dan peserta asuransi pada 3 konsorsium asuransi TKI menunjukan total penerimaan premi dari peserta sebanyak Rp49,9 miliar. Klaim yang dibayar konsorsium asuransi kepada peserta hanya Rp1,1 miliar. Ini artinya rasio klaim hanya 2,2 persen. Selain itu asuransi Jasindo rasio klaimnya 4,6 persen dan Astindo 5,5 persen.

Dalam menyusun peraturan yang mengatur tentang jaminan sosial untuk buruh migran, Timboel mengusulkan kepada pemerintah untuk melibatkan banyak pihak. Upaya itu dilakukan agar peraturan yang diterbitkan nanti lebih baik dibandingkan ketentuan sebelumnya yang mengatur asuransi tentang TKI.

Timboel melihat ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam menyusun ketentuan tersebut. Antara lain, memberi jangka waktu pertanggungan yang lebih lama karena persoalan yang dihadapi buruh migran tergolong rumit. Permenakertrans No.1 Tahun 2012 hanya memberi jangka waktu pertanggungan paling lama 5 bulan sejak penandatanganan perjanjian penempatan. Untuk masa penempatan paling lama 24 bulan dan 1 bulan untuk purna penempatan. Begitu pula masa pengajuan klaim, selama ini paling lambat 12 bulan sejak terjadinya risiko.

“Masa pertanggungan ini harusnya diperpanjang sehingga mampu melindungi buruh migran lebih baik,” papar Timboel di Jakarta, Sabtu (22/7).

(Baca: Diusulkan BNP2TKI Jadi Lembaga Tunggal Urusi TKI)

Kemudian, mengatur perlindungan buruh migran dalam tiga periode. Pertama, pra penempatan meliputi meninggal dunia, sakit, kecelakaan, kekerasan fisik, dan pemerkosaan. Kedua, penempatan meliputi gagal ditempatkan, meninggal dunia, sakit, kecelakaan di dalam dan di luar jam kerja, menghadapi masalah hukum, gaji tidak dibayar, kekerasan fisik dan pemerkosaan. Ketiga, purna penempatan yaitu meninggal dunia, sakit, kecelakaan, kerugian atas pihak lain dalam perjalanan pulang ke daerah asal, kekerasan fisik, psikis dan/atau seksual.

Selain itu Timboel mengusulkan buruh migran Indonesia juga ikut dalam program JKN-KIS yang digelar BPJS Kesehatan. Walau penyelenggara jaminan sosial bidang kesehatan itu belum mampu memberi pelayanan untuk buruh migran yang bekerja di luar negeri, tapi program itu penting untuk perlindungan bagi keluarga buruh migran.
Tags:

Berita Terkait