Korporasi Zonder Pelanggaran HAM, Siapa Takut?
Merajut Bisnis dan HAM:

Korporasi Zonder Pelanggaran HAM, Siapa Takut?

Sejumlah prinsip yang terkandung dalam UNGPs BHR sejalan dengan etika bisnis. Ada yang terbuka menyatakan komitmen pada HAM dalam menjalankan bisnis.

Oleh:
Ady TD Achmad/CR-24
Bacaan 2 Menit
Ilsutrasi kebun kelapa sawit. Foto: MYS
Ilsutrasi kebun kelapa sawit. Foto: MYS
Salah satu tantangan besar menyusun dan mengimplementasikan Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan HAM di Indonesia adalah mengajak kalangan dunia usaha. Karena itu sejak awal penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM, Pemerintah melibatkan kalangan dunia usaha. Ketika Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah lembaga untuk menyusun RAN tersebut, terselip nama Indonesia Global Compact Network (IGCN).

(Baca juga: Pemerintah Libatkan Organisasi Masyarakat Sipil Susun Panduan Bisnis dan HAM).

Sebutan ‘Global Network’ mengingatkan pada nama yang diberikan Sekjen PBB Kofi Annan ketika berpidato dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos tahun 1999. Annan, lewat Global Network, mengajak kalangan dunia usaha atau korporasi menerapkan nilai-nilai bersama dalam aspek perburuhan, HAM, dan lingkungan. Beberapa tahun kemudian, nilai antikorupsi dimasukkan.

Global Network adalah forum kalangan dunia usaha untuk menerapkan prinsip dan standar-standar operasi sesuai dengan regulasi di negara tempat korporasi berdomisili. Penghargaan kepada korporasi yang berhasil memenuhi prinsip dan standar-standar sudah sering diberikan, dan laporannya dipublikasikan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), misalnya, telah membuat Laporan Hasil Kajian Praktek Baik dan Komitmen Pengelolaan Lingkungan Hidup Berkelanjutan Sektor Perkebunan Kelapa Sawit. Laporan ini disebut sebagai sebuah peta jalan menuju zero burning dan memperkuat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

Perkebunan kepala sawit memang mendapat perhatian lebih belakangan bukan saja karena kontribusi besarnya terhadap pendapatan negara, tetapi juga setelah ada ‘lampu kuning’ dari Eropa. Industri sawit menyumbang triliunan rupiah dan menyerap 16 juta tenaga kerja. Tapi, Resolusi Parlemen Uni Eropa menyentil dua isu penting dari bisnis sawit: deforestasi dan dugaan pelanggaran HAM. Laporan Hasil Kajian KLHK dan LeadershipPark di atas menjadi sebuah jawaban.

“Sawit adalah adalah penyumbang devisa terbesar dari sektor perkebunan.,” tulis Danang Girindrawardana dari LeadershipPark. “Pemerintah perlu mengatur tata kelola sehingga mampu melindungi kepentingan strategik nasionalnya dengan baik,” sambung pengusaha yang juga mantan Ketua Ombudsman Republik Indonesia itu.

Diwawancarai Hukumonline beberapa waktu lalu, Danang menepis tudingan Parlemen Uni Eropa tentang sawit Indonesia. Setelah melakukan riset di 7 perkebunan sawit di Indonesia, Danang mengatakan tudingan Uni Eropa tak benar, tidak ditemukan pekerja yang diperlakukan secara tidak manusiawi.  Sekalipun ada pekerja yang statusnya outsourcing tapi tetap memenuhi aturan ketenagakerjaan.

Meskipun demikian, Danang setuju menekankan pentingnya setiap perusahaan untuk menghormati, memenuhi dan melindungi HAM. Jika itu dilaksanakan, kebijakan korporasi berdampak sangat baik bagi perusahaan khususnya dalam pengembangan bisnis di ranah internasional. “Perusahaan yang modern dan berkelas pasti menerapkan HAM”.

Bermanfaat
Salah satu korporasi yang secara terbuka menyatakan komitennya pada HAM adalah Unilever Indonesia. Perusahaan ini punya Pernyataan Kebijakan Hak Asasi Manusia Unilever yang antara lain berisi komitmen mengatasi dampak HAM, upaya pemulihan, pemberdayaan perempuan, dan ketentuan alih daya yang bertanggung jawab. Perusahaan ini juga memiliki program lain yang relevan seperti Unilever Sustainable Living Plan, termasuk keadilan di tempat kerja.

Corporate Secretary Unilever Indonesia, Sancoyo Antarikso, menjelaskan Unilever meneguhkan komitmen pada HAM karena perusahaan ini percaya suatu bisnis hanya dapat berkembang dan diterima oleh masyarakat jika bisnis tersebut telah memastikan terlindunginya hak asasi manusia. Unilever percaya selain tujuan mendapatkan profit, perusahaan juga bertanggung jawab atas aspek sosial dan lingkungan dimanapun Unilever beroperasi. “Paling penting, komitmen Unilever untuk melindungi HAM juga turut berkontribusi dalam upaya kepatuhan Unilever terhadap hukum positif yang berlaku di Indonesia,” ujarnya dalam jawaban tertulis yang diterima hukumonline.

Dipaparkan Sancoyo, kepatuhan pada aspek HAM, memberikan manfaat bagi perusahaan. Secara internal, karyawan akan merasa lebih nyaman bekerja pada perusahaan yang komitmen pada HAM sehingga meningkatkan kinerja perusahaan secara umum. Secara ekternal, dengan memastikan bahwa penerapan perlindungan HAM juga turut diaplikasikan pihak ketiga yang bekerjasama dengan Unilever termasuk pemasok dan distributor. Pada akhirnya, konsumen dapat menilai komitmen perusahaan pada HAM, sehingga lingkungan usaha perusahaan bisa tercipta dengan baik. “Dengan demikian Unilever dapat memberikan sumbangsih yang nyata kepada masyarakat,” tambahnya.

Berkaitan dengan penyusunan RAN Bisnis dan HAM, Sancoyo menjelaskan, Unilever juga tergabung dalam Indonesian Global Compact Network. Lewat jaringan ini perusahaan ikut bersama Pemerintah, Komnas HAM dan masyarakat sipil menyusun RAN yang erat kaitannya dengan panduan bisnis dan HAM. Sebagai perusahaan besar, Unilever juga berkomitmen untuk menyelaraskan diri pada prinsip-prinsip HAM dan bisnis internasional. “Secara korporasi global, Unilever tetap berkomitmen untuk menyelaraskan diri dengan UN Guiding Principles on Business and Human Rights sejak tahun 2011,” kata Sancoyo.

Danang Girindrawardana, Ketua Kebijakan Publik DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), juga menghargai rencana Pemerintah membuat regulasi mengenai Prinsip-Prinsip Pedoman untuk Bisnis dan HAM. Ia memastikan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya bukan hal baru dilihat dari segi etika bisnis. Secara etika, pelaku bisnis selama ini juga harus menghormati HAM. Apalagi bagi perusahaan yang operasionalnya berskala nasional dan internasional.

Menurut Danang semua kalangan tidak perlu khawatir karena pada prinsipnya korporasi menjunjung tinggi HAM. Termasuk menghargai pekerjanya sebagai bagian dari perusahaan. Mungkin masih ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang masih memiliki sumber daya terbatas sehingga belum mampu memberikan jaminan dan perlindungan secara penuh.Kekhawatiran Danang adalah jika Pedoman HAM dan Bisnis itu dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) timbul kesan telah terjadi sesuatu yang genting. “Menurut kami tidak ada kasus HAM yang mencuat berkaitan dengan korporasi. Perkara HAM yang ada di Indonesia ini hanya menyangkut negara,” paparnya.

Pengaduan
Walau begitu Danang tidak menampik masih ada perusahaan yang masih melakukan praktik yang tidak selaras dengan HAM. Ini juga sejalan dengan laporan pelanggaran yang masuk ke Komnas HAM. Data berikut menunjukkan korporasi sebagai pihak yang diadukan tertinggi kedua ke Komnas HAM dalam periode 2010-2014. Korporasi, dalam konteks perusahaan menurut pengertian UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, merupakan aktor non-negara yang turut berkontribusi pada dugaan pelanggaran HAM.
No.Terlapor20102011201220132014
1. Polri 1.503 1.839 1.938 1.845 2.483
2. Perusahaan swasta 1.119 1.068 1.126 958 1.127
3. Pemda 779 830 569 542 771
4. Lembaga peradilan 544 520 542 484 641
5. BUMN 273 246 306 372 n/a
6. Kejaksaan 264 224 186 195 n/a
7. Pemerintah pusat 251 261 483 488 499
8. TNI 223 240 204 270 n/a
Sumber: Elsam dan Komnas HAM. Catatan: n/a berarti tak tersedia data.

Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis, mengatakan selama ini Komnas masih kesulitan menangani pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan korporasi. Selama ini ada dua pendekatan yang digunakan Komnas dalam menangani kasus yang berkaitan dengan korporasi yaitu pemantauan dan mediasi. Komnas HAM melakukan pemantauan kasus sampai ke daerah terpencil. Hasil pemantauan itu berupa rekomendasi yang harus dijalankan para pihak terkait. Pengalaman Komnas HAM selama ini menunjukkan korporasi tidak mau langsung menjalankan rekomendasi tersebut. Menurut Nur Kholis korporasi menimbang dulu untung ruginya. “Korporasi yang beroperasi di Indonesia biasanya melihat dulu apa untungnya,” katanya kepada hukumonline.

(Baca juga: Korporasi Masuk Tiga Besar Institusi yang Dilaporkan).

Nur Kholis memberi contoh kasus tewasnya anak-anak di lubang bekas tambang di Kalimantan Timur. Kala korban tewas masih berjumlah belasan Komnas sudah menerbitkan rekomendasi. Sayangnya, rekomendasi itu tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah daerah dan korporasi. Akibatnya, jumlah korban terus bertambah menjadi puluhan. [Baca juga: Bekas Tambang Makan Korban, Perusahaan Bisa Dipidana]

Begitu pula dalam melakukan mediasi, menurut Nur Kholis paling sulit jika perkaranya menyangkut korporasi. Misalnya, kegiatan bisnis korporasi yang berdampak pada tergusurnya lahan petani. Walau segala upaya telah ditempuh, tidak mudah meminta korporasi untuk mengembalikan lahan garapan petani. Hasilnya, tidak banyak proses mediasi yang berhasil. Ada korporasi yang tidak mau mengembalikan lahan kepada petani tapi memberikan kompensasi dalam bentuk uang. Bagi Komnas HAM itu tidak tepat karena yang harus diberikan kembali mestinya lahan untuk petani.

“Kasus yang lumayan berhasil ada juga, perusahaan mengembalikan 75 hektar lahan kepada petani dari jumlah total 300 hektar lahan yang sengketa dengan masyarakat,” urai Nur Kholis.

Oleh karenanya Nur Kholis berharap menguatnya isu Bisnis dan HAM saat ini bisa mendorong perusahaan mengadopsi HAM sebagai acuan dalam menjalankan bisnis. Hal ini sangat penting bagi perusahaan yang mau mengembangkan sayap bisnisnya di kancah internasional.

Selain kepada masyarakat di sektitar kegiatan usaha, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM juga perlu dilakukan korporasi kepada internal, terutama kalangan buruh. Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan, Sahat Sinurat, mengatakan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah mengadopsi sedikitnya 8 konvensi dasar ILO. Seperti Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Berorganisasi, konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.

(Baca juga: Serikat Buruh Mendesak Pemerintah Ratifikasi Konvensi ILO 183).

Sahat menyebut UU Ketenagakerjaan sudah selaras dengan HAM. Oleh karena itu pihak yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan bisa disebut tidak menghormati HAM. “Yang perlu dilakukan sekarang untuk bidang ketenagakerjaan yakni penguatan pengawasan dan penegakan norma hukum ketenagakerjaan,” tukasnya.

United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights(UNGPs BHR) telah mendorong perusahaan agar memiliki mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa, baik melalui institusi negara maupun tidak. Prinsipnya, tanggung jawab korporasi pada HAM tidak bergantung pada ukuran atau skala perusahaan, sektor usaha, konteks operasional, kepemilikan, dan struktur perusahaan. Jika bisa zero pelanggaran, mengapa harus takut?
Tags:

Berita Terkait