“Taji” KPK Tersangkakan Korporasi dan Konsekuensi Perusahaan Terbuka (Bagian I)
Fokus

“Taji” KPK Tersangkakan Korporasi dan Konsekuensi Perusahaan Terbuka (Bagian I)

Direktur Utama PT DGI Tbk periode 2009-2010, Dudung Purwadi juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Karena itu, pengurus baru yang nanti mewakili PT NKE Tbk dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan dan persidangan benar-benar hanya sekadar “mewakili” PT NKE Tbk.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Pertama kali dalam sejarah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)menetapkan korporasi sebagai tersangka. Kajian tentang pertanggungjawaban korporasi ini sebenarnya telah dimulai sejak kepemimpinan KPK jilid sebelumnya. Bahkan, KPK bersama aparat penegak hukum lain, seperti Mahkamah Agung (MA) beberapa kali menggelar diskusi.

Faktanya, hingga kepemimpinan KPK jilid III berakhir, belum ada satu pun korporasi yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Padahal, ada sejumlah perkara besar di KPK yang menunjuk pada keterlibatan korporasi. Alasannya “klise”, yaitu karena ketidakjelasan hukum acara yang mengatur penanganan perkara korupsi oleh korporasi.

Selain itu, ketidakjelasan batasan antara pertanggungjawaban pengurus korporasi selaku personal dan pertanggungjawaban pengurus korporasi yang bertindak atas nama dan kepentingan korporasi juga disebut-sebut sebagai salah satu penyebab. Namun, perlahan, permasalahan tersebut terpecahkan dengan regulasi yang diterbitkan MA.

Hal ini pun diakui oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Menurutnya, setelah sekian lama, KPK memulai babak baru dengan menetapkan korporasi sebagai tersangka. “Karena kendala hukum acaranya sudah tidak ada lagi setelah terbitnya PERMAtentangTanggung Jawab Pidana Korporasi,” katanya kepada hukumonline.

Sebagaimana diketahui, pada penghujung tahun 2016, tepatnya 21 Desember 2016, Ketua MA Muhammad Hatta Ali menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. PERMA itu dibuat sebagai pedoman bagi para aparat penegak hukum.

Laode mengakui, penetapan korporasi sebagai tersangkadalam kasus korupsi, bukan hal baru. Sebab, Kejaksaan sudah terlebih dahulu melakukannya. Pertama, di Banjarmasin, dan kedua di Bekasi. Sebagai informasi, korporasi pertama yang ditetapkan Kejaksaan sebagai tersangka dalam kasus korupsi adalah PT Giri Jaladhi Wana.

Kasus korupsi PT Giri ditangani oleh Kejaksaan Negeri Banjarmasin. PT Giri berhasil dihadapkan ke meja “hijau” dan divonis bersalah hingga berkekuatan hukum tetap. PT Giri dihukum denda Rp1,3 miliar dan pidana tambahan berupa penutupan sementara. Sedangkan, KPK baru sekarang menunjukan “taji”-nya untuk mentersangkakan korporasi.

Korporasi dimaksud adalah PT Duta Graha Indah (DGI) Tbk yang kini telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) Tbk. Penetapan tersangka tersebut terungkap dari surat panggilanpemeriksaan saksi yang diterima Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Sandiaga Salahuddin Uno.

Dalam surat panggilan bernomor SPGL-3471/23/07/2017 tanggal 7 Juli 2017, Sandiaga diminta hadir menghadap penyidik di KPK pada Jumat, 14 Juli 2017 untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus korupsi dengan tersangka PT DGI Tbk yang telah berubah nama menjadi PT NKE Tbk.

Walau baru memulai, KPK menunjukan keseriusannya dalam menanganani korupsi korporasi. Dalam kesempatan berbeda, Laode menyatakan, pasca terbitnya PERMA No.13 Tahun 2016, KPK membentuk tim khusus. “Tim khusus untuk penyelidikan kasus-kasus yang berhubungan dengan tanggung jawab pidana korporasi,” ujarnya, Jumat (21/7). Baca Juga: Menakar Efektivitas PERMA Kejahatan Korporasi 

Langkah KPK yang baru mulai menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi ini dinilai pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Teddy Anggoro, kelamaan. Meski begitu, ia menganggap wajar karena KPK mesti menunggu terbitnya PERMA sebelum mengambil langkah untuk mulai menetapkan korporasi sebagai tersangka.

Ia berpendapat, prinsipnya, setiap subjek hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya. Permasalahannya, bagaimana memisahkan tanggung jawab korporasi (pengurus) dengan person korporasi sebagai personal. Sebab, tidak mungkin perusahaan bergerak tanpa ada orang yang menggerakkan.

Untuk memisahkan hal tersebut, kata Teddy, bila mengacu pada teori hukum perusahaan, harus dilihat apakah ada kesatuan kepentingan atau unity of mind antara person, baik pemegang saham, direksi, ataupun komisaris dengan perusahaan atau badan hukum. Jika ada, maka perusahaan dapat dimintakan pertanggungjawaban.

“Untuk PT (Perseroan Terbatas), dia murni bergerak sendiri atau tidak, kan kita tidak bisa lihat. Yang pasti bisa kita lihat adalah ada hasil dari tindak pidana korupsi yang masuk dalam pembukuan atau keuangan perseroan. Disitulah kita mintai pertanggungjawaban. Perseroan tidak bisa bergerak sendiri,” terangnya.

Mengingat KPK yang baru mulai menerapkan pidana korporasi dan minimnya korporasi pelaku korupsi yang dijerat aparat penegak hukum, boleh jadi membuat Indonesia cukup “tertinggal” dibandingkan sejumlah negara lain. Terlebih lagi, beberapa negara telah menerapkan aturan anti suap yang ketat bagi sektor swasta.

Mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, dalam Orasi Ilmiah-nya di acara Dies Natalis ke-2 Fakultas Ilmu Administrasi UI pada 31 Maret 2017 lalu, menyampaikan, dalam dekade terakhir, sejumlah negara di dunia tengah melakukan langkah pemberantasan korupsi, antara lain dengan meluncurkan beberapa konvensi internasional.

Dari sisi legislasi, sambung Erry, beberapa negara mengadopsi undang-undang anti suap. Amerika Serikat mengundangkan Foreign  Corrupt  Practice  Act  (FCPA)  untuk  melarang  orang  dan perusahaan  Amerika  memberikan  suap  pada  otoritas  pemerintah  negara  lain untuk keperluan bisnisnya.

Erry menyatakan, sejak  2010,  Inggris  juga  telah  mengundangkan  peraturan  anti  suap  yang lebih  ketat  dibanding  FCPA,  dengan  ancaman  denda  tanpa  batasan  maksimal, yaitu UK Bribery Act (UKBA). Sebagian kalangan menyebut UKBA ini menaikkan standar aturan yang harus dipatuhi oleh sektor swasta.

Beberapa perusahaan yang dijatuhi hukuman denda/restitusi karena melakukan  penyuapan, termasuk  kepada  otoritas  Indonesia. Antara lain: Alstom, Marubeni,  Diebold, Allianz SE, Pfizer, Innospec, Monsanto, dan teranyar adalah Rolls-Royce. Berikut rinciannya:
Korporasi Denda/Restitusi Keterangan
Alstom S.A. AS$772,29 juta Alstom dihukum membayar denda atas  kasus  yang  melibatkan  suap  puluhan  juta dollar  di  seluruh  dunia  termasuk  di  Indonesia,  Arab  Saudi,  Mesir  dan  Kepulauan Bahama. 
Di Indonesia,  Alstom, Alstom  Prom, dan Alstom Power menyuap anggota parlemen  dan  pejabat  tinggi  PLN sebagai  imbalan  untuk  memenangkan  kontrak terkait penyediaan listrik senilai AS$375 juta.
Marubeni AS$88 juta Perusahaan asal Jepang ini merupakan salah satu perusahaan yang juga dihukum otoritas Amerika Serikat karena terbukti memberikan suap kepada pejabat tinggi publik di Indonesia untuk memastikan mendapat  kontrak  tenaga  listrik.
Diebold AS$48 juta Perusahaan yang berpusat di Ohio ini membayar suap  untuk  mendapatkan  proyek  pengadaan  mesin  ATM  bagi  bank  milik  negara dan bank swasta di China dan Indonesia.
Monsanto AS$1,5 juta Di  sektor  pertanian,  ada  Monsanto  yang  menjual  produk  cairan  untuk  pertanian. Namun,  Monsanto  bersedia  menerima  tanggung  jawab  dan  bersikap  kooperatif dengan  penyelidikan  pidana  dan  penyelidikan  Securities and Exchange Commission (SEC)  ketika  terungkap  bahwa pegawainya  ditengarai  menyuap  oknum  pemerintah  di  Indonesia, serta  mengatur pembukuan  perusahaan  untuk  menutupinya. 
Monsanto  bersedia  menerapkan aturan  kepatuhan  internal  yang  baru,  menerima  penugasan  pakar compliance independen  untuk  meng-audit  program  kepatuhan  dan  memonitor implementasinya,  serta  bersedia  membayar  denda.
Department of Justice Amerika Serikat nampaknya  memberi kemudahan karena kerja sama yang ditunjukkan oleh Monsanto.
Allianz SE AS$12,3 juta Perusahaan asuransi asal Jerman ini dihukum membayar denda sekitar AS$12,3 juta karena melanggar FCPA.
Selama tujuh tahun, Allianz SE melalui anak perusahannya di Indonesia dinyatakan telah melakukan penyuapan kepada sejumlah pejabat BUMN untuk membantu mendapatkan proyek asuransi pemerintah.
Pfizer AS$60 juta SEC memerintahkan Pfizer membayar AS$45 juta karena melanggar FCPA, yaitu menyuap dokter pemerintah negara lain, salah satunya Indonesia, agar merekomendasikan produk mereka.
Pfizer juga setuju membayar denda AS$15 juta untuk menyelesaikan penyelidikan atas pelanggaran FCPA.
Innospec AS$40,2 juta Innospec mengaku bersalah dan sepakat membayar AS$40,2 juta untuk menyelesaikan tuntutan Department of Justice  Amerika Serikat, SEC, US Department of the Treasury’s Office of Foreign Assets Control, dan Britain’s Serious Fraud Office (SFO).
Innospec dinyatakan melanggar FCPA karena menyuap pejabat pemerintah Irak dan Indonesia, serta melanggar embargo Amerika Serikat terhadap Kuba.
Di Indonesia, perusahaan yang dahulu bernama Octel ini menyuap pejabat Pertamina agar Octel melalui PT SI dapat menjadi penyedia atau pemasok Tetraethyl Lead (TEL) untuk kebutuhan kilang-kilang milik Pertamina. 
Roll-Royce £671 juta SFO mengungkap sejumlah korupsi yang dilakukan Roll-Royce di beberapa negara. Roll-Royce sepakat membayar denda dan biaya-biaya lainnya kepada SFO, Department of Justice Amerika Serikat, dan Brazil’s Ministério Público Federal sejumlah £671 juta atau setara sekitar AS$813 juta.
Penyuapan itu dilakukan Roll-Royce untuk mengamankan tender di enam negara, antara lain Indonesia, Rusia, dan Cina. Di Indonesia, Roll-Royce diduga menyuap pejabat Garuda Indonesia.
*Diolah dari berbagai sumber, termasuk materi Orasi Ilmiah Erry Riyana Hardjapamekas

DGI dalam pusaran korupsi Nazaruddin
Menjadi korporasi pertama yang ditetapkan KPK sebagai tersangka, PT DGI Tbk yang kini telah berganti nama menjadi PT NKE Tbk, ternyata masuk dalam pusaran kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin. Sebut saja, kasus korupsi Wisma Atlet dan Rumah Sakit Universitas Udayana.

PT NKE Tbk telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran (TA) 2009-2010 berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik-52/01/07/2017 tanggal 5 Juli 2017. PT NKE Tbk dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.

Terkait kasus ini, Sandiaga telah diperiksa sebagai saksi dalam kapasitasnya selaku Komisaris PT DGI Tbk tahun 2009-2010. Sandiaga mengatakan dirinya kooperatif dan mendukung langkah KPK untuk melakukan penegakan hukum tanpa tebang pilih. Kendati demikian, ia membantah pernah melakukan pertemuan dengan Nazaruddin.

Menurut Sandiaga, selaku Komisaris PT DGI Tbk ketika itu, ia juga tidak pernah menangani proyek-proyek. “Saya mengikuti dan bertanggung jawab untuk proyek-proyekyang dilakukan PT NKE,tapi saya hanya bertanggung jawab memberikan masukan di bidang ekonomi makro, ekonomi terkini,dan tren pasar modal,” akunya.

Sandiaga menjelaskan, ia mulai bergabung di PT DGI sejak 2007, sebelum perusahaan ini go public atau menjadi perusahaan terbuka (Tbk). Setelah aktif berpolitik pada 2015, ia mundur dari jabatannya di sejumlah perusahaan, termasuk PT NKE Tbk, demi menghindari benturan kepentingan danmenujunjung tinggi prinsip good governance.

Di lain pihak, Direktur Utama PT NKE Tbk Djoko Eko Suprastowo membenarkan jika PT NKE Tbk tengah dalam pemeriksaan KPK. Pemeriksaan dimaksud terkait proyek pembangunan Rumah Sakit Universitas Udayana yang digarapperseroan pada tahun anggaran 2009 sampai dengan 2010.

Namun, sambung Djoko, pekerjaaan gedung Rumah Sakit Universitas Udayana tersebut telah  selesai  dan  diserahkan  kepada  pemberi  kerja  sesuai  kontrak  oleh  perseroan. Saat ini, gedung rumah sakit itu telah digunakan oleh pihak Universitas Udayana sesuai kebutuhan dan keperluannya.

Djoko sendiri diangkat sebagai Direktur Utama sejak 2016 lalu. Ia menegaskan, sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan KPK terhadap PT NKE Tbk, perseroan akan bersikap kooperatif dan terbuka dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh KPK terkait proses yang sedang berjalan.

PT NKE Tbk juga akan berpartisipasi bersama KPK dalam mewujudkan tata kelola bisnis yang baik, serta membuat dunia bisnis di Indonesia semakin baik dan terpercaya. Djoko mengaku, manajemen baru telah melakukan pembenahan dalam penerapan tindakan tata  kelola perseroan guna menciptakan kondisi kerja yang baik, bersih, dan kondusif. Baca Juga: Prof Surya Jaya: PERMA Kejahatan Korporasi Dukung Good Corporate Governance

Terkait dengan kinerja bisnis perseroan, Djoko berharap proses hukum yang tengah melibatkan perseroan saat ini tidak menganggu jalannya bisnis  perseroan. “Dengan adanya proses ini, kami harapkan bisnis perseroan akan tetap berjalan secara normal,” tuturnya dalam siaran pers PT NKE Tbk.

Sebenarnya, nama PT DGI mulai terseret sejak kasus wisma atlet mencuat. Kasus wisma atlet terbagi dua kloter, yaitu suap pengurusan proyek dan korupsi pengadaan. Para pelaku kasus suap, antara lain Nazaruddin, Mindo Rosalina Manulang, Wafid Muharam (Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga), dan Mohammad El Idris (Manajer Marketing PT DGI).

Sementara, para terpidana dan tersangka kasus korupsi pengadaan wisma atlet dengan kerugian negara Rp54,7 miliar ini, antara lain Rizal Abdullah (Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi Sumatera Selatan) yang telah divonis tiga tahun penjara dan Dudung Purwadi (Direktur Utama PT DGI) yang berkas perkaranya baru dilimpahkan ke pengadilan.

Dudung sendiri dijerat KPK dengan dua kasus korupsi, yaitu korupsi pekerjaan pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provisi Sumatera Selatan TA 2010, serta korupsi pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana TA 2009-2010.

Selain Dudung, dua tersangka lain dalam kasus korupsi pembangunan Rumah Sakit Universitas Udayana adalah Direktur Utama PT Mahkota Negara yang juga mantan anak buah Nazaruddin, Marisi Matondang, serta Kabiro Administrasi Umum dan Keuangan Universitas Udayana periode 2001-2012, Made Meregawa.
Perkara Proyek PT DGI
Terdakwa/Tersangka/Terpidana Nama Keterangan
Rizal Abdullah, Dudung Purwadi, M Nazaruddin, Wafid Muharam, M El Idris, Mindo Rosalina Manulang dkk Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provisi Sumatera Selatan Akibat korupsi proyek senilai Rp194,618 miliar ini, kerugian negara ditaksir mencapai Rp54,7 miliar. Banyak pihak yang terlibat dalam pembangunan proyekkarenaPT DGI Tbk selaku pemenang tender tidak mengerjakannya sendiri,melainkan mensubkontrakkankepada sejumlah pemborong.Perbuatan korupsi tersebut telah menguntungkan korporasi, yaitu PT DGI Tbk sejumlah Rp49,010 miliar.
Made Meregawa, Dudung Purwadi, Marisi Matondang Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Dalam kasus korupsi pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2011 ini, Made selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Dudung dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp30 miliar.
Nazaruddin (Dalam Kasus Suap dan Tindak Pidana Pencucian Uang) Pembangunan gedung di Universitas Udayana, Universitas Mataram, Universitas Jambi, BP2IP Surabaya tahap tiga, RSUD Sungai Dareh Kabupaten Darmasraya, gedung Cardiac RS Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik Medan, RS Inspeksi TropisSurabaya, dan RSUD Ponorogo. Dalam kasus ini, Nazaruddin telah diputus bersalah berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Nazaruddinterbukti menerima hadiah atau janji sejumlah Rp23,119 miliar dari PT DGI melalui Mohamad El Idris, serta menerima hadiah Rp17,25 miliar dari PT Nindya Karya yang diserahkan oleh Heru Sulaksono.
Pemberian-pemberian tersebut merupakan imbalan (fee) karena Nazaruddin telah mengupayakan PT DGI mendapatkan sejumlah proyek pemerintah, serta mengupayakan PT Nindya mendapatkan proyek pembangunan Rating School Aceh dan Universitas Brawijaya
Selain terbukti menerima fee dari PT DGI dan PT Nindya, Nazaruddinjuga terbukti melakukan pencucian uang, antara lain dengan cara membelanjakan harta kekayaannya yang bersumber dari korupsi  saham di beberapa perusahaan, seperti PT Garuda Indonesia (Persero), PT Bank Mandiri (Persero), PT Krakatau Steel (Persero), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero).

Bersambung ....
Tags:

Berita Terkait